Senin, 24 Januari 2011

Kelemahan ke 4 : Munculnya Pemimpin ala 'Syekh'

Seringkali gerakan dakwah melahirkan pemimpin ala/model 'Syekh'. Seakan dia adalah pahlawan malaikat yang legendaris; memiliki kemampuan membuka tabir (ghaib), kekuatan superman, mengetahui segala sesuatu dan menguasai segala sesuatu dan ... (ini dia) memimpin jamaah/organisasi seumur hidup ...
Nasib dan masa depan gerakan dakwah sangat terikat dengan model pemimpin seumur hidup seperti ini ... Sebab itu, tidak mungkin menyingkirkannya dari kursi kepemimpinan ... Semua aktivitas dan tindak tanduknya sangat menentukan warna dan arah organisasi, apapun bentuknya ... Jika keluar negeri, ia tetap mengendalikan organisasinya dari jauh ...
Dalam pertemuan-pertemuan, pemimpin model seperti ini selalu mendominasi jalannya acara. Ia bicara kapan dia mau ... di mana ia mau dan sebanyak apa yang dia mau ... serta judul apa yang dia inginkan ... Padahal dia sama sekali tidak mempersiapkan diri sebelumnya ... Tidak pula menyusun pikiran-pikiran atau cata-catatannya. Dia memiliki hak untuk menguasai pembicaraan dan semua hadirin harus menampakkan penghormatan padanya dan mendahulukannya dalam segala sesuatu, tanpa peduli atas tuntutan posisi kepemimpinannya yang memerlukan kehalian-keahlian, kemampuan-kemapuan dan spesialisasi.
Problem/hambatan utama yang dihadapi para pemimpin level kedua ialah siapa gerangan yang akan mampu menggantikan 'Syekh' itu? Setiap mereka sudah ditempel dijidatnya sebuah keyakinan bahwa mereka tidak ada apa-apanya di hadapan sang 'Syekh' itu ... Tawadhu' atau 'ketundukan' seperti ini sudah menjadi syarat pembentukan/rekrutmen haraki ... Mayoritas mereka tidak pernah berlatih atas kebebasan berpendapat dan kepemimpinan melalui praktek syura jama'i. Penghormatan yang agung terhadap 'Syekh' tidak memungkinkan mereka untuk menantangnya dan berbeda pendapat dengannya, bahkan hanya sekedar mempertanyakannya ... apalgi membangun pemikiran/pendapat yang berbeda dengannya ...
Terkadang hubungan yang dibangun tercerminkan dalam ungkapafan sufi "murid di hadap guru (Syekh)-ya harus seperti mayyit (orang mati) di hadapan orang yang memandikannya". Demikianlah dalam banyak hal keputusan yang sangat diperlukan dari sang 'Syekh' bisa saja berubah menjadi sebuah doa'. Amat sangat disayangkan kondisi seperti ini berulang dan terus menerus terjadi (di banyak kawasan, tanpa terkecuali di Indonesia), dan bahkan sampai ke tingkat sebahagian mereka menuduh sebagian yang lain dengan perkataan: "Sesuai, nifaq (atau pura-pura) atau berpisah". Kita berlindung pada Allah dari ungkapan demikian. Namum, kita juga menemukan sebagian sifat-sifat itu paling tidak ada pada sebagian besar para pemimpin gerakan dakwah.
Kita sekarang harus mempelajari dengan sungguh-sungguh dan objektif paraktek dan pengalaman dunia internasional moderen di mana untuk masa terbaik (kepemimpinan) yakni antara 4 sampai 6 tahun saja dan mungkin diperpanjang hanya untuk satu kali masa jabatan ... Sebuah kondisi yang memungkinkan untuk memimpin itu paling lama hanya 12 tahun. Ketika masa kepemimpinan selesai, maka mantan para pemimpin itu bisa bersaham positif dan efektif melalui komite khusus/spesialis atau sebagai penasehat bagi pemimpin yang baru disebabkan kehormatannya atau keahliannya atau pengalamannya.
(bersambung, insya Alloh)www.eramuslim.com

