Minggu, 03 Maret 2013

Lagi-lagi Nanam Hotel


Presented by Kareen el-Qalamy


Perekonomian saat ini sungguh mengalami perkembangan sangat pesat. Sejak diberlakukannya perdagangan bebas seolah-olah batas geografis suatu negara sudah tidak menjadi penghalang. Bahkan tanpa batas. Apalagi didukung oleh kemajuan teknologi dan komunikasi. Sistem perdagangan yang dulunya harus diawali via face to face, sekarang tidak perlu repot-repot. Via online saja sudah bisa membeli suatu barang yang diinginkan.
            Hal tersebut tentu menawarkan kemudahan bagi masyarakat. Berawal dari kemudahan lama-lama menyebabkan timbulnya sikap manja dari masyarakat sendiri. Akhirnya munculah budaya serba instan. Masyarakat sudah tidak mau tahu dengan yang namanya proses dan nilai-nilai perjuangan. Yang penting mendapatkan hasilnya dengan mudah dan cepat tanpa melihat apakah proses atau cara yang ditempuh itu benar. Tidak mengherankan jika sekarang marak perilaku yang sifatnya negatif, namun karena sebagian besar masyarakat melakukannya sehingga menyebabkan perilaku negatif tersebut menjadi sesuatu hal yang wajar bahkan menjadi suatu kebiasaan. Banyak contoh kasusnya, seperti praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
            Banyak faktor yang mempengaruhi. Salah satunya gaya hidup masyarakat sekarang yang sudah terkontaminasi dengan gaya hidup orang Barat. Dimana gaya hidup orang Barat kental akan gaya hidup hedonis, konsumtif dan glamor. Indikasi-indikasi tersebut telah banyak nampak di sekitar lingkungan tempat tinggal kita. Semua daerah di Indonesia tidak ada yang terlewat, menjadi sasaran empuk virus budaya Barat yang mematikan ini. Bahkan daerah pelosok dan terpencil pun masih tetap berpotensi menerima serangan virus ini.
            Salah satu daerah yang akan menjadi sorotan adalah Yogyakarta. Daerah yang terkenal dengan semboyannya,”Yogya berhati nyaman”,ini nampaknya sudah tidak nyaman lagi bagi masyarakatnya. Mengapa tidak? Fenomena – fenomena yang semakin memperkuat statement tersebut semakin banyak bermunculan. Lama – lama Yogyakarta tidak ada bedanya dengan ibukota negara, Jakarta. Jalanan yang semakin padat akan kendaraan baik itu beroda empat maupun dua. Bangunan – bangunan yang semakin padat, sampai-sampai tidak mendapatkan lahan lagi untuk membangun.
            Namun, ada hal yang sangat menggelitik dengan Yogya. Sudah tahu kawasan semakin padat dengan bangunan dan jalanan yang seringkali macet tidak hanya dikarenakan semakin bertambahnya jumlah kendaraan tetapi juga lebar ruas jalan yang tidak bisa ditambah lagi. Masih saja ada oknum-oknum tertentu yang memaksakan kehendaknya untuk menanam hotel di kawasan tersebut. Tidak ada hotel di kawasan tersebut saja kemacetan sering melanda apalagi hotel sudah berhasil ditanam. Entah, mungkin oknum si pemilik hotel tersebut telah terbutakan oleh harta, sampai-sampai yang ada di pikirannya hanya bagaimana cara mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan kawasan strategis untuk menanam hotel. Seperti tidak ada jalan lain saja selain membangun hotel demi komersialitas.
            Kalau saja oknum si pemilik hotel memenuhi segala persyaratan yang ditentukan ketika mendirikan suatu bangunan di kawasan padat penduduk, hal itu tidak menjadi masalah. Namun, yang dikhawatirkan apabila persyaratan tersebut ada yang tidak terpenuhi. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah terkait dampak lingkungan yang akan ditimbulkan oleh pembangunan hotel tersebut.
Dampak lingkungan yang dimaksud  terutama menyangkut hal-hal terkait polusi dan limbah yang dihasilkan. Kalau saja limbah yang dihasilkan diolah dan tidak sampai mencemari lingkungan sekitar hotel tersebut berdiri tentu tidak mengapa. Akan menjadi masalah serius jika limbah tidak diolah sebagaimana mestinya dan langsung dibuang begitu saja. Tentu akan menimbulkan kerugian tidak hanya si pemilik hotel, tetapi juga masyarakat yang tinggal di sekitaran hotel.
Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius bagi pemerintah DI Yogyakarta untuk semakin memperketat pengawasan terhadap perizinan pembangunan gedung khususnya hotel. Mentang-mentang pemerintah juga mendapatkan aliran dana – alih-alih sebagai sumber pendapatan daerah -  lantas seenaknya memberikan keleluasaan bagi pemilik modal untuk mendirikan usahanya di mana saja tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan. Semoga pemerintah semakin arif menyikapi fenomena ini sehingga tidak ada lagi pihak yang dirugikan dan semboyan,”Yogya berhati nyaman”,masih pantas disandang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar