Kamis, 20 Oktober 2011

Rendahnya Kesadaran Berlalu Lintas.

By: Kareen el-Qalamy

Alat atau sarana transportasi. Siapa yang tidak membutuhkannya? Apalagi kalau kondisinya seperti sekarang ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah semuanya. Barang elektronik yang dulunya masih langka orang yang memilikinya, harga yang belum terjangkau, juga ketersediaan barang yang terbatas. Sehingga masyarakat tidak bisa mendapatkan itu semua dengan mudah. Bahkan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmatinya.
Lain halnya dengan realitas yang terjadi sekarang. Dimana alat-alat kebutuhan rumah tangga misalnya sangat mudah diperoleh. Keadaan perekonomian sepertinya sudah tidak menjadi penghambat bagi mereka untuk memiliki suatu barang tertentu. Misal sepeda motor, masyarakat hanya menyediakan beberapa lembar uang seratus ribuan saja sudah bisa membawa pulang sepeda motor yang diinginkan. Semuanya bisa didapat dengan sistem kredit. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan sudah menghipnotis gaya hidup masyarakat Indonesia. Itulah yang kemudian menjadi salah satu faktor pendukung semakin bertambahnya angka transportasi di negeri ini.
Kalau diperhatikan lebih lanjut bertambahnya kuantitas transportasi di jalan raya menyebabkan beberapa permasalahan yang sampai sekarang ini belum menemukan jalan keluar. Lihat saja di beberapa ruas jalanan ibukota atau malah hampir disetiap ruas jalan tidak pernah terlepas dari yang namanya kemacetan. Kemacetan sekarang ini memang sudah membudaya bagi kehidupan bangsa Indonesia. Segala bentuk aktivitas tidak lengkap rasanya jika tanpa diawali dan diakhiri dengan kemacetan ketika menuju ke tempat aktivitas atau ketika kembali ke rumah.
Bagaimana tidak macet lha wong jumlah jalannya tetap tidak bertambah namun angka kendaraan terus mengalami peningkatan sepanjang tahun. Hal ini juga diiringi dengan terus bertambahnya populasi penduduk di Indonesia. Memang perlu upaya keras untuk mengatasi problem seperti ini layaknya sebuah benang kusut yang sangat sulit dicari ujungnya. Semua pihak harus berpartisipasi turut andil mencari jalan keluar.
Baik itu pemerintah maupun masyarakatnya sendiri. Saling bekerjasama bagaimanapun caranya agar kemacetan yang melanda negeri ini segera teratasi minimal berkurang. Namun perlu diperhatikan juga kebijakan yang diambil jangan sampai merugikan salah satu pihak. Pemerintah selama ini telah berusaha memberlakukan berbagai macam kebijakan untuk bisa menanggulangi kemacetan. Salah satunya dengan standby di waktu-waktu dimana sering terjadi kemacetan untuk mengurai kendaraan agar kemacetan yang terjadi tidak semakin parah. Selain itu pemberlakuan sistem satu jalur, penentuan belokan untuk memutar bagi pengguna jalan agar tidak sembarangan ketika ingin memutar.
Semua itu diberlakukan untuk kebaikan semua pihak. Walaupun pengguna jalan sedikit direpotkan dengan berbagai peraturan lalu lintas. Tanpa adanya aturan yang mengatur bisa dibayangkan betapa kacaunya kondisi jalan ketika pengguna jalan seenaknya sendiri berlalu lalang, tidak hanya kemacetan yang terjadi bahkan kecelakaan pun pasti terjadi. Aturan sudah diberlakukan saja masih ada saja kecelakaan lalu lintas apalagi tidak adanya aturan yang diberlakukan. Tentu membuat kecelakaan akan semakin parah.
Inilah kehidupan,tidak bisa terlepas dari yang namanya aturan. Manusia dan peraturan yang akan selalu mengiringinya kemanapun manusia itu pergi. Karena dengann aturanlah manusia bisa menuju kepada kesejahteraan hidup. Tanpa aturan atau norma manusia akan hidup bebas layaknya kehidupan hewan yang tidak mengenal adanya aturan.
Namun permasalahannya di sini kesadaran dari masyarakat akan pentingnya menaati peraturan masih sangat rendah. Hal itu dapat dilihat ketika di jalan raya. Banyak sekali pelanggaran-pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh masyarakat. Mereka melanggar bukan karena ketidaktahuan akan adanya pemberlakuan aturan atau masih sangat minimnya sosialisasi aparat terkait peraturan berlalu lintas. Bukan juga karena masih terbatasnya fasilitas rambu-rambu lalu lintas yang ada. Walaupun tidak bisa dipungkiri seratus persen sebab-sebab di atas juga menjadi alasan para pengguna jalan melanggar aturan lalu lintas.
Namun yang paling penting dan paling berperan ketika suatu aturan itu berhasil membawa kemanfaatan adalah timbulnya kesadaran untuk menaati aturan berlalu lintas di setiap individu. Hal itu karena sangatlah percuma jika berbagai macam aturan diterapkan tetapi individu yang bersangkutan langsung dengan aturan tersebut tidak mau menaatinya. Di sini masyarakatlah yang memberikan porsi besar ketika suatu aturan berhasil diterapkan dan akan terlihat hasilnya.
Padahal kalau diperhatikan lebih lanjut kualitas pendidikan masyarakat mengalami peningkatan signifikan. Hampir setiap warga negara memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan seetinggi mungkin dan itu sudah terealisasi. Seharusnya semakin tinggi jenjang pendidikan semakin bertambaah pula kesadaran akan menaati peraturan lalu lintas. Tetapi mengapa realitas yang terjadi sangatlah berbeda? Sangatlah disayangkan apabila rambu-rambu lalu lintas yang terpajang disepanjang jalan hanya sebagai hiasan semata tanpa makna tanpa adanya kesadaraan dari pengguna jalan untuk menaatinya.

Minggu, 02 Oktober 2011

Harga Sebuah Jati Diri

By: Kareen el-Qalamy

Kulihat sosok itu. Sepertinya tak asing bagiku. Di dalam bis yang penuh sesak dengan penumpang. Duduk di kursi pojok paling belakang. Kuamati lebih lanjut, dari ujung rambut sampai ujung kaki di sepanjang jalan. Mengingatkanku akan seseorang. Iya, sesosok itu. Tubuh tua renta yang telah dimakan usia. Namun tetap memegang teguh sebuah prinsip. Prinsip akan sebuah idealismenya.
“Dah siap Nak?” sapa kakek dengan suara yang terdengar semakin lirih saja. Maklum kakekku sudah berusia tujuh puluh tahun. Jadi terkadang perlu perhatian dan pengawasan khusus.
“Sudah Kek. Kakek kenapa memakai pakaian seperti itu? Apa gak ada yang lain! Ganti sajalah” nadaku terdengar tidak mengenakkan di telinga. Entah kakek sakit hati atau tidak ketika mendengarnya karena beliau hanya diam saja. “Pakaian kuno kayak gitu kok masih dipakai. Malu-maluin saja,”batinku dalam hati.
“Udah-udah, ayo berangkat. Keburu siang!” celetuk ayah. “Biarin kakek berpakaian kayak gitu. Model seperti itu memang kesukaan kakekmu dari dulu.”
Kupandangi saja sejak awal berangkat dari rumah, di dalam mobil. Batik, emang apa sih bagusnya. Model dan coraknya saja norak kayak gitu. Jadi sebel ngeliatnya. Apa lagi kakek yang pake, entah seperti apa rupanya. Memang diri ini sangat menyukai barang-barang merek luar negeri yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Semenjak kepulanganku dari Jerman, sampai sekarang aku belum mau kalau disuruh memakai batik.
Pernah suatu hari aku diajak jalan-jalan oleh kakek keliling desa. Sungguh sangat indah pemandangan di desa. Sawah terhampar luas, udaranya pun masih terasa segar. Aku mengiyakan ajakan kakek. Pada malam hari, kubuntuti kakek dari belakang. Penasaran, emang kakek mau mengajakku kemana? Tiap kali kutanya ke beliau. Beliau tidak memberikan jawaban secara to the point seperti yang kuinginkan. Jadilah aku pergi bersama kakek dengan tampang cemberut.
Sekian lama kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak, tibalah kami di sebuah tanah lapang yang amat luas. Pemandangan seperti ini jarang kutemui di perkotaan yang sudah penuh dengan gedung bertingkat. Di situ kudapati banyak orang berkerumun dalam keramaian suasana pedesaan yang masih asri dengan keramahtamahannya. Memang ada pertunjukkan apa sehingga orang-orang begitu antusias. Terdengar suara gamelan, musik khas Jawa diiringi dengan merdunya sinden membawakan tembang-tembang macapat.
Aku bisa mengetahuinya sedikit demi sedikit karena berkat kakek. Kakeklah yang selama ini memperkenalkanku akan kekayaan khasanah budaya bangsaku, bangsa Indonesia. Baru sebatas provinsi Jawa Tengah saja sudah memiliki budaya yang beragam. Apalagi kalau melihat budaya dari 33 provinsi yang tersebar di Indonesia.
Kekagumanku semakin membuncah ketika mengetahui batik yang selama ini sangat aku benci. sekadar melihatnya saja sudah muak dibuatnya apalagi memakainya. Ternyata dapat menembus arus pasar global. Bersaing dengan barang produk negara-negara maju lainnya. Dan yang lebih surprise lagi batik diakui sebagai salah satu budaya internasional.
“Nak, kamu harus mencintai budaya di negerimu sendiri. Kamu juga yang harus melestarikannya. Kalau bukan kamu siapa lagi. Sekarang jamannya sudah berubah Ngger. Banyak orang yang bangga ketika bisa menggunakan produk luar negeri dan minder apabila memakai produk kita sendiri. Jati diri bangsa kita salah satunya tercermin dari keanekaragaman budaya itu. Kalau budaya itu hilang tergerus oleh arus globalisasi, itu tandanya bangsa ini akan kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu, banggalah dengan budaya dan produk sendiri. Cintai produk dan budaya bangsa kita. Jangan sampai kejadian masa lalu dimana budaya asli Indonesia diklaim milik bangsa lain terulang lagi. Kita tidak rela! Aku titipkan nasib budaya kita pada para pemuda generasi penerus sepertimu Nak,” kakek memberiku pesan yang sangat berharga. Aku hanya bisa mengangguk mendengarnya.
Aku bangga punya kakek seperti beliau. Beliau terus berusaha menjaga kelestarian budaya asli Indonesia. Salah satunya adalah dengan menjadi seorang dalang. Iya, kakekku ternyata di masa mudanya adalah seorang dalang ternama di desaku. Ketika aku masih kecil teringat diri ini sering sekali merengek-rengek untuk diceritakan sebuah dongeng pewayangan.
Namun itu semua tinggal kenangan. Kenangan yang akan terus abadi terpatri dalam angan-anganku. Sepeti sekarang yang kulihat ini sesosok seperti beliau. Tubuh tuanya memakai batik mengingatkanku pada kakek. Aku beruntung sekali mempunyai kakek seperti beliau. Kakek, aku akan berusaha mewujudkan pesan dan nasihat yang telah engkau berikan. Semoga ini menjadi salah satu jalan dengan membuka usaha butik batik di ibukota. Untuk memperkenalkan keelokan salah satu budaya yang dimiliki oleh Indonesia.