Kamis, 13 Januari 2011

Kelemahan ke 3 : Kegagalan Tarbiyah Kaum Ibu dan Anak-Anak

Kegagalan yang jelas terjadi pada kaum ibu dan anak-anak. Saat kita berhasil mentarbiyah sebahagaian kaum bapak/lelaki, kita gagal di sektor lain (kaum ibu dan anak-anak). Kita belum mampu memebentuk pergerakan kaum ibu yang efektif. Kaum ibu di kalangam kita masih belum mampu -kecuali segelintir saja- memenej diri mereka sendiri atau memberi pengaruh kepada wanita-wanita muslimah lainnya. Mayoritas kaum ibu di kalangan kita belum mampu berkomunikasi dengan baik dengam berbagai kalangan wanita lainnya atau berdialog dalam berbagai problematika masyarakat.

Sedangkan di sisi lain, kita melihat kelompok-kelompok nasionalis dan kiri mengeksploitasi kaum wanita semaksimal mungkin untuk mencapai target-target politik mereka... Kita belum mampu memaksimalkan potensi kaum wanita Muslimah yang begitu dahsyat, (khsuusnya dalam mencetak generasi berkualutas tinggi).

Begitulah mereka -kecuali dalam kondisi yang sangat terbatas- belum efektif dan mampu bersaham banyak dalam gerakan kita.. Padahal kita mengklaim dan bercita-cita bahwa kaum ibu kita mampu mentarbiyah anak-anak kita menjadi para pemimpin dan tokoh masa depan, sedangkan kita belum memberikan perhatian yang penuh dalam melibatkan dan mempersiapkan mereka (sebagi sumber pemimpin masa depan). Masalah ini masih menjadi pemandangan yang paradoks dalam gerakan Islam. Kita sulit memenangkan pertarungan jka 50 % dan mungkin lebih (jumlah kaum ibu) masih terabaikan dan terkucilkan dalam the real battle...

Dalam konteks yang sama, kita belum mencurahkan tenaga kita untuk mepersiapkan anak-anak kita dan mengembangkan potensi diri mereka (agar lebih baik dari kita). Prosentase materi pendidikan Islam khusus anak-anak, misalnya, belum lebih dari 5 % dari yang seharusnya... Kita memprediksi mereka mampu membaca dan memahami buku-buku untuk kaum dewasa.

Sesungguhnya pendidikan anak sejak balita sampai dewasa harus dirancang khusus dengan apik (tentu dengan mendirikan sekolah-sekolah percontohan dan alternatif). Gerakan dakwah masih banyak kehilangan dalam sektor ini karena mengabaikannya (dan tidak menjadikannya sebagai agenda utama).
(bersambung, insya Alloh)www.eramuslim.com

10 Muwasofat

1. salimul akidah
2. sohihul ibadah
3. matinul khuluq (akhlak yang terpuji)
4. Qodiruun ‘alal kasb (mandiri)
5. mutsaqaful fikr (wawasan yang luas)
6. Qowiyyul jism (sehat fisik)
7. mujahidu linafsih (menahan nafsu)
8. munazham fi su’unihi (disiplin)
9. haritsun ‘ala waqtihi (menghargai waktu)
10. nafi’un lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)

Konsep diri adalah sifat yang unik pada manusia yang membadakannya dengan makhluk yang lain.
Cara pandang secara menyeuruh tentang dirinya, meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya. Ingat kosep diri merupakan gabungan juga antara keyakinan kita tentang kita dan apa yang kita inginkan. Ada instrument juga untuk mempengaruhi dalam berhubungan dengan orang lain. Yang mempengaruhi: perkembangan kita, orang yang terpenting atau terdekat, persepsi diri sendiri. Dimulai dengan gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran, dan identitas.

Dengan definisi tersebut, lalu kita mulai berbicara mengenai “mahasiswa muslim”. Di dua suku kata ini berarti kita akan melihat kembali pada konteks peran dan identitas
Berbicara tentang mahasiswa maka ada 3 wilayah yang kita bicarakan, yakni intelektual, kontribusi, dan gerakan.
Berbicara tentang muslim, maka kita akan menyentuh konteks keyakinan, akidah.
Jadi peran dan identitas mahasiswa dan muslim harus mampu bersinergis. Apa fondasinya? Akidah, apa penguatnya? Intelektual. Apa penyelarasnya? Gerakan

Rabu, 12 Januari 2011

BEM dan SEMA, Cuma Numpang Nama Saja???

