Rabu, 03 Februari 2016

Mengabdi Tiada Henti







Presented by Kareen el-Qalamy



              Pagi ini, seolah-olah hanya sebatas rutinitasku semata. Bangun pagi. Itu saja dengan rasa malas. Setelah itu mandi, tentu dengan langkah berat menuju kamar mandi yang hanya berada di samping kamarku. Sepuluh menit kemudian, ada suara yang tiba-tiba memanggilku.
“Dit....buruan sarapan, nanti telat lho...,”teriak ibu memanggilku.
“Iya Bu,”jawabku sambil melangkahkan kaki menuju dapur.
“Ada yang ketinggalan tidak buku-bukunya? Prnya sudah dibawa?,”tanya ibu penuh ketelitian. Beliau tidak mau anak bungsunya itu mendapat teguran dari guru hanya karena sering lupa membawa buku pelajaran.
            Aku hanya mengambil nasi sedikit beserta sayur, dan lauk pauknya. Entah mengapa selera makanku tiba-tiba hilang.
“Kok cuma sedikit makannya?,”tanya ibu sambil melihatku makan
“Keburu terlambat nanti Bu,”jawabku dengan suapan terakhir yang masuk ke mulutku.
            Setelah sarapan aku berangkat ke sekolah. Walaupun waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, namun dengan santainya kukayuh sepeda menuju sekolah. Seperti tidak ada semangat di hari ini.
            Aku bernama Aditya. Anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku perempuan sudah menikah dan sekarang tinggal bersama suaminya di luar Jawa, tepatnya di Kalimantan. Sedangkan aku duduk di bangku SMA kelas XII. Aku tinggal berdua dengan ibu di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Ayah meninggalkan kami karena orang tua kami bercerai. Sudah sekitar enam tahun aku hidup tanpa didampingi sosok seorang ayah.
            Semenjak ayah dan ibu bercerai, aku menjadi pribadi yang pendiam, tertutup dan suka menyendiri. Aku hampir tidak mempunyai teman akrab. Teman-temanku seperti menjauhiku.
“Aditya Bagus,”panggil guru matematika. Pelajaran untuk jam pertama hari ini adalah matematika.
“Saya Pak,”jawabku sambil mengacungkan tangan.
“PRnya sudah dikerjakan? Coba kamu mengerjakan ke depan PR nomor satu,”pinta Pak Karto. Beliau sudah berumur. Rambutnya saja sudah memutih. Termasuk guru senior di sekolahku.
“Maaf Pak,belum saya kerjakan,”jawabku dipenuhi rasa malu.
“Ya sudah kalau begitu, tapi bapak minta tolong kamu mencoba mengerjakan ke depan,”lanjut Pak Karto.
“Iya Pak, akan saya coba,”sambil melangkah ke depan kelas.
            Walaupun aku orangnya tertutup, akan tetapi aku berusaha untuk mencoba segala hal karena aku suka tantangan. Berusaha untuk tampil percaya diri di muka umum. Memang, aku terkenal malas mengerjakan PR. Semua guru-guru di sekolahku sampai kuwalahan. Namun dibalik rasa malasku, ada sisi positif dimana para guru juga memberikan apresiasi, yaitu mudah menangkap pelajaran yang baru saja diberikan. Terkadang peringkat lima besar dapat kuraih, namun belum pernah aku menduduki peringkat pertama. Hanya beberapa menit saja aku selesai mengerjakan soal di papan tulis.
“Sudah Pak,”aku memberitahukan kepada Pak Karto bahwasannya aku sudah selesai.
“Coba kamu jelaskan jawabanmu kepada teman-temanmu,”pinta Pak Karto sambil melihat ke arahku
            Tidak lama kemudian aku selesai memberikan penjelasan kepada teman-teman asal mula mendapatkan jawaban dari soal tersebut. Setelah itu aku langsung kembali ke tempat duduk. Pak Karto lantas memberikan konfirmasi atas jawabanku.
“Ada yang perlu ditanyakan dengan cara pengerjaan dan jawaban dari Aditya?,”tanya Pak Karto kepada siswa yang lain. Ditunggu beberapa detik tidak ada yang mengacungkan tangan, itu tandanya teman-teman juga sudah paham.
“Ya sudah kalau tidak ada pertanyaan atau tanggapan. Jawaban Aditya sudah benar, namun cara pengerjaannya berbeda sedikit dengan apa yang sudah Bapak berikan. Menurut Bapak itu sangat bagus,”sambil melihat ke arahku.
“Terkadang soal matematika itu dapat dikerjakan dengan banyak cara. Justru itu bisa melatih kreativitas kita dalam pemecahan soal. Ini akan sangat bermanfaat jika dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika menjumpai suatu masalah, kita bisa terlatih untuk mencari banyak solusi. Itulah salah satu manfaat atau aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari,”Pak Karto menjelaskan secara panjang lebar.
            Begitulah Pak Karto, salah satu guru yang aku segani. Walaupun beliau guru matematika, dimana matematika biasanya menjadi momok bagi kebanyakan siswa. Namun seramnya matematika dapat tertutupi dengan metode belajar beliau yang menyenangkan dan variatif. Sehingga para siswa tidak merasa bosan atau kesulitan menerima ilmu matematika yang beliau berikan.


            Tet...tet...tet....tidak terasa dua jam pelajaran matematika telah usai. Setelah itu jam istirahat selama tiga puluh menit. Ketika aku ingin melangkahkan kaki keluar kelas, tiba-tiba ada suara yang memanggilku dari dalam kelas.
“Aditya,...jangan keluar dulu...,”suara tersebut ternyata suara Pak Karto dimana beliau masih di dalam kelas.
“Oh...iya Pak...,”dengan segera akupun berbalik arah menuju meja Pak Karto.
“Ada apa ya Pak?,”tanyaku.
“Bapak ingin bicara sebentar dengan kamu sekarang. Kamu ada waktu luang?,”jelas Pak Karto.
“Oh...bisa Pak. Mau dimana Pak?,”tanyaku lebih lanjut.
“Di ruang perpustakaan saja.,”beliau sambil berdiri melangkahkan kaki keluar kelas menuju perpustakaan. Akupun langsung mengikuti dari belakang.
Kira-kira ada apa ya?, tanyaku dalam hati. Disertai dengan jantung berdetak mulai terasa kencang. Baru kali ini Pak Karto memanggilku dan ingin berbicara denganku. Sepertinya ada urusan penting yang ingin beliau sampaikan, sampai-sampai meluangkan waktu istirahat beliau hanya untuk mengobrol denganku.
Sesampainya di perpustakaan, kami langsung menempati kursi kosong. Seperti biasa, perpustakaan selalu saja menjadi tempat kedua yang selalu ramai dikunjungi siswa setelah masjid. Aku juga mempunyai hobi membaca. Mungkin sebagai pengisi waktu luang daripada hanya diam dan melamun. Secara rutin seminggu sekali aku meminjam buku ke perpustakaan untuk aku bawa pulang.
Kami memilih tempat duduk yang di pojok. “Jadi begini....,”Pak Karto mencoba mengawali pembicaraan.
“Iya Pak,”balasku.
“Maksud Bapak meminta waktumu sebntar ada yang perlu Bapak bicarakan,”jelas Pak Karto.
“Tentang apa ya Pak?,”tanyaku penasaran.
“Begini, terkait kebiasaanmu tidak pernah mengerjakan PR, itu sebenarnya ada apa?,”sambil menatapku dengan tajam penuh selidik.
Ternyata...soal kebiasaan burukku,batinku. Aku termenung sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan Pak Karto.
“Kok malah diam, cerita saja, tidak apa-apa, anggap saja Bapak ini Bapakmu di sekolah. kalau ada masalah ceritakan saja, siapa tahu Bapak bisa membantu,”ujar Pak Karto lebih lanjut.
“Bagaimana ya Pak saya menjelaskannya? Terlalu panjang dan lebar Pak,”aku berusaha untuk membuat prolog atas jawabanku selanjutnya.
“Begini Pak, entah mengapa sesampainya di rumah saya dilanda rasa malas yang hebat. Nuansa rumah saya sudah tidak nyaman lagi bagi saya Pak. Itu terjadi sudah enam tahun lamanya semenjak bapak bercerai dengan ibu,”aku berusaha merangkai kata, walaupun sulit. “Dan saya merasa sangat kasihan terhadap ibu yang setiap hari kerja keras membanting tulang untuk membiayai kehidupan kami. Ibu saya hanya seorang buruh cuci Pak. Saya ingin sekali membantu ibu bekerja, namun tetap tidak bisa karena sore menjelang malam saya baru pulang setelah mengikuti les untuk persiapan UN. Di satu sisi saya juga ingin membanggakan ibu dengan mempersembahkan hasil terbaik dan berharap bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN),”ceritaku panjang lebar, sedangkan Pak Karto diam memperhatikanku dengan seksama disertai dengan tatapan matanya yang teduh.
“Sabar ya Dit, ini ujian hidup buatmu. Kamu harus bisa melalui semuanya ini denganhati yang lapang dan berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkan impianmu,”Pak Karto mulai menanggapi apa yang telah aku ceritakan.
“Seperti apa yang kamu bilang tadi, bahwa kamu ingin mempersembahkan hasil terbaik untuk ibumu. Maka kamu harus belajar lebih giat lagi. Mumpung masih ada waktu dua minggu lagi menjelang UN. Bapak minta selama waktu dua minggu ke depan kamu selalu mengerjakan PR yang Bapak berikan karena nilai tugas juga menentukan kelulusan, tidak hanya sekadar nilai UN saja,”ujar Pak Karto seolah-olah sedang menasihati anaknya sendiri. aku seperti mendapatkan perhatian dan motivasi dari bapak yang telah lama meninggalkanku.
“iya Pak, mulai sekarang saya akan berusaha melakukan itu,”dengan mata berbinar seperti mendapat semangat baru. Semangat untuk menyongsong masa depan.
“Terima kasih Pak,”sambil mencium tangan Pak Karto
Alhamdulillah, Bapak ikut senang mendengarnya,”balas Pak Karto.
            Tet...tet....tet....bel tanda masuk pun berbunyi. Kami lantas berpisah, Pak Karto menuju ruang tamu, sedangkan aku menuju ruang kelas untuk melanjutkan pelajaran berikutnya. Lama-lama aku semakin menaruh simpatik dan bersyukur memiliki guru yang sangat perhatian kepada siswa-siswanya seperti Pak Karto. Sampai-sampai muncul niatan dalam hatiku, aku ingin menjadi seorang pendidik seperti halnya Pak Karto.
Sesampainya di rumah. Fajar mulai bersembunyi di balik peraduannya. Kulihat ibu duduk termenung di halaman depan.
Assalamu’alaykum,”sambil mencium tangan ibu.
Wa’alaykumussalam, gimana tadi sekolahnya Le?,”tanya ibu.
Alhamdulillah lancar Bu, tadi saya dapat nasihat dari Pak Karto, guru matematika, diminta belajar tekun,”jelasku.
“Ya sudah kalau gitu, segera mandi sana, habis itu makan. Kita hari ini makan seadanya gak apa-apa ya,”seloroh ibu.
“Siap Bu, apapun makanannya kalau yang masak ibu, pasti enak,”sambil tersenyum menatap ibu lantas berdiri menuju ke dalam rumah.
            Setelah selesai mandi dan makan malam, tidak lama kemudian adzan Isya’berkumandang. Bergegas aku menuju masjid menunaikan sholat Isya’berjamaah. Rumahku dekat dengan masjid. Hanya berjarak beberapa meter saja. Sejak kecil ibu selalu menyuruhku untuk menunaikan sholat lima waktu berjamaah di masjid.
            Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 20.00. teringat pesan nasihat dari Pak Karto untuk selalu rajin belajar dan mengerjakan PR,. Buku pelajaran hari ini mulai kubuka satu persatu, mengecek apakah ada PR atau tidak. Ternyata tidak ada PR untuk hari ini. Walaupun begitu lantas aku melanjutkan untuk belajar. Biasanya aku jam 20.00 langsung tidur tanpa belajar dan mengerjakan PR sama sekali. Namun karena aku sudah berjanji pada diriku sendiri maka aku mulai membiasakan belajar rata-rata 1-2 jam perhari.



            Dua minggu telah berlalu, Tidak menyangka UN sudah di depan mata. Hari ini jadwal hari pertama UN. Setelah berpamitan dengan ibu dan meminta doa restu agar diberi kemudahan dan kelancaran saat mengerjakan UN aku bergegas berangkat lebih awal agar tidak tergesa-gesa. Sesampainya di sekolah, masih dalam keadaan sepi, baru beberapa siswa yang datang.
“Gimana Dit? Dah siap?,”tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku.
Ketika kutoleh ke belakang,”O...Kamu Wan, bikin kaget saja.”Ternyata yang menepuk pundakku dari belakang adalah Wawan, teman sebangkuku. Akhir-akhir ini aku mulai membuka diri dengan teman-teman.
“Mau gak mau harus siap Wan,”jawabku.
“Aahhh....kalau kamu mah pasti dah siap, kamu kan pinter soal matematika,”seloroh Wawan menggodaku. Hari pertama UN jadwal mata pelajaran yang diujikan adalah matematika
“Kamu bisa aja, aamiin... kamu juga kulihat dh siap Wan. Kita selama ini kan belajar bareng,”balasku.
“Semoga kita sama-sama diberi kemudahan dan kelancaran ya Wan,aamiin...,”harap Wawan
“Aamiin....,”serentak aku dan Wawan mengamini.
Tet...tet....bel tanda masuk berbunyi. Pertanda waktu UN akan segera dimulai. Di dalam ruangan diawasi oleh dua orang pengawas yang berasal dari sekolah lain. Keadaan sangat hening. Nampaknya seluruh siswa sangat berkonsentrasi mengerjakan soal yang telah diberikan. Bismillah...dalam hati sebelum mengerjakan soal. Mulai dari soal yang kuanggap paling mudah satu persatu dapat kuselesaikan.
Waktu terus berjalandiberikan durasi 120 menit untuk menyelesaikan 40 butir soal. Kulihat jam dinding tinggal 30 menit lagi. Kutengok teman sekeliling masih tertunduk dengan tangan memegangi pensil. Semoga semuanya dimudahkan, pintaku dalam hati.
Tidak lama kemudian bel pertanda berakhirnya waktu mengerjakan pun berbunyi. Setelah soal disertai jawabannya telah dikumpulkan ke pengawas, kulihat berbagai ekspresi teman-teman menghiasi wajah mereka. Ada yang diam terpaku, ada yang lega, ada yang senang dll. Aku pun langsung menghampiri Wawan yang tempat duduknya di pojok belakang.
“ Gimana tadi Wan? Bisa ngerjain kan?,”tanyaku.
“Aku pasrah Dit..,”sambil menaruh kepala di atas meja.
“Ya sudah, gak usah dipikirin. Yang berlalu biarlah berlalu,”aku berusaha menghibur Wawan. Sambil menatap keluar kelas, tidak sengaja aku melihat Pak Karto lewat did epan kelas. Langsung saja aku keluar kelas untuk mengejar beliau.
“Pak Karta....!,”panggilku dari belakang, agar beliau berhenti sejenak. Setelah beliau berhenti.
“Terima kasih banyak ya Pak, berkat dorongan motivasi dari Bapak akhirnya saya bisa bangkit dan mempersiapkan UN dengan baik,”aku ingin memberikan ucapan terima kasih kepada Pak Karto sambil mencium tangan beliau.
“Iya Dit, sama-sama. Bapak ikutan senang jika siswa-siswa Bapak berhasil dalam prestasi,”balas beliau dengan tatapan teduh, menenangkan hati.
            Hari pertama UN telah aku lalui. Saatnya untuk mempersiapkan tiga hari yang akan datang karena masih ada beberap[a mata pelajaran yang belum diujikan. Selama UN hampir aku menghabiskan waktu di rumah untuk belajar. Aku ingin mewujudkan cita-citaku, semoga bisa.




