Minggu, 24 November 2013

Dinasti Politik = Nepotisme ?





Akhir-akhir ini kosa kata dinasti politik mencuat setelah tertangkapnya ketua MK terkait kasus korupsi yaang menyeret nama Bupati Banten (Pasti dah tahu namanya). Sebenernya apa sih yang dimaksud dengan dinasti politik? Kalau dalam istilah KKN ada istilah Nepotisme, apakah sama antara nepotisme dan dinasti politik? Untuk lebih mudah memahaminya sebaiknya mencari tahu terlebih dahulu pengertian dari masing-masing kata tersebut.
Nepotisme
            Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. 
            Itu tadi baru sebatas pengertian nepotisme. Kalau ditarik kesimpulan nepotisme suatu tindakan pengangkatan seseorang yang masih memiliki ikatan keluarga untuk menempati kursi jabatan tertentu bukan berdasarkan kualifikasi. Sedangkan pengertian dari dinasti politik sendiri akan dibahas dalam paragraf selanjutnya.
            Dinasti Politik atau Politik Dinasti
Belakangan ini isu politik dinasti kembali menguat sejak Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Operasi tersebut terkait penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terkait Pemilukada Kabupaten Lebak, Banten yang melibatkan kerabat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah .
Menariknya, Kabupaten Lebak tersebut diketahui dikuasai oleh politik Dinasti Jayabaya yang merupakan Bupati Lebak selama dua periode yang kemudian memajukan putrinya yang dikenal sebagai Iti Jayabaya. Dinasti lain di Banten adalah keluarga Ismeth Iskandar di Kabupaten Tangerang, Wahidin Halim di Kota Tangerang serta Dimyati Natakusumah di Pandeglang.
Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Bara Hasibuan membandingkan dengan kasus yang sama di negara-negara demokrasi maju. Dia pun menilai politik dinasti merupakan suatu hal yang wajar. "Di Amerika Serikat kita mengenal keluarga Kennedy, keluarga Gandhi di India, dan keluarga Aquino di Filipina. Keluarga-keluarga tersebut berasal dari negara-negara dengan tingkat gradasi demokrasi yang berbeda. Ini menjadi suatu fakta bahwa aktivitas politik yang berbasis keluarga tak menjadi masalah, selain juga bahwa hak individu untuk berpartisipasi dalam berpolitik," kata Bara di Rumah Gagasan PAN, Jakarta Selatan, Selasa (22/10).
Kendati demikian, menurut Bara seharusnya kekuasaan tak boleh menumpuk pada suatu kelompok atau keluarga agar prinsip check and balance dalam berdemokrasi bisa berjalan dengan baik agar semua pihak bisa berpartisipasi setara dalam berpolitik.
"Oleh sebab itu, politik dinasti juga dianggap menjadi hambatan para pihak untuk berpartisipasi dan melakukan koreksi. Apalagi jika demokrasi itu sendiri baru sampai pada tahap pembudidayaan, demokrasi pada tahap awal perlu dijaga dan dirawat," ujarnya.
"Karenanya, politik dinasti pada tahap itu harus diatur dan tak dapat dibebaskan begitu saja. Atas dasar tersebut, hak-hal politik warga negara untuk mencalonkan dan dicalonkan menjadi wajar untuk diatur, termasuk dibatasi," papar Bara. Sementara itu menurut pengamat politik yang juga hadir dalam diskusi terbatas tersebut, Hamdi Muluk, mengatakan bahwa politik dinasti terjadi lantaran kebobrokan budaya Indonesia yang sejak dulu sudah kacau, dari kultur nepotisme hingga kolusi keluarga. Selain itu orang-orang kotor juga dinilai telah berkumpul di partai politik. Hal tersebut bisa semakin membuat politik dinasti semakin kuat.
"Kebobrokan kultur kita itu kacau, watak kita buluk, karena sistemnya nggak tertata dan hukum enggak jalan. Orang-orang yang disebut free rider itu sekarang banyak di partai politik, itu mereka jajah semua sistemnya," imbuh Hamdi.
