Proposal Tesis (Revisi I)
Presented by Kareen el-Qalamy
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian penting
dalam kehidupan manusia. Pemerintah sudah mengaturnya dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
terdapat pada pasal 5 ayat 1 bahwa, “Setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.” Tidak terkecuali untuk anak
berkebutuhan khusus (anak slow learner),
juga diatur pada Undang-undang tersebut dalam pasal 5 ayat 2 yang berbunyi,
“Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.” Hal ini berarti
pendidikan harus menyeluruh untuk semua kalangan, baik anak yang normal maupun
anak dengan kebutuhan khusus.
Pendidikan juga merupakan suatu
kebutuhan pokok bagi setiap individu yang ingin maju, baik itu anak yang normal
maupun anak yang mengalami kelainan fisik atau mental. Dalam Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 1 diamanatkan bahwa setiap warga negara
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian
berarti anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti tunanetra, tunarungu, slow learner, tunadaksa, tunalaras, dan
anak-anak berkesulitan belajar juga memiliki kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan.
Dalam
dunia pendidikan tentu tidak asing dengan istilah pendidikan inklusif. Pendidikan
inklusif yang menghargai semua siswa dengan keunikan mereka tidak serta merta
berjalan mudah, termasuk dalam pendidikan matematika (Susetyawati,
E., dkk., 2008). Sistem pendidikan yang masih mengedepankan penyeragaman untuk
memenuhi target kurikulum daripada penyesuaian dengan kebutuhan dan kemampuan
peserta didik merupakan salah satu kendala utama. Padahal, untuk bisa
menjalankan pendidikan matematika inklusif, filosofi, sistem, maupun praktek
pendidikan harus berubah.
Seiring
semakin berkembangnya implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, reformasi
menuju pendidikan matematika inklusif merupakan keniscayaan. Pembelajaran
matematika inklusif menjadi tantangan baru bagi pendidikan matematika ke depan.
Pendidikan matematika inklusif memerlukan perubahan filosofi, sistem, dan
praktek pendidikan. Tanpa perubahan tersebut, pendidikan matematika inklusif
sampai kapan pun tidak akan dapat terwujud.
Pendidikan
inklusi membuka peluang seluas-luasnya bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
untuk bersekolah. Salah satu ABK yaitu anak slow
learner. Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual
sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk slow learner. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau
keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih
jauh lebih baik dibanding dengan yang slow
learner, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang
lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik
maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Oleh
sebab itu ada kemungkinan besar guru yang membelajarkan matematika pada siswa slow learnr memiliki strategi khusus
dalam proses pembelajaran. Penggunaan teknik pengajaran juga sangat penting
karena dapat meningkatkan ketertarikan anak slow
learner untuk belajar. Seorang guru harus memiliki rencana yang matang
sebelum terjun dalam Proses belajar mengajar (PBM), mereka harus selalu
mempunyai ide kreatif dalam melakukan pembelajaran. Seperti menciptakan kelas
menjadi berpusat pada siswa, berpusat pada guru atau ide-ide kreatif yang lain.
Di dalam kelasnya seorang guru pasti banyak menemukan kesulitan yang dialami
siswanya saat menyerap materi pelajaran, apapun alasannya seorang guru yang
baik harus sadar bahwa pemecahan dari kesulitan – kesulitan yang dialami adalah
suatu tanggungjawab yang harus bisa ia pecahkan.
Paradigma
standarisasi pendidikan menyebabkan praktek pembelajaran matematika di sekolah
inklusi dilaksanakan seperti pada sekolah reguler. Guru matematika di kelas inklusi masih cenderung mengajar sesuai kemampuan siswa normal.
Proses pembelajaran dan penilaian dilaksanakan berdasar pada logika sekolah
reguler sehingga ABK kurang mendapatkan layanan yang sesuai. Praktek seperti
ini menyerupai bentuk sekolah model integrasi dimana ABK yang harus
menyesuaikan dengan pembelajaran yang dilaksanakan, bukan pembelajaran yang
disesuaikan dengan keunikan kebutuhan belajar mereka.
Permasalahan menjadi semakin pelik bagi ABK karena kurang memperoleh ruang memadai
untuk belajar sesuai kemampuan.
Proses belajar mengajar di kelas yang masih bertumpu pada pola pembelajaran
kelas reguler mengakibatkan ABK
sulit mengimbangi kecepatan belajar kelas. Keunikan belajar ABK menuntut perlakuan
khusus guru. Jika guru tidak mampu memberikan layanan yang sesuai dengan
kebutuhannya, ABK pasti mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika.
Tingkat kesulitan belajar matematika yang tinggi semakin sulit karena
keterbatasan mereka. Hal ini kontraproduktif jika dilihat dari pemikiran awal
pendidikan inklusif yang ingin memberikan layanan lebih baik bagi ABK.
Protret
buram pendidikan matematika, baik dari sisi proses maupun hasil, yang selama
ini terjadi pada pendidikan matematika di sekolah reguler juga terjadi pada
sekolah inklusi, bahkan menjadi lebih rumit.
Seperti halnya pada pembelajaran matematika di sekolah reguler selama ini, guru matematika sekolah inklusi banyak menerapkan model pembelajaran konvensional dimana guru
mendominasi kelas. Dominasi guru menyebabkan siswa pasif selama pembelajaran. Minat dan motivasi belajar
siswa juga
kurang nampak. Siswa seolah mengikuti pembelajaran
sebagai sebuah rutinitas dan kewajiban. Dari sisi hasil,
prestasi belajar matematika siswa sekolah inklusi umumnya rendah. Tingkat ketuntasan belajar siswa dalam mempelajari kompetensi
yang diajarkan guru relatif rendah.
Tahap
awal paling kritis keberhasilan pendidikan matematika inklusif adalah persepsi
terhadap pendidikan inklusif itu sendiri. Ketika awal diperkenalkan, ide
inklusif menghadapi skeptisme dan penolakan karena: (1) pendidikan inklusif
dianggap hanya istilah lain pendidikan integrasi; (2) kebijakan tidak memungkinkan pemberlakuan pendidikan
inklusif; serta (3) peralihan dari sekolah khusus terlalu sulit
(Ichrom, 2008). Skeptisme dan penolakan ini merupakan tantangan terbesar menuju
pendidikan yang menerima prinsip-prinsip inklusifitas, termasuk pada pendidikan
matematika. Pergulatan dan pertentangan pemikiran tentang pendidikan inklusif
tersebut harus dilewati sebagai pintu awal reformasi menuju pendidikan
matematika inklusif. Tanpa kesadaran dan penerimaan bahwa konsep inklusifitas
sebagai sesuatu yang positif, pendidikan matematika inklusif sulit diwujudkan.
Pendidikan
matematika inklusif memerlukan perubahan paradigma kebijakan pendidikan.
Kebijakan yang lebih mengedepankan penyeragaman daripada penyesuaian dengan
kebutuhan dan kemampuan peserta didik berdampak pada sulitnya mewujudkan
pendidikan matematika inklusif. Prinsip dasar inklusif adalah menghargai
perbedaan dalam diri setiap anak, bukan penyeragaman. Dengan demikian,
pendidikan matematika inklusif hanya akan terwujud jika didukung kebijakan
pendidikan yang berwawasan keberagaman. Inklusifitas dalam pendidikan
matematika bergantung sejauh mana kebijakan pendidikan memberi ruang pada
terakomodasinya perbedaan.
Pendidikan
matematika inklusif mensyaratkan reorientasi pendidikan. Orientasi pembelajaran
harus lebih diperluas sesuai dengan keberagaman siswa. Pendidikan yang dominan
berorientasi akademik berakibat pada anggapan bahwa nilai yang rendah berarti
siswa telah gagal belajar. Keterjebakan pada orientasi sempit ini berdampak
pada pelaksanaan pembelajaran matematika yang sempit, miskin, dan tidak
bermakna. Prinsip-prinsip inklusifitas tidak akan dapat tumbuh dan berkembang
dalam pendidikan matematika yang demikian. Setiap siswa berkembang secara utuh
dalam seluruh dimensi dirinya, bukan semata-mata aspek akademik. Nilai hanya
menunjukkan sebagian dari capaian, tidak seharusnya menjadi kriteria utama
dalam menafsirkan dinamika tumbuh kembang anak.
Kurikulum,
proses pembelajaran, dan penilaian pada pendidikan matematika harus
diselaraskan dengan prinsip-prinsip pendidikan inklusif. Ketiganya merupakan
tiga dimensi yang sangat penting dan saling berkait dalam praktek pendidikan
(Surapranata, dkk., 2004). Kurikulum merupakan penjabaran tujuan pendidikan
yang menjadi landasan program pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan upaya
yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam kurikulum. Penilaian
merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengukur dan menilai tingkat pencapaian
kurikulum serta berhasil tidaknya proses pembelajaran. Reformasi menuju
pendidikan matematika inklusif tidak akan terjadi tanpa menyentuh ketiga aspek
tersebut. Salah satu program pendidikan yang dilakukan di sekolah inklusi yaitu
adanya kurikulum yang fleksibel.
ePratt
(1980) identifies two basic assumptions that underlie all curricula: 1- that
knowledge should be pursued for its own sake 2- that curricula should be
designed to meet the immediate and long term needs of students. The knowledge
centred curriculum focuses on the content of subject areas, whereas the needs
centred curriculum assumes that human needs serve as the foundation for
curriculum. The teachrs should not lay much stress on abstract and theoretical
study because the slow learners can not understand the abstract concepts very
easily. Whenever there are abstract concepts the teacher should try to
establish possiblerelationship or point out.(Chauhan, 2011)
Berdasarkan
kutipan di atas, jelas bahwa kebutuhan manusia menjadi hal yang mendasari
dibuatnya kurikulum. Jadi kurikulum dibuat harus menyesuaikan kebutuhan manusia
juga, khususnya berkaitan dengan kebutuhan peserta didik. Apalagi konteks di
dalam sekolah inklusi, kurikulum yang diberlakukan tidak hanya mengakomodir
kebutuhan siswa normal saja, tetapi juga ABK yang ada di sekolah inklusi.
Padahal praktik di lapangan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Kurikulum pendidikan
matematika harus direstrukturisasi agar lebih adaptif dan sesuai dengan kebutuhan
pendidikan inklusif. Kurikulum berbasis standarisasi perlu dirubah menuju
kurikulum berwawasan keberagaman. Kegiatan pembelajaran matematika juga harus
dirancang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan karakteristik peserta didik.
Pembelajaran sebagai bagian utama pendidikan perlu disesuaikan agar hak belajar
peserta didik tidak ada yang terabaikan. Guru
matematika, demi keberhasilan
belajar siswa yang lebih baik, harus mau dan mampu memilih strategi
pembelajaran yang bisa mengakomodasi kebutuhan belajar seluruh
siswa, baik siswa normal maupun ABK.
Pendidikan
matematika inklusif juga menuntut penyesuaian dalam penilaian. Penilaian adalah
aspek yang tidak dapat dipisahkan dengan kurikulum dan porses pembelajaran.
Penilaian merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengukur dan menilai tingkat
pencapaian kurikulum serta berhasil tidaknya proses pembelajaran. Penilaian
juga digunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan proses pembelajaran,
sehingga dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, disamping
kurikulum dan proses pembelajaran yang sesuai, pendidikan inlusif memerlukan
sistem penilaian yang tepat. Penilaian harus mampu menjadi bagian dari
instrumen yang mendorong pengembangan siswa secara adil dan objektif.
Matematika merupakan pelajaran yang
diajarkan di sekolah dan termasuk mata pelajaran yang diuji dalam UN.
