Selasa, 21 Oktober 2014

PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK SISWA SLOW LEARNER DI SEKOLAH INKLUSI



Proposal Tesis (Revisi I)

Presented by Kareen el-Qalamy


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
            Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Pemerintah sudah mengaturnya dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang terdapat pada pasal 5 ayat 1 bahwa, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.” Tidak terkecuali untuk anak berkebutuhan khusus (anak slow learner), juga diatur pada Undang-undang tersebut dalam pasal 5 ayat 2 yang berbunyi, “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.” Hal ini berarti pendidikan harus menyeluruh untuk semua kalangan, baik anak yang normal maupun anak dengan kebutuhan khusus.
            Pendidikan juga merupakan suatu kebutuhan pokok bagi setiap individu yang ingin maju, baik itu anak yang normal maupun anak yang mengalami kelainan fisik atau mental. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 1 diamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian berarti anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti tunanetra, tunarungu, slow learner, tunadaksa, tunalaras, dan anak-anak berkesulitan belajar juga memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Dalam dunia pendidikan tentu tidak asing dengan istilah pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif yang menghargai semua siswa dengan keunikan mereka tidak serta merta berjalan mudah, termasuk dalam pendidikan matematika (Susetyawati, E., dkk., 2008). Sistem pendidikan yang masih mengedepankan penyeragaman untuk memenuhi target kurikulum daripada penyesuaian dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik merupakan salah satu kendala utama. Padahal, untuk bisa menjalankan pendidikan matematika inklusif, filosofi, sistem, maupun praktek pendidikan harus berubah.
Seiring semakin berkembangnya implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, reformasi menuju pendidikan matematika inklusif merupakan keniscayaan. Pembelajaran matematika inklusif menjadi tantangan baru bagi pendidikan matematika ke depan. Pendidikan matematika inklusif memerlukan perubahan filosofi, sistem, dan praktek pendidikan. Tanpa perubahan tersebut, pendidikan matematika inklusif sampai kapan pun tidak akan dapat terwujud.
Pendidikan inklusi membuka peluang seluas-luasnya bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk bersekolah. Salah satu ABK yaitu anak slow learner. Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk slow learner. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang slow learner, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Oleh sebab itu ada kemungkinan besar guru yang membelajarkan matematika pada siswa slow learnr memiliki strategi khusus dalam proses pembelajaran. Penggunaan teknik pengajaran juga sangat penting karena dapat meningkatkan ketertarikan anak slow learner untuk belajar. Seorang guru harus memiliki rencana yang matang sebelum terjun dalam Proses belajar mengajar (PBM), mereka harus selalu mempunyai ide kreatif dalam melakukan pembelajaran. Seperti menciptakan kelas menjadi berpusat pada siswa, berpusat pada guru atau ide-ide kreatif yang lain. Di dalam kelasnya seorang guru pasti banyak menemukan kesulitan yang dialami siswanya saat menyerap materi pelajaran, apapun alasannya seorang guru yang baik harus sadar bahwa pemecahan dari kesulitan – kesulitan yang dialami adalah suatu tanggungjawab yang harus bisa ia pecahkan.
Paradigma standarisasi pendidikan menyebabkan praktek pembelajaran matematika di sekolah inklusi dilaksanakan seperti pada sekolah reguler. Guru matematika di kelas inklusi masih cenderung mengajar sesuai kemampuan siswa normal. Proses pembelajaran dan penilaian dilaksanakan berdasar pada logika sekolah reguler sehingga ABK kurang mendapatkan layanan yang sesuai. Praktek seperti ini menyerupai bentuk sekolah model integrasi dimana ABK yang harus menyesuaikan dengan pembelajaran yang dilaksanakan, bukan pembelajaran yang disesuaikan dengan keunikan kebutuhan belajar mereka.
Permasalahan menjadi semakin pelik bagi ABK karena kurang memperoleh ruang memadai untuk belajar sesuai kemampuan. Proses belajar mengajar di kelas yang masih bertumpu pada pola pembelajaran kelas reguler mengakibatkan ABK sulit mengimbangi kecepatan belajar kelas. Keunikan belajar ABK menuntut perlakuan khusus guru. Jika guru tidak mampu memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhannya, ABK pasti mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Tingkat kesulitan belajar matematika yang tinggi semakin sulit karena keterbatasan mereka. Hal ini kontraproduktif jika dilihat dari pemikiran awal pendidikan inklusif yang ingin memberikan layanan lebih baik bagi ABK.
Protret buram pendidikan matematika, baik dari sisi proses maupun hasil, yang selama ini terjadi pada pendidikan matematika di sekolah reguler juga terjadi pada sekolah inklusi, bahkan menjadi lebih rumit.  Seperti halnya pada pembelajaran matematika di sekolah reguler selama ini, guru matematika sekolah inklusi banyak menerapkan model pembelajaran konvensional dimana guru mendominasi kelas. Dominasi guru menyebabkan siswa pasif selama pembelajaran. Minat dan motivasi belajar siswa juga kurang nampak. Siswa seolah mengikuti pembelajaran sebagai sebuah rutinitas dan kewajiban. Dari sisi hasil, prestasi belajar matematika siswa sekolah inklusi umumnya rendah. Tingkat ketuntasan belajar siswa dalam mempelajari kompetensi yang diajarkan guru relatif rendah.