Politik dinasti dalam jabatan kepala dan wakil kepala daerah sesungguhnya terjadi secara luas. Puluhan kepala daerah terpilih ataupun gagal dalam pilkada terindikasi punya hubungan kekerabatan dengan pejabat lain. Hal itu dinilai sebagai ”cacat bawaan demokrasi”.
Berdasarkan penelusuran Kompas, setidaknya ada 37 kepala daerah terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat negara lain. Mereka tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Maluku.
Sebagian kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati Indramayu Anna Sophanah meneruskan jabatan dari suaminya, Irianto MS Syafiuddin. Demikian pula dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melanjutkan posisi suami masing-masing. Adapun Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan.
Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda sehingga dinasti politik bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya menjadi Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.
Contoh lebih luas adalah dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil Bupati Pandeglang, Wali Kota Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota Serang. Data tersebut belum memasukkan kekerabatan yang duduk di lembaga legislatif.
"Kementerian Dalam Negeri sebenarnya sudah mensinyalir kekerabatan dalam jabatan kepala/wakil kepala daerah sejak lama. Sedikitnya ada 57 kepala/wakil kepala daerah yang berhubungan keluarga. Karena itu, kami mengusulkan pembatasan kerabat yang mencalonkan diri dalam pilkada. Bahkan, kalau DPR mau, pengaturan bisa dikembangkan untuk lebih dari satu posisi," tutur Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, di Jakarta, Jumat (18/10/2013).
Namun, sampai saat ini, DPR belum menyetujui usulan pemerintah. Justru DPR memilih ada pengetatan syarat kompetensi, rekam jejak, dan integritas alih- alih membatasi kerabat yang mencalonkan diri dalam pilkada.
Menurut Gamawan, UUD 1945 tidak melarang kerabat untuk mencalonkan diri dalam pilkada atau pemilu sebab setiap orang memiliki hak sama untuk memilih dan dipilih. Namun, disebutkan pula, pembatasan untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain berdasarkan keadilan dan norma-norma lain seperti tercantum dalam Pasal 28 J (2).
Menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, dalam konteks demokrasi langsung, kualitas kekuasaan terpilih adalah cermin kualitas sebagian pemilihnya. Ketika masyarakat masih sangat paternalistik, kerabat tokoh cenderung menjadi patron budaya, politik, dan ekonomi. Bahkan, tanpa manipulasi atau mobilisasi dalam pilkada, "hegemoni paternalistik" yang di banyak tempat masih kuat akan membawa kemenangan pada kerabat patron.
Itulah penjelasan terkait dinasti politik dikaitkan dengan fenomena atau fakta-fakta yang terjadi di Indonesia bahkan dunia. Dinasti politik sebenarnya hampir sama dengan nepotisme, mengangkat seseorang dari keluarga sendiri untuk menduduki sebuah jabatan di perintahan. Namun ada yang membedakan antara dinasti politik dan nepotisme. Kalau nepotisme jelas melanggar aturan pengangkatan seseorang hanya karena masih terjalin hubungan kekerabatan secara langsung tanpa meengindahkan aturan yang berlaku. Sedangkan dinasti politik tidak secara mutlak dilarang. Dinasti politik sah-sah saja terjadi asal tetap mengikuti aturan main yang ditetapkan, misalnya dengan memenuhi kriteria atau persyaratan yang diberlakukan dan secara kualitas dan kemampuan diri juga memenuhi. Hal ini juga tidak membatasi hak asasi setiap orang untuk mencalonkan atau dicalonkan lalu dipilih. Walaupun orang tersebut masih terbilang kerabat asalkan memenuhi kriteria, berkompeten dan profesional di bidangnya dinasti politik sah-sah saja terjadi. Bagaimana dengan Anda?