Matematika ini diajarkan di sekolah karena bermanfaat untuk kepentingan
matematika itu sendiri serta dapat memecahkan persoalan dimasyarakat. Kegunaan
matematika bagi siswa antara lain untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang
lebih tinggi dan berguna dalam kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan
sarana pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari, namun tidak sedikit orang
yang menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit. Oleh karena itu,
banyak guru yang berusaha menerapkan strategi khusus dalam mengajarkan
matematika agar mudah untuk dipahami. Seperti halnya hasil penelitian yang
dilakukan oleh Raimo Kaasila, dkk yang menunjukkan bahwa guru SD di Finlandia
menerapkan strategi penalaran siswa dengan memainkan peran sentral seorang guru
dalam proses belajar mengajar di kelas pada materi pembagian.
Keberhasilan suatu proses
pembelajaran itu dipengaruhi oleh berbagai komponen yang ada di dalamnya,
antara lain: tujuan, bahan atau materi, strategi pembelajaran, media, guru dan
siswa. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh R. M. Konantambigi dan R.
Nandini bahwa strategi guru dalam mengajar siswa sangat penting dilakukan untuk
mengatasi masalah-masalah siswa, maka dari itu guru perlu mendapatkan pelatihan
dalam rangka pemecahan masalah siswa di kelas pada saat proses pembelajaran.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ronald L Taylor dan Les Sternberg
yang menyatakan bahwa seorang guru harus mempunyai rancangan
program, bahan yang
digunakan, danteknik-teknik
khususyang dipilih dalam mengajar dan pemilihan serta perencanaan tersebutharus
tergantung padausiaindividudan kebutuhanpendidikan yang unik termasuk pada anak yang memiliki cacat mental.
Anak yang memiliki perkembangan
mental yang lambat sangat berbeda dengan anak normal pada umumnya. Untuk itu
guru harus benar-benar ekstra dalam pengajaran di kelas. Salah satu contoh dari
penelitian yang dilakukan oleh Juli Hadwin dan Simon Baron bahwa strategi guru
dalam membelajarkan anak autis adalah dengan diskusi pusat dengan kasus nyata
untuk menambah pemahaman siswa autis. Baik siswa berkebutuhan khusus maupun
siswa normal perlu memperoleh strategi khusus oleh guru dalam membelajarkan
matematika. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Robin Pierce
dan Lynda Ball yang menunjukkan bahwa hampir 92 guru matematika di Australia
menanggapi positif tentang penggunaan teknologi dalam pembelajaran matematika
dan berusaha mempromosikan penggunaan teknologi dalam membelajarkan matematika
di Australia serta mencoba mengatasi hambatan-hambatan dalam penggunaan
teknologi tersebut.
Strategi yang digunakan oleh guru
akan berbeda lagi untuk anak-anak berkebutuhan khusus dengan jenis lain.
Seperti halnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Herlina Hidayati
menunjukkan bahwa strategi yang digunakan guru dalam membelajarkan matematika pada
anak tuna rungu khususnya materi sifat-sifat bangun datar dapat dilihat dari
proses pelaksanaan pembelajaran mulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti
dan kegiatan akhir yaitu dari penggunaan metode dan teknik terlihat sama
seperti pembelajaran di sekolah pada umumnya, tetapi dari segi taktik terlihat
sangat berbeda. Pada dasarnya anak normal dan anak berkebutuhan khusus memiliki
persamaan dalam bidang keterampilan penyelesaian soal matematika. Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Ali Asghar Kakojoibari, dkk., yang menunjukkan
bahwa keterampilan matematika pada anak normal dengan anak tuna rungu tidak
terdapat perbedaan, namun dalam pembelajaran dengan penggunaan audio visual,
siswa dengan pendengaran normal memiliki prestasi yang lebih baik, untuk itu
penelitian tersebut memberikan saran bahwa guru hendaknya memberikan
pembelajaran dengan metode deduktif, dengan membangun pemahaman domain
matematika serta membentuk struktur kognitif pada pemikiran siswa.