By : Karina Pramitasari

Di sebuah negara, bahkan hampir di tiap-tiap negara tidak terlepas dari terselenggaranya sebuah pemerintahan. Pemerintahan yang terbentuk di tiap-tiap negara tentu bentuknya berbeda-beda, walaupun tidak sedikit yang sama. Ada yang berbentuk kerajaan/monarki, juga ada yang berbentuk republik. Seperti negara Indonesia, ternyata menganut bentuk pemerintahan republik.
Di samping bentuk pemerintahan, di dalamnya tentu ada system yang rapi yang nantinya akan menopang bentuk pemerintahan tersebut. Sistem yang sangat penting bagi berlangsungnya suatu pemerintahan. Sistem pemerintahan demokrasi, itulah yang diterapkan di Indonesia. System yang boleh dibilang system yang menjunjung tinggi akan kebebasan berpendapat. Kebebasan untuk menyalurkan aspirasi rakyat kepada pemerintah yang berkuasa.
Kekuasaan suatu pemerintahan biasanya juga identik dengan tiga lembaga pemerintahan. Tiga pemerintahan itulah yang mengatur kendali dan memegang peran penting untuk mencapai cita-cita suatu bangsa. Lembaga kekuasaan legislative, lembaga kekuasaan eksekutif dan lembaga kekuasaaan yudikatif, sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Montesque tentang Trias Politica.
Ketiga lembaga tersebut tentu mempunyai tugas masing-masing dan mempunyai lahan kerja yang berbeda-beda namun tetap mempunyai tujuan yang sama. Di Indonesia sendiri, lembaga kekuasaan legislative biasa disebut dengan DPR, dimana mempunyai wewenang untuk membuat peraturan atau undang-undang yang nantinya akan diberlakukan atau tidak. Lembaga eksekutifnya presiden dan seluruh jajaran menteri di cabinet. Dimana mereka berwenang sebagai eksekutor, bertanggung jawab secara langsung berkenaan dengan aplikasi suatu peraturan atau undang-undang yang ada. Selain itu juga diperlukannya suatu lembaga kekuasaan yang bertugas untuk mengawasi jalannya pemerintahan, itulah fungsi dari lembaga kekuasaan yudikatif.
Layaknya sebuah miniature suatu negara, kampus juga mempunyai struktur pemerintahan yang hampir sama. Seperti yang dipraktikkan di salah satu perguruaan tinggi di Indonesia, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Untuk lembaga legislative biasa disebut dengan SEMA (Senat Mahasiswa), lembaga eksekutifnya BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Tetapi perlu diketahui, kalau diamati seharusnya ada lembaga yudikatif yang berwenang mengawasi jalannya kedua lembaga kekuasaan tersebut. Tetapi kenyataannya tidak ada. Lembaga yudikatif di UIN belum terbentuk sama sekali, aneh bukan….???
Sungguh menjadi suatu catatan tersendiri bagi civitas akademika. Kira-kira kapan lembaga yudikatif itu akan terbentuk. Makanya tidak salah jika kedua lembaga tersebut (BEM dan SEMA) bertindak seenaknya, lha wong tidak ada yang mengawasi. Mumpung berada pada saat-saat yang pas banget, moment-moment mendekati pemilwa. Dimana itu bisa dijadikan sebagai salah satu visi-misi para calon baik itu yang dicalonkan sebagai anggota SEMA maupun BEM apabila terpilih nanti akan membentuk suatu lembaga kekuasaan yudikatif.
Perlu dijaddikan sebagai bahan masukkan juga bagi para calon anggota SEMA dan BEM. Diharapkan siapapun yang terpilih nanti bisa memberikan dan membuktikan kontribusi yang konkret kepada seluruh masyarakat kampus, tidak hanya sekadar menjabat saja alias numpang nama. Perlu diperhatikan lagi, apa saja program yang akan dicanangkan tentu harus bersifat memihak kepada masyarakat kampus. Ditimbang dari segi manfaat dan madharatnya juga. Intinya bisa membuat dan menjalankan program sesuai dengan kehendak rakyat kampus dan bisa membawa ke arah prubahan yang lebih baik.
Selama ini dirasa tidak adanya perubahan yang berarti dengan konddisi kampus dari ddulu sampai sekarang. Sepertinya sama saja ada atau tidaknya BEM dan SEMA. Terlebih lagi SEMA, kerja konkretnya mana, tidak ada bukan…??? Namanya tidak asing terdengar ditelinga tetapi hasil kerja mereeka mana. Memang sih hasil kerja dari SEMA tidak begitu terlihat apabila dibandingkan dengan BEM. Namun sampai sekarang apa ada peraturan yang intinya memihak kepada mahasiswa. Atau malah jangan-jangan tidak ada satupun peraturan yang dikeluarkan oleh SEMA. Sungguh tragis, lantas apa gunanya SEMA ada di pemerintahan kampus tetapi program kerja konkretnya tidak ada.
Itulah sebabnya mumpung masih ada sekitar dua minggu lagi menjelang pemilwa, sebagai warga kampus diwajibkan untuk mengenal baik calon yang akan dipilihnya. Jangan sampai ada kata salah pilih atau golput di kamus kehidupan kampus kita. Dengan menyeleksi secara ketat dan mengeliminasi satu persatu sampai ditemukannya hasil tunggal, itulah calon terbaik yang akan kita pilih. Juga pertimbangan kira-kira calon mana yang mempunyai komitmen tinggi yang bisa membawa kondisi kampus UIN menuju kearah perubahan dan perkembangan yang lebih baik,”Unggul dan Terkemuka”sesuai dengan salah satu bait syair yang terdapat di dalam jingle UIN. Intinya jangan mau memilih calon yang notabene hanya cuma NUMPANG NAMA saja….OK…!!!