Sumber:

Kamis, 14 November 2013

Hidup Untuk Memilih









Presented by Kareen el-Qalamy


Manusia menjalani kehidupannya di muka bumi ini bukan tanpa tujuan. Dalam firman-Nya di Q.S Adz-Dzariyat (51): 56 sudah tertera dengan jelas dan gamblang. Oleh sebab itu manusia tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang diberikan semasa hidup di dunia untuk berbuat sekehendak hatinya.
            Di sisi lain manusia juga diberikan fitrah untuk memilih jalan hidupnya. Hal ini dapat diketahui di Q.S Asy-Syams (91): 8-10Manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya yang tidak terlepas dari segala konsekuensinya. Mau memilih jalan ketakwaan dengan selalu mensucikannya atau malah mengotorinya.
Sebagai makhluk yang diberikan akal dan kejernihan hati tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan. Apalagi memilih jalan hidup yang salah. Jalan hidup yang jauh dari petunjuk Allah. Oleh sebab itu buktikan dengan akal dan kejernihan hati dapat memilih jalan hidup yang sebaik-baiknya karena waktu hidup di dunia hanyalah terbatas.


Senin, 04 November 2013

Malioboro Surganya Pejalan Kaki


Presented by Kareen el-Qalamy



            Yogyakarta dengan banyak slogan di dalamnya. Kota Pelajar, kota Budaya dan yang lebih menonjol yaitu menjadi satu-satunya daerah yang mempunyai keistimewaan. “Yogya Berhati Nyaman”baru saja merayakan hari jadinya yang ke-257. Usia yang dianggap tidak muda lagi bagi berdirinya sebuah provinsi dengan lima kabupaten ini.
            Sejarah juga membuktikan bahwasannya Yogyakarta menjadi saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia di zaman penjajahan. Penduduk mana yang tidak bangga jika daerahnya dulu pernah dijadikan sebagai ibukota negara walaupun hanya sementara. Bangunan-bangunan kuno berarsitektur Belanda masih berdiri kokoh menghiasi Yogya.
            Hal tersebut tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik itu domestik maupun manca. Tidak mengherankan jika Yogya dibanjiri turis di beberapa objek wisata. Yogya juga mempunyai banyak variasi objek wisata. Objek wisata bernuansakan alam, sejarah dan budaya.
            Ada yang menarik dari objek wisata budaya, yaitu Malioboro. Malioboro merupakan salah satu tempat yang berfungsi sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat Yogya. Mengapa tidak? Hal ini terbukti bahwasannya di sepanjang sisi jalan Malioboro dipadati oleh pedagang yang menjajakan barang dagangannya. Barang dagangan yang dijajakan pun tidak sembarangan. Tidak mengherankan jika Malioboro menjadi referensi utama bagi para wisatawan untuk berburu oleh-oleh khas Yogya.
            Pada umumnnya wisatawan yang berkunjung ke objek wisata yang dipilih adalah dari segi kenyamanan. Malioboro sebagai salah satu objek wisata juga sudah selayaknya harus memperhatikan hal itu. Terutama kenyamanan bagi para pejalan kaki.
Saat ini Malioboro lebih dipadati oleh kendaraan baik itu beroda empat maupun beroda dua. Hal itu berdampak pada tidak adanya lahan parkir. Kalaupun ada, bukan lahan parkir sebenarnya yang dipakai namun trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki. Tidak hanya dipakai untuk lahan parkir tetapi juga dipakai untuk tempat berdagang. Hal ini sangatlah disayangkan.
Perlu adanya tindakan khusus dari pemerintah Yogyakarta untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Dibuat semacam peraturan daerah terkait Malioboro bebas kendaraan misalnya. Setelah itu perlu ditindaklanjuti dengan mencari dan menentukan tempat parkir yang layak sebelum memasuki kawasan Malioboro sebagai gantinya. Dengan demikian siapapun yang ingin berkunjung ke Malioboro harus memarkirkan terlebih dahulu kendaraannya di luar kawasan dan memasuki Malioboro dengan berjalan kaki.