Dari beberapa penelitian yang
diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tesis di SMP N 7
Klaten. Alasan peneliti yang mendasari memilih SMP N 7 Klatenadalah setelah
diadakan pra survei dengan mewawancarai salah satu pegawai TU yaitu Bu
Iftihani, ABK yang ada di SMP N 7 Klaten adalah anak slow learner. Jadi hal ini sangat sesuai dengan keinginan peneliti.
Disana peneliti mendapatkan informasi bahwa anak slow learner memang mengalami kesulitan ketika pembelajaran
matematika. Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui bagaimana proses
pembelajaran yang dilakukan untuk siswa slow
learner.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka
dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu, “Bagaimana proses pembelajaran matematika
untuk siswa slow learnerdi sekolah
inklusi SMPN 7 Klaten?”.
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana proses
pembelajaran matematika untuk siswa slow
learnerdi sekolah inklusi SMPN 7 Klaten
D.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Manfaat teoritis: memberikan sumbangan pengetahuan pada
pendidikan matematika sehubungan dengan Bagaimana proses pembelajaran matematika
untuk siswa slow learnerdi sekolah
inklusi
2.
Manfaat praktis: hasil penelitian ini nanti dapat digunakan sebagai bahan
kajian untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang sejenis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kajian Teori
1. Proses Pembelajaran Matematika
a. Pengertian
Pembelajaran
Menurut Winkel dalam Eveline
(2010: 12), “Pembelajaran adalah seperangkat tindakan yang dirancang untuk
mendukung proses belajar siswa, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian
ekstrim yang berperanan terhadap rangkaian kejadian-kejadian intern yang
berlangsung dialami siswa.” Proses pembelajaran harus dapat menciptakan kondisi
yang dapat menunjang proses belajar siswa.
Sedangkan menurut Miarso dalam
Eveline (2010: 12-13), “Pembelajaran adalah usaha pendidikan yang dilaksanakan
secara sengaja, dengan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum
proses dilaksanakan, serta pelaksanaannya terkendali.” Proses pembelajaran
pelaksanaannya terkendali dengan maksud agar terjadi belajar pada diri
seseorang.
Berdasarkan uraian diatas, yang
dimaksud pembelajaran pada penelitian ini adalah usaha pendidikan yang
dirancang untuk mendukung proses belajar siswa dengan pelaksanaan yang
terkendali.
b. Pengertian Proses
Pembelajaran Matematika
Dari uraian sebelumnya mengenai
pengertian pembelajaran, maka pengertian pembelajaran matematika pada
penelitian ini adalah usaha pendidikan yang dirancang untuk mendukung proses
belajar siswapada materi pelajaran matematika dengan pelaksanaan yang
terkendali. Menurut pendapat Moch. Masyku dan Abdul Halim (2008: 56-57),
“Proses pembelajaran matematika yang lebih baik dan bermutu di sekolah adalah
suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Seorang guru harus memiliki
kemampuan yang mumpuni di bidang strategi dan model pembelajaran matematika
yang bervariasi.”
2. Anak Slow Learner
a. Pengertian Anak Slow Learner
Lambanbelajar (slow learner) adalahanak yang
memilikipotensiintelektualsedikit di bawah normal tetapibelumtermasuktunagrahita.Dalambeberapahalmengalamihambatanatauketerlambatanberpikir,
meresponrangsangandanadaptasisosial, tetapimasihjauhlebihbaikdibandingdengan
yang tunagrahita, lebihlambandibandingdengan yang normal, merekabutuhwaktu yang
lebih lama danberulang-ulanguntukdapatmenyelesaikantugas-tugasakademikmaupun
non akademik, dankarenanyamemerlukanpelayananpendidikankhusus.
b. Karakteristik Anak Slow Learner
Karakteristik anak slow learner
a.
Rata-rata prestasi belajarnya selalu
rendah (kurang dari 6),
b.
Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik
sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya,
c.
Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
d.
Pernah tidak naik kelas
c.