Tahap awal paling kritis keberhasilan pendidikan matematika inklusif adalah persepsi terhadap pendidikan inklusif itu sendiri. Ketika awal diperkenalkan, ide inklusif menghadapi skeptisme dan penolakan karena: (1) pendidikan inklusif dianggap hanya istilah lain pendidikan integrasi; (2) kebijakan tidak memungkinkan pemberlakuan pendidikan inklusif; serta (3) peralihan dari sekolah khusus terlalu sulit (Ichrom, 2008). Skeptisme dan penolakan ini merupakan tantangan terbesar menuju pendidikan yang menerima prinsip-prinsip inklusifitas, termasuk pada pendidikan matematika. Pergulatan dan pertentangan pemikiran tentang pendidikan inklusif tersebut harus dilewati sebagai pintu awal reformasi menuju pendidikan matematika inklusif. Tanpa kesadaran dan penerimaan bahwa konsep inklusifitas sebagai sesuatu yang positif, pendidikan matematika inklusif sulit diwujudkan.
Pendidikan matematika inklusif memerlukan perubahan paradigma kebijakan pendidikan. Kebijakan yang lebih mengedepankan penyeragaman daripada penyesuaian dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik berdampak pada sulitnya mewujudkan pendidikan matematika inklusif. Prinsip dasar inklusif adalah menghargai perbedaan dalam diri setiap anak, bukan penyeragaman. Dengan demikian, pendidikan matematika inklusif hanya akan terwujud jika didukung kebijakan pendidikan yang berwawasan keberagaman. Inklusifitas dalam pendidikan matematika bergantung sejauh mana kebijakan pendidikan memberi ruang pada terakomodasinya perbedaan.
Pendidikan matematika inklusif mensyaratkan reorientasi pendidikan. Orientasi pembelajaran harus lebih diperluas sesuai dengan keberagaman siswa. Pendidikan yang dominan berorientasi akademik berakibat pada anggapan bahwa nilai yang rendah berarti siswa telah gagal belajar. Keterjebakan pada orientasi sempit ini berdampak pada pelaksanaan pembelajaran matematika yang sempit, miskin, dan tidak bermakna. Prinsip-prinsip inklusifitas tidak akan dapat tumbuh dan berkembang dalam pendidikan matematika yang demikian. Setiap siswa berkembang secara utuh dalam seluruh dimensi dirinya, bukan semata-mata aspek akademik. Nilai hanya menunjukkan sebagian dari capaian, tidak seharusnya menjadi kriteria utama dalam menafsirkan dinamika tumbuh kembang anak.
Kurikulum, proses pembelajaran, dan penilaian pada pendidikan matematika harus diselaraskan dengan prinsip-prinsip pendidikan inklusif. Ketiganya merupakan tiga dimensi yang sangat penting dan saling berkait dalam praktek pendidikan (Surapranata, dkk., 2004). Kurikulum merupakan penjabaran tujuan pendidikan yang menjadi landasan program pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam kurikulum. Penilaian merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengukur dan menilai tingkat pencapaian kurikulum serta berhasil tidaknya proses pembelajaran. Reformasi menuju pendidikan matematika inklusif tidak akan terjadi tanpa menyentuh ketiga aspek tersebut. Salah satu program pendidikan yang dilakukan di sekolah inklusi yaitu adanya kurikulum yang fleksibel.
ePratt (1980) identifies two basic assumptions that underlie all curricula: 1- that knowledge should be pursued for its own sake 2- that curricula should be designed to meet the immediate and long term needs of students. The knowledge centred curriculum focuses on the content of subject areas, whereas the needs centred curriculum assumes that human needs serve as the foundation for curriculum. The teachrs should not lay much stress on abstract and theoretical study because the slow learners can not understand the abstract concepts very easily. Whenever there are abstract concepts the teacher should try to establish possiblerelationship or point out.(Chauhan, 2011)
Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa kebutuhan manusia menjadi hal yang mendasari dibuatnya kurikulum. Jadi kurikulum dibuat harus menyesuaikan kebutuhan manusia juga, khususnya berkaitan dengan kebutuhan peserta didik. Apalagi konteks di dalam sekolah inklusi, kurikulum yang diberlakukan tidak hanya mengakomodir kebutuhan siswa normal saja, tetapi juga ABK yang ada di sekolah inklusi. Padahal praktik di lapangan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Kurikulum pendidikan matematika harus direstrukturisasi agar lebih adaptif dan sesuai dengan kebutuhan pendidikan inklusif. Kurikulum berbasis standarisasi perlu dirubah menuju kurikulum berwawasan keberagaman. Kegiatan pembelajaran matematika juga harus dirancang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan karakteristik peserta didik. Pembelajaran sebagai bagian utama pendidikan perlu disesuaikan agar hak belajar peserta didik tidak ada yang terabaikan. Guru matematika, demi keberhasilan belajar siswa yang lebih baik, harus mau dan mampu memilih strategi pembelajaran yang bisa mengakomodasi kebutuhan belajar seluruh siswa, baik siswa normal maupun ABK.
Pendidikan matematika inklusif juga menuntut penyesuaian dalam penilaian. Penilaian adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan dengan kurikulum dan porses pembelajaran. Penilaian merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengukur dan menilai tingkat pencapaian kurikulum serta berhasil tidaknya proses pembelajaran. Penilaian juga digunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan proses pembelajaran, sehingga dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, disamping kurikulum dan proses pembelajaran yang sesuai, pendidikan inlusif memerlukan sistem penilaian yang tepat. Penilaian harus mampu menjadi bagian dari instrumen yang mendorong pengembangan siswa secara adil dan objektif.
            Matematika merupakan pelajaran yang diajarkan di sekolah dan termasuk mata pelajaran yang diuji dalam UN. Matematika ini diajarkan di sekolah karena bermanfaat untuk kepentingan matematika itu sendiri serta dapat memecahkan persoalan dimasyarakat. Kegunaan matematika bagi siswa antara lain untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan berguna dalam kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan sarana pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari, namun tidak sedikit orang yang menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit. Oleh karena itu, banyak guru yang berusaha menerapkan strategi khusus dalam mengajarkan matematika agar mudah untuk dipahami. Seperti halnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Raimo Kaasila, dkk yang menunjukkan bahwa guru SD di Finlandia menerapkan strategi penalaran siswa dengan memainkan peran sentral seorang guru dalam proses belajar mengajar di kelas pada materi pembagian.
            Keberhasilan suatu proses pembelajaran itu dipengaruhi oleh berbagai komponen yang ada di dalamnya, antara lain: tujuan, bahan atau materi, strategi pembelajaran, media, guru dan siswa. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh R. M. Konantambigi dan R. Nandini bahwa strategi guru dalam mengajar siswa sangat penting dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah siswa, maka dari itu guru perlu mendapatkan pelatihan dalam rangka pemecahan masalah siswa di kelas pada saat proses pembelajaran. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ronald L Taylor dan Les Sternberg yang menyatakan bahwa seorang guru harus mempunyai rancangan program, bahan yang digunakan, danteknik-teknik khususyang dipilih dalam mengajar dan pemilihan serta perencanaan tersebutharus tergantung padausiaindividudan kebutuhanpendidikan yang unik termasuk pada anak yang memiliki cacat mental.
            Anak yang memiliki perkembangan mental yang lambat sangat berbeda dengan anak normal pada umumnya. Untuk itu guru harus benar-benar ekstra dalam pengajaran di kelas. Salah satu contoh dari penelitian yang dilakukan oleh Juli Hadwin dan Simon Baron bahwa strategi guru dalam membelajarkan anak autis adalah dengan diskusi pusat dengan kasus nyata untuk menambah pemahaman siswa autis. Baik siswa berkebutuhan khusus maupun siswa normal perlu memperoleh strategi khusus oleh guru dalam membelajarkan matematika. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Robin Pierce dan Lynda Ball yang menunjukkan bahwa hampir 92 guru matematika di Australia menanggapi positif tentang penggunaan teknologi dalam pembelajaran matematika dan berusaha mempromosikan penggunaan teknologi dalam membelajarkan matematika di Australia serta mencoba mengatasi hambatan-hambatan dalam penggunaan teknologi tersebut.
            Strategi yang digunakan oleh guru akan berbeda lagi untuk anak-anak berkebutuhan khusus dengan jenis lain. Seperti halnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Herlina Hidayati menunjukkan bahwa strategi yang digunakan guru dalam membelajarkan matematika pada anak tuna rungu khususnya materi sifat-sifat bangun datar dapat dilihat dari proses pelaksanaan pembelajaran mulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan akhir yaitu dari penggunaan metode dan teknik terlihat sama seperti pembelajaran di sekolah pada umumnya, tetapi dari segi taktik terlihat sangat berbeda. Pada dasarnya anak normal dan anak berkebutuhan khusus memiliki persamaan dalam bidang keterampilan penyelesaian soal matematika. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ali Asghar Kakojoibari, dkk., yang menunjukkan bahwa keterampilan matematika pada anak normal dengan anak tuna rungu tidak terdapat perbedaan, namun dalam pembelajaran dengan penggunaan audio visual, siswa dengan pendengaran normal memiliki prestasi yang lebih baik, untuk itu penelitian tersebut memberikan saran bahwa guru hendaknya memberikan pembelajaran dengan metode deduktif, dengan membangun pemahaman domain matematika serta membentuk struktur kognitif pada pemikiran siswa.
            Dari beberapa penelitian yang diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tesis di SMP N 7 Klaten. Alasan peneliti yang mendasari memilih SMP N 7 Klatenadalah setelah diadakan pra survei dengan mewawancarai salah satu pegawai TU yaitu Bu Iftihani, ABK yang ada di SMP N 7 Klaten adalah anak slow learner. Jadi hal ini sangat sesuai dengan keinginan peneliti. Disana peneliti mendapatkan informasi bahwa anak slow learner memang mengalami kesulitan ketika pembelajaran matematika. Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan untuk siswa slow learner.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu, “Bagaimana proses pembelajaran matematika untuk siswa slow learnerdi sekolah inklusi SMPN 7 Klaten?”.

C. Tujuan Penelitian
            Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana proses pembelajaran matematika untuk siswa slow learnerdi sekolah inklusi SMPN 7 Klaten

D. Manfaat Penelitian
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis: memberikan sumbangan pengetahuan pada pendidikan matematika sehubungan dengan Bagaimana proses pembelajaran matematika untuk siswa slow learnerdi sekolah inklusi
2. Manfaat praktis: hasil penelitian ini nanti dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang sejenis.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Proses Pembelajaran Matematika
a. Pengertian Pembelajaran
                         Menurut Winkel dalam Eveline (2010: 12), “Pembelajaran adalah seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar siswa, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian ekstrim yang berperanan terhadap rangkaian kejadian-kejadian intern yang berlangsung dialami siswa.” Proses pembelajaran harus dapat menciptakan kondisi yang dapat menunjang proses belajar siswa.
                         Sedangkan menurut Miarso dalam Eveline (2010: 12-13), “Pembelajaran adalah usaha pendidikan yang dilaksanakan secara sengaja, dengan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan, serta pelaksanaannya terkendali.” Proses pembelajaran pelaksanaannya terkendali dengan maksud agar terjadi belajar pada diri seseorang.
                         Berdasarkan uraian diatas, yang dimaksud pembelajaran pada penelitian ini adalah usaha pendidikan yang dirancang untuk mendukung proses belajar siswa dengan pelaksanaan yang terkendali.

b. Pengertian Proses Pembelajaran Matematika
                         Dari uraian sebelumnya mengenai pengertian pembelajaran, maka pengertian pembelajaran matematika pada penelitian ini adalah usaha pendidikan yang dirancang untuk mendukung proses belajar siswapada materi pelajaran matematika dengan pelaksanaan yang terkendali. Menurut pendapat Moch. Masyku dan Abdul Halim (2008: 56-57), “Proses pembelajaran matematika yang lebih baik dan bermutu di sekolah adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Seorang guru harus memiliki kemampuan yang mumpuni di bidang strategi dan model pembelajaran matematika yang bervariasi.”
2. Anak Slow Learner
a. Pengertian Anak Slow Learner
Lambanbelajar (slow learner) adalahanak yang memilikipotensiintelektualsedikit di bawah normal tetapibelumtermasuktunagrahita.Dalambeberapahalmengalamihambatanatauketerlambatanberpikir, meresponrangsangandanadaptasisosial, tetapimasihjauhlebihbaikdibandingdengan yang tunagrahita, lebihlambandibandingdengan yang normal, merekabutuhwaktu yang lebih lama danberulang-ulanguntukdapatmenyelesaikantugas-tugasakademikmaupun non akademik, dankarenanyamemerlukanpelayananpendidikankhusus.
b. Karakteristik Anak Slow Learner
                         Karakteristik anak slow learner
a.         Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah (kurang dari 6),
b.        Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya,
c.         Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
d. Pernah tidak naik kelas
c. Prinsip Khusus Anak Slow Learner
a.PrinsipKasihSayang
Anaklambanbelajaradalahanak yang mengalamikelainan/penyimpangandalamsegiintelektual (inteligensi), yakniinteligensinya di bawah rata-rata anakseusianya (di bawah normal). Akibatnya, dalamtugas-tugasakademik yang menggunakanintelektual, merekasenangmengalamikesulitan.Olehkarenaitu.kadang-kadang guru merasajengkelkarenadiberitugas yang menurutperkiraan guru sangatmudahsekalipun.Merekatetapsajakesulitandalammenyelesaikannya.
Untukitu, mengajaranaktunagrahita/lambanbelajarmembutuhkankasihsayang yang tulusdan guru. Guru hendaknyaberbahasa yang lembut, tercapaisabar, relaberkorban, danmembericontohperilaku yang baikramah, dansupel, sehinggasiswatertarikdantimbulkepercayaan yang padaakhirnyabersemangatuntukmelakukan saran-saran dan guru.

b.PrinsipKeperagaan
KelemahananakTunagrahita/lambanbelajarantaralainadalahdalamhalkemampuanberfikirabstrak, Merekasulitmembayangkansesuatu. Dengansegalaketerbatasannyaitu, siswatunagrahita/lambanbelajarakanlebihmudahtertarikperhatiannyaapabiladalamkegiatanbelajar-mengajarmenggunakanbenda-bendakonkritmaupunberbagaialatperaga (model) yang sesuai.Hal inimenuntut guru agar dalamkegiatanbelajarmengajarselalu mengaitkanrelevansinyadengankehidupannyatasehari-hari.Olehkarenaitu, anakperludibawakelingkungannyata, baiklingkunganfisik, lingkungansosial, maupunlingkunganalam.Bilatidakmemungkinkan, guru dapatmembawaberbagaialatperaga.
c.PrinsipHabilitasidanRehabilitasi
Meskipun dalam bidang akademik anak tunagrahita memiliki kemampuan yang terbatas, namun dalam bidang-bidang lainnya mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang masih dapat dikembangkan. Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas. Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikt demi sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi optimal.Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru hendaknya berusaha mengembangkan kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin. melalui berbagai cara yang dapat ditempuh.(Sumaryanta, 2010: 24)
B. Kerangka Berpikir
            Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bertujuan mengembangkan kemampuan anak seoptimal mungkin dalam berbagai aspek, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Melalui layanan Sekolah Inklusi, potensi yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus, diharapkan dapat dikembangkan secara optimal, sehingga eksistensi kebutuhan anak berkebutuhan khusus di masyarakat tidak menjadi beban bagi lingkungannya.
            Salah satu jenis anak berkebutuhan khusus adalah anak slow learner yang memiliki keterbatasan berfikir, daya ingatnya rendah, sukar berfikir abstrak, daya fantasinya rendah, sehingga mereka mengalami kesulitan belajar termasuk dalam bidang studi matematika yang diakibatkan karena daya ingatnya rendah dan sukar berfikir abstrak. Oleh sebab itu ada kemungkinan besar guru yang membelajarkan matematika pada siswa slow learner memiliki strategi khusus dalam proses pembelajaran. Guru harus memiliki teknik-teknik khususdalam mengajar yang tergantung denganusiaindividudan kebutuhanpendidikan yang unik termasuk pada anak yang memiliki cacat mental seperti anak tunagrahita tersebut. Dalam penelitian ini akan dikaji tentang bagaimana strategi guru dalam membelajarkan matematika pada anak slow learner.





BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMPN 7 Klaten pada bulan Desember sampai dengan Mei 2015.Adapun tahapan penelitian tersebut tersaji pada Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Tahapan Pelaksanaan Penelitian

No
Kegiatan
September
Oktober
November
Desember
Januari
Februari
1

Persiapan







-      Penyusunan proposal







-      Penyusunan dan pengembangan instrumen







2

Pengumpulan Data







3

Analisis Data 







4

Penyusunan Laporan








             Alasan pemilihan lokasi adalah: 1. sekolah memiliki data dan informasi yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian. 2. dapat terjalin kerjasama yang baik antara peneliti dengan pihak sekolah, terutama guru mata pelajaran matematika.
B. Jenis Penelitian
            Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatifdengan pendekatan studi kasus. Pada penelitian ini pendekatan studi kasus digunakan untuk melakukan kajian mengenai proses pembelajarkan matematika pada anak slow learner kemudian mendeskripsikan hasilnya.
C. Subjek Penelitian
            Subjek penelitian ini adalah guru dan siswa slow learner kelas VIIISMPN 7 Klaten. Teknik yang digunakan dalam pengambilan subjek adalah purposive sampling, yaitu pemilihan subjek yang bertujuan untuk mendapatkan data mengenai strategi guru dalam membelajarkan matematika pada siswa slow learner. Alur pemilihan subjek dilakukan dengan studi pra lapangan untuk mencari tahu guru mata pelajaran matematika dan siswa slow learner pada kelas VIIISMPN 7 Klaten, setelah itu meminta persetujuan bahwa guru dan siswa slow learner tersebut bersedia untuk menjadi subjek dalam peneliti
D. Data dan Sumber Data
            Data yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah data mengenai proses pembelajaran yang terjadi dalam membelajarkan matematika pada anak slow learner. Sumber data diperoleh dari observasi langsung dan wawancara pada subjek penelitian.


E. Instrumen Penelitian
a. Instrumen Utama
Instrumen utama pada penelitian ini adalah peneliti sendiri yang bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan data secara langsung dari sumber data.
b. Instrumen Bantu Pertama
Instrumen bantu pertama dalam penelitian ini adalah cheklist dan kamera video. Cheklist ini berisi tahapan-tahapan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam membelajarkan matematika di kelas. Sedangkan kamera video digunakan untuk mengabadikan proses pembelajaran di kelas, agar nanti peneliti bisa memutar kembali video pembelajaran tersebut guna memperdalam kajiannya mengenai strategi guru dalam membelajarkan matematika pada anak slow learner.
c. Instrumen Bantu Kedua
Instrumen bantu kedua pada penelitian ini adalah pedoman wawancara yang dibuat oleh peneliti sebagai alat bantu dalam pengambilan data lapangan. Pedoman wawancara dibuat sebagai acuan dalam melakukan wawancara kepada subjek penelitian.




F. Teknik Pengumpulan Data
            Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi
            Observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengamati secara langsung proses pembelajaran matematika di kelas VIIISMPN 7 Klaten, yang termasuk didalamnya pengamatan terhadap strategi guru dalam membelajarkan matematika pada siswa slow learner, yang dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup.
2. Wawancara                                                                                                                               
            Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi verbal secara langsung dari subjek penelitian mengenai strategi yang digunakan dalam membelajarkan matematika pada siswa slow learner, baik dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup dalam proses pembelajaran.
G. Validasi Data
            Validasi data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi beberapa kegiatan diantaranya adalah:
1. Perpanjangan Keikutsertaan
            Dalam penelitian ini peneliti terlibat langsung untuk mengumpulkan data dengan waktu yang tidak singkat. Keikutsertaan peneliti dalam kurun waktu yang tidaksingkat dapat menghasilkan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan lebih baik dengan cara mengikuti  proses pembelajaran matematika anak slow learner (studi kualitatif pada SMPN 7 Klaten). Ketekunan pengamatan dalam penelitian ini dilakukan secara cermat dan berkesinambungan,sehingga menemukan ciri-ciri dan unsur dalam situasi yang sangat relevan denganpersoalan atau isu yang sedang dicari. Kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebutsecara rinci untuk memperoleh kepastian dan urutan peristiwa yang sistematik tentangproses pembelajaran matematika di kelas VIIISMPN 7 Klaten, yang termasuk didalamnya pengamatan terhadap strategi guru dalam membelajarkan matematika pada siswa slow learner, yang dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup.
2. Mengadakan Triangulasi
            Triangulasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah membandingkan hasil observasi,wawancara, dan dokumentasi tentang proses pembelajaranmatematika di kelas VIIISMPN 7 Klaten, yang termasuk didalamnya pengamatan terhadap strategi guru dalam membelajarkan matematika pada siswa slow learner, yang dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup. Cara yang dilakukan adalahdisplay data, mencek kebenaran data dengan cara mencocokan hasil obseravsi danwawancara.
3. Diskusi dengan Teman Sejawat
            Kegiatan diskusi dengan teman sejawat yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhiryang diperoleh dengan rekan-rekan sejawat dalam bentuk diskusi analitik. Datasementara yang diperoleh tentang proses pembelajaranmatematika di kelas VIIISMPN 7 Klaten, yang termasuk didalamnya pengamatan terhadap strategi guru dalam membelajarkan matematika pada siswa slow learner, yang dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup. Didiskusikan dengan rekan yangmengetahui permasalahan penelitian.
4. Audit dengan dosen pembimbing
            Kegiatan audit dengan dosen pembimbing dalam penelitian ini bertujuan untuk memeriksa kelengkapan dan ketelitian yang dilakukan sehinggatimbul keyakinan bahwa segala sesuatu yang dilaporkan tentang proses pembelajaranmatematika di kelas VIIISMPN 7 Klaten, yang termasuk didalamnya pengamatan terhadap strategi guru dalam membelajarkan matematika pada siswa slow learner, yang dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup. Hal inidilakukan dengan cara mengkonsultasikan hasil yang telah didapat dari penelitiandengan dosen pembimbing sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

           
H. Teknik Analisa Data
            Analisis data hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan model Miles dan huberman (dalam Sugiyono, 246) dengan tahapan sebagai berikut:


a. Reduksi Data
            Kegiatan reduksi data pada penelitian ini mengacu pada proses pemilihan, pemusatan perhatian,penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data mentah yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan pada saat kegiatan observasi dan kegiatan wawancara. Apabila terdapat data yang tidak valid, maka data itu dikumpulkan tersendiri dan mungkin dapat digunakan sebagai verifikasi ataupun hasil-hasil samping lainnya.
b. Display Data
            Pada kegiatan display data pada penelitian ini dilakukan pengklasifikasian dan identifikasi data yaitu menuliskan kumpulan data yang terorganisir dan terkategori dari hasil reduksi data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara sehingga memungkinkan untuk menarik kesimpulan pada tahap selanjutnya.
c. Penarikan Kesimpulan
Hasil analisis data lapangan hasil observasi dan data wawancara dibandingkan atau dilakukan triangulasi untuk mendapatkan data yang valid. Data yang valid tersebut digunakan untuk mengetahui strategi guru dalam membelajarkan matematika pada anak slow learner.