Senin, 03 Januari 2011

Kelemahan ke 2 : Lemahnya Team Work

Tidak diragukan bahwa harokah dakwah telah berhasil melahirkan individu-individu yang istimewa. Namun persoalan berikut yang muncul ialah saat mereka itu diminta beramal dalam satu tim kerja (team work) untuk melakukan suatu program bersama. Berbagai gerakan dakwah masih saja sampai saat ini dipimpin oleh segelintir orang (itu-itu saja) yang seharusnya sudah diagantikan team work secara jama'i (yakni kepemimpinan kolektif atau kepemimpinan yang silih berganti). Tanpa menyadari bahwa hasil amal jama'i itu pasti lebih afdhal dari pada amal fardi (kerja individu). Implikasinya ialah muncul lingkungan yang tidak kondusif/terbelakang. Faktor penyebab utamanya ialah kepemimpinan tunggal dalam semua aspek kehidupan harokah.

Bapak/murabbi/naqib telah menjadi pemimpin mutlak di keluarga (usrah). Kondisi itu juga sama dengan apa yang dialami oleh sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pemerintahan, militer dan partai-partai (di negeri Muslim). Sistem seperti ini telah bercokol terhadap semua lembaga/entitas kita, padahal sistem tersebutlah yang menjadi penyebab keterbelakangan kita.

Kalau saja kita mencermati dunia internasional, kita akan menemukan Eropa dengan spirit jiddiyyah (kesungguhan) dalam beramal terus menerus, adalah yang pertama mengangkat syi'ar (semboyan) kebebasan dalam pengertian modern dan telah mendirikan negara-negara nasionalis. Akan tetapi, Amerika telah melampaui kemajuan Eropa melalui penerapan sistem "asimilasi" yang menyatukan berbagai jenis kebangsaan dan ditata dalam sebuah spirit kesungguhan dan untuk beramal secara serius dan sungguh-sungguh. Sedangkan Jepang telah pula melampaui kemajuan Eropa dan Amerika melaui spirit team work dan loyalitas pada tradisi dan nilai-nilai agama mereka.

Anda harus membayangkan amal Islami itu harus dijalnkan bagaikan "foot ball team". Kendati semua pemain terbaik dunia dikumpulakn dalam satu tim sepak bola, namun di antara mereka tidak ada spirit "total foot ball team", pasti tim tersebut kalah menghadapi tim lain yang mungkin di bawah mereka kepandaiannya, namun konsisten dengan spirit foot ball teamnya.
(bersambung, insya Alloh)
www.eramuslim.com