Prinsip Khusus Anak Slow Learner
a.PrinsipKasihSayang
Anaklambanbelajaradalahanak
yang mengalamikelainan/penyimpangandalamsegiintelektual (inteligensi),
yakniinteligensinya di bawah rata-rata anakseusianya (di bawah normal).
Akibatnya, dalamtugas-tugasakademik yang menggunakanintelektual,
merekasenangmengalamikesulitan.Olehkarenaitu.kadang-kadang guru
merasajengkelkarenadiberitugas yang menurutperkiraan guru sangatmudahsekalipun.Merekatetapsajakesulitandalammenyelesaikannya.
Untukitu, mengajaranaktunagrahita/lambanbelajarmembutuhkankasihsayang
yang tulusdan guru. Guru hendaknyaberbahasa yang lembut, tercapaisabar, relaberkorban,
danmembericontohperilaku yang baikramah, dansupel,
sehinggasiswatertarikdantimbulkepercayaan yang
padaakhirnyabersemangatuntukmelakukan saran-saran dan guru.
b.PrinsipKeperagaan
KelemahananakTunagrahita/lambanbelajarantaralainadalahdalamhalkemampuanberfikirabstrak,
Merekasulitmembayangkansesuatu. Dengansegalaketerbatasannyaitu,
siswatunagrahita/lambanbelajarakanlebihmudahtertarikperhatiannyaapabiladalamkegiatanbelajar-mengajarmenggunakanbenda-bendakonkritmaupunberbagaialatperaga
(model) yang sesuai.Hal inimenuntut guru agar
dalamkegiatanbelajarmengajarselalu mengaitkanrelevansinyadengankehidupannyatasehari-hari.Olehkarenaitu,
anakperludibawakelingkungannyata, baiklingkunganfisik, lingkungansosial,
maupunlingkunganalam.Bilatidakmemungkinkan, guru dapatmembawaberbagaialatperaga.
c.PrinsipHabilitasidanRehabilitasi
Meskipun dalam bidang akademik anak
tunagrahita memiliki kemampuan yang terbatas, namun dalam bidang-bidang lainnya
mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang masih dapat dikembangkan.
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa
mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan meski kemampuan
atau potensi tersebut terbatas. Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan
berbagai macam bentuk dan cara, sedikt demi sedikit mengembalikan kemampuan
yang hilang atau belum berfungsi optimal.Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru
hendaknya berusaha mengembangkan kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin.
melalui berbagai cara yang dapat ditempuh.(Sumaryanta, 2010: 24)
B.
Kerangka Berpikir
Pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus bertujuan mengembangkan kemampuan anak seoptimal mungkin dalam berbagai
aspek, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor sesuai dengan kapasitas yang
dimilikinya. Melalui layanan Sekolah Inklusi, potensi yang dimiliki oleh anak
berkebutuhan khusus, diharapkan dapat dikembangkan secara optimal, sehingga
eksistensi kebutuhan anak berkebutuhan khusus di masyarakat tidak menjadi beban
bagi lingkungannya.
Salah satu jenis anak berkebutuhan
khusus adalah anak slow learner yang
memiliki keterbatasan berfikir, daya ingatnya rendah, sukar berfikir abstrak,
daya fantasinya rendah, sehingga mereka mengalami kesulitan belajar termasuk
dalam bidang studi matematika yang diakibatkan karena daya ingatnya rendah dan
sukar berfikir abstrak. Oleh sebab itu ada kemungkinan besar guru yang
membelajarkan matematika pada siswa slow
learner memiliki strategi khusus dalam proses pembelajaran. Guru harus
memiliki teknik-teknik khususdalam mengajar yang tergantung
denganusiaindividudan kebutuhanpendidikan yang unik termasuk pada anak yang memiliki cacat mental seperti anak
tunagrahita tersebut. Dalam
penelitian ini akan dikaji tentang bagaimana strategi guru dalam membelajarkan matematika
pada anak slow learner.