            Beberapa minggu kemudian pengumuman kelulusan UN pun datang. Hasil pengumuman UN diambil oleh orang tua masing-masing siswa. Aku ikut serta mengantarkan ibu untuk mengambil hasil UNku. Ketika aku sampai di sekolah dan ibu masuk ke dalam ruang kelas, aku berpapasan dengan Bu Yani. Beliau salah satu staf TU di sekolahku. Lantas beliau memintaku untuk ikut ke ruang TU. Ada hal yang ingin beliau sampaikan. Hal apakah itu yang membuatku bertanya-tanya sepanjang perjalanan menuju ruang TU.
            Sesampainya di ruang TU...
“Aditya Bagus...,”panggil Bu Yani.
“Iya, benar Bu...,”sahutku.
“Selamat ya, kamu diterima di salah satu PTN favorit di Yogya di Fakultas Keguruan dengan jurusan Pendidikan Matematika melalui jalur beasiswa berprestasi,”beliau mengutarakan secara langsung.
Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang beliau sampaikan, aku masih diam terpaku belum bisa berkata apa-apa. Bu Yani jadi heran dengan sikapku. Lantas beliau berusaha meyakinkanku bahwa info itu benar adanya.
“Adit, kok malah diam? Mau gak diterima di PTN favorit lho di Yogya,”tanya Bu Yani membuyarkan pikiranku yang baru saja dipenuhi rasa tidak percaya.
“Benaran Bu? Alhamdulillah...terima kasih ya Allah.....,”balasku penuh ekspresi rasa syukur. Aku mengucapkan terima kasih kepada Bu Yani. Setelah itu berlari keluar menuju ke ruang kelas pembagian hasil rapot. Tidak sabar ingin memberitahukan kabar gembira ini kepada ibu.
            Ternyata ibu sudah menungguku di luar kelas.
“Ibu....,”langsung kupeluk ibu disusul mata yang berkaca-kaca. Apalagi ibu memberitahukanku bahwa aku lulus dengan hasil memuaskan..

            Empat tahun kemudian aku bisa menyelesaikan perkuliahanku dengan meraih gelar sarjana. Tidak membutuhkan waktu lama aku langsung mengajar di salah satu sekolah di kampung halaman, sekaligus menemani ibu yang semakin tua. Selalu kuingat jasa Pak Karto, guru teladan di hatiku. Tatapan matanya yang teduh, menyiratkan akan kesabaran yang beliau miliki selama menjadi seorang guru. Suatu ketika mendapat kabar bahwasannya beliau telah tiada. Saat itu juga air mataku meleleh. Melalui beliau aku bisa meneruskan perjuangan beliau. Selamat tinggal Pak Karto. Engkau telah mengabdi tiada henti. Amalanmu terus mengalir sampai kapanpun..