BAB III
A.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMPN 7 Klaten
pada bulan Desember sampai dengan Mei 2015.Adapun
tahapan penelitian tersebut tersaji pada Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Tahapan Pelaksanaan Penelitian
No
|
Kegiatan
|
September
|
Oktober
|
November
|
Desember
|
Januari
|
Februari
|
1
|
Persiapan |
|
|
|
|
|
|
- Penyusunan proposal |
|
|
|
|
|
|
|
- Penyusunan dan pengembangan instrumen |
|
|
|
|
|
|
|
2
|
Pengumpulan Data |
|
|
|
|
|
|
3
|
Analisis Data |
|
|
|
|
|
|
4
|
Penyusunan Laporan |
|
|
|
|
|
|
Alasan pemilihan lokasi adalah: 1. sekolah
memiliki data dan informasi yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian. 2.
dapat terjalin kerjasama yang baik antara peneliti dengan pihak sekolah,
terutama guru mata pelajaran matematika.
B.
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian
deskriptif kualitatifdengan pendekatan studi kasus. Pada penelitian ini pendekatan
studi kasus digunakan untuk melakukan kajian mengenai proses pembelajarkan matematika
pada anak slow learner kemudian
mendeskripsikan hasilnya.
C.
Subjek Penelitian
Subjek
penelitian ini adalah guru dan siswa slow
learner kelas VIIISMPN 7 Klaten. Teknik yang digunakan dalam
pengambilan subjek adalah purposive sampling, yaitu pemilihan subjek yang
bertujuan untuk mendapatkan data mengenai strategi guru dalam membelajarkan matematika
pada siswa slow learner. Alur
pemilihan subjek dilakukan dengan studi pra lapangan untuk mencari tahu guru
mata pelajaran matematika dan siswa slow
learner pada kelas VIIISMPN 7 Klaten, setelah itu meminta persetujuan bahwa
guru dan siswa slow learner tersebut
bersedia untuk menjadi subjek dalam peneliti
D.
Data dan Sumber Data
Data
yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah data mengenai proses
pembelajaran yang terjadi dalam membelajarkan matematika pada anak slow learner. Sumber data diperoleh dari
observasi langsung dan wawancara pada subjek penelitian.
E.
Instrumen Penelitian
a.
Instrumen Utama
Instrumen
utama pada penelitian ini adalah peneliti sendiri yang bertujuan untuk mencari
dan mengumpulkan data secara langsung dari sumber data.
b.
Instrumen Bantu Pertama
Instrumen
bantu pertama dalam penelitian ini adalah cheklist dan kamera video. Cheklist
ini berisi tahapan-tahapan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam
membelajarkan matematika di kelas. Sedangkan kamera video digunakan untuk
mengabadikan proses pembelajaran di kelas, agar nanti peneliti bisa memutar
kembali video pembelajaran tersebut guna memperdalam kajiannya mengenai
strategi guru dalam membelajarkan matematika pada anak slow learner.
c.
Instrumen Bantu Kedua
Instrumen
bantu kedua pada penelitian ini adalah pedoman
wawancara yang dibuat oleh peneliti sebagai alat bantu dalam pengambilan data
lapangan. Pedoman wawancara dibuat sebagai acuan dalam melakukan wawancara
kepada subjek penelitian.
F.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Observasi
Observasi dalam penelitian ini
digunakan untuk mengamati secara langsung proses pembelajaran matematika di
kelas VIIISMPN 7 Klaten, yang termasuk didalamnya pengamatan terhadap strategi
guru dalam membelajarkan matematika pada siswa slow learner, yang dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan
inti, maupun kegiatan penutup.
2.
Wawancara
Wawancara digunakan untuk memperoleh
informasi verbal secara langsung dari subjek penelitian mengenai strategi yang
digunakan dalam membelajarkan matematika pada siswa slow learner, baik dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, maupun
kegiatan penutup dalam proses pembelajaran.
G.
Validasi Data
Validasi data yang digunakan dalam
penelitian ini, meliputi beberapa kegiatan diantaranya adalah:
1.
Perpanjangan Keikutsertaan
Dalam penelitian ini peneliti
terlibat langsung untuk mengumpulkan data dengan waktu yang tidak singkat.
Keikutsertaan peneliti dalam kurun waktu yang tidaksingkat dapat menghasilkan
derajat kepercayaan data yang dikumpulkan lebih baik dengan cara mengikuti proses pembelajaran matematika anak slow learner (studi kualitatif pada SMPN
7 Klaten). Ketekunan pengamatan dalam penelitian ini dilakukan secara cermat
dan berkesinambungan,sehingga menemukan ciri-ciri dan unsur dalam situasi yang
sangat relevan denganpersoalan atau isu yang sedang dicari. Kemudian memusatkan
diri pada hal-hal tersebutsecara rinci untuk memperoleh kepastian dan urutan
peristiwa yang sistematik tentangproses pembelajaran matematika di kelas VIIISMPN
7 Klaten, yang termasuk didalamnya pengamatan terhadap strategi guru dalam
membelajarkan matematika pada siswa slow
learner, yang dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, maupun
kegiatan penutup.
2.
Mengadakan Triangulasi
Triangulasi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah membandingkan hasil observasi,wawancara, dan dokumentasi
tentang proses pembelajaranmatematika di kelas VIIISMPN 7 Klaten, yang termasuk
didalamnya pengamatan terhadap strategi guru dalam membelajarkan matematika
pada siswa slow learner, yang dimulai
dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup. Cara yang
dilakukan adalahdisplay data, mencek kebenaran data dengan cara mencocokan
hasil obseravsi danwawancara.
3.
Diskusi dengan Teman Sejawat
Kegiatan diskusi dengan teman sejawat
yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan cara mengekspos hasil sementara
atau hasil akhiryang diperoleh dengan rekan-rekan sejawat dalam bentuk diskusi
analitik. Datasementara yang diperoleh tentang proses pembelajaranmatematika di
kelas VIIISMPN 7 Klaten, yang termasuk didalamnya pengamatan terhadap strategi
guru dalam membelajarkan matematika pada siswa slow learner, yang dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan
inti, maupun kegiatan penutup. Didiskusikan dengan rekan yangmengetahui permasalahan
penelitian.
4.
Audit dengan dosen pembimbing
Kegiatan audit dengan dosen
pembimbing dalam penelitian ini bertujuan untuk memeriksa kelengkapan dan
ketelitian yang dilakukan sehinggatimbul keyakinan bahwa segala sesuatu yang
dilaporkan tentang proses pembelajaranmatematika di kelas VIIISMPN 7 Klaten,
yang termasuk didalamnya pengamatan terhadap strategi guru dalam membelajarkan
matematika pada siswa slow learner,
yang dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup.
Hal inidilakukan dengan cara mengkonsultasikan hasil yang telah didapat dari
penelitiandengan dosen pembimbing sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
H.
Teknik Analisa Data
Analisis data hasil penelitian
dilakukan dengan menggunakan model Miles dan huberman (dalam Sugiyono, 246)
dengan tahapan sebagai berikut:
a. Reduksi
Data
Kegiatan
reduksi data pada penelitian ini mengacu pada proses pemilihan, pemusatan
perhatian,penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data mentah yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan pada saat kegiatan observasi
dan kegiatan wawancara. Apabila terdapat data yang tidak valid, maka data itu
dikumpulkan tersendiri dan mungkin dapat digunakan sebagai verifikasi ataupun
hasil-hasil samping lainnya.
b. Display Data
Pada kegiatan display
data pada penelitian ini dilakukan pengklasifikasian dan identifikasi data
yaitu menuliskan kumpulan data yang terorganisir dan terkategori dari hasil
reduksi data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara sehingga
memungkinkan untuk menarik kesimpulan pada tahap selanjutnya.
c. Penarikan
Kesimpulan
Hasil analisis data
lapangan hasil observasi dan data wawancara dibandingkan atau dilakukan
triangulasi untuk mendapatkan data yang valid. Data yang valid tersebut
digunakan untuk mengetahui strategi guru dalam membelajarkan matematika pada
anak slow learner.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar