Sabtu, 30 Maret 2013

Indahnya Ukhuwah


Presented by Kareen el-Qalamy


Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa terlepas dari bantuan manusia lain. Mustahil jika manusia bisa hidup sendiri tanpa campur tangan dari manusia lain-walaupun sekarang marak tren hidup bersifat individualisme, terutama di kota-kota besar-namun tetap saja manusia tetap membutuhkan yang namanya interaksi dengan yang lainnya.
            Apalagi bagi kita yang hidup di alam Indonesia, yang notabene terkenal akan keanekaragaman budaya, bahasa, agama, suku dan ras. Semuanya terikat menjadi satu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Padahal jelas-jelas banyak sekali perbedaan. Namun perbedaan itu bukannya menjadikan kita saling bermusuhan, tetapi justru semakin menambah jalinan persatuan dan kesatuan di negeri ini. Oleh sebab itu jangan mudah terprovokasi hanya karena alasan perbedaan yang ada.
            Walaupun berbeda, tetapi antar satu dengan yang lain masih ada kesamaan, yaitu sama-sama senasib sepenanggungan pernah dijajah dan memperjuangan kemerdekaan ini bersama-sama. Sebenarnya ada satu lagi ikatan yang sangat kuat yaitu ikatan aqidah-apalagi Indonesia dengan mayoritas muslim terbesarnya-harapannya bisa saling mendukung demi tercapainya tatanan kehidupan yang bernafaskan Islam.
            Munculnya berbagai gerakan dan ormas Islam seharusnya dapat saling melengkapi satu sama lain karena sarana untuk mencapai tujuan memanglah bervariasi. Oleh sebab itu ikatan ukhuwah Islamiyah harus semakin kuat dan kokoh. Sudah tidak jamannya lagi berselisih satu sama lain, namun sudah saatnyalah kita bahu-membahu bersama-sama menghadapi fitnah eksternal yang semakin memperburuk kondisi umat Islam. Hal ini terutama dalam hal menghadapi Ghazwul Fikri yang memang sengaja dihembuskan oleh Barat yang memang tidak akan pernah ridha jika Islam kembali berjaya. So, keep ukhuwah !!!

Sabtu, 23 Maret 2013

La Tahzan


Presented by Kareen el-Qalamy


Inna ma’al ‘usri yusro, sungguh menandakan adanya secercah harapan di balik segala permasalahan hidup. Lantas menimbulkan rasa optimisme untuk melangkah ke depan karena habis gelap terbitlah terang. Diibaratkan sayur tanpa garam jika suatu kehidupan tanpa adanya masalah.
            Masalah yang datang tergantung tanggapan masing-masing orang seperti apa. ada yang menganggapnya sebagai peringatan, ada yang menganggap sebagai ujian, bahkan ada juga musibah itu sebagai azab, na’udzubillah. Beruntung bagi mereka jika masalah yang datang sebagai ujian yang harus dilalui. Mengapa? Dikarenakan itu bearti merupakan tanda-tanda naik derajat seperti halnya siswa yang memang harus mengikuti ujian untuk naik kelas. Seorang muslim belum dianggap beriman jika dia belum diberi musibah.
            Bagi yang menganggap masalah sebagai peringatan, itu berarti bisa dijadikan sebagai peluang emas untuk dimanfaatkan sebagai sarana melatih kesabaran, keikhlasan dan kesyukuran. Ini sebagai tanda bahwa Allah masih sayang terhadap hamba-Nya. Peringatan untuk selalu berbuat baik dan peringatan untuk selalu menjauhi perbuatan buruk.
            Namun, jangan sampai masuk dalam kategori datangnya masalah merupakan azab yang harus diterima. Azab selalu identik dengan hal-hal yang buruk. Sama halnya dengan hukuman. hukuman bagi siapa saja yang melakukan perbuatan buruk juga.
Manusia hanyalah merencanakan dan Allah yang menentukan. Apabila ketentuan Allah tidak seindah yang kita harapkan, memang itu merupakan masalah bagi kita. Namun, alangkah lebih bijak jika permasalahan terseut bisa dikelola dan diselesaikan secara baik-baik. Menyelesaikan masalah tanpa masalah. So, La Tahzan, innallaha ma’ana.

Kamis, 21 Maret 2013

Di sini, Mengajarkanku akan Arti........


Presented by Kareen el-Qalamy


Di sini, mengajarkanku akan arti kebersamaan
Yang akan terasa menentramkan, selamanya..

Di sini, mengajarkanku akan arti cinta
Bukan cinta yang berlandaskan nafsu semata tetapi cinta karena Illahi Robbi...

Di sini, mengajarkanku akan arti kesabaran
Ketika harus dituntut seimbang antara amanah dan studi...

Di sini, mengajarkanku akan arti kesyukuran
Ketika  masih diberi kesempatan untuk merasakan ketentraman di dalam dien ini...

Di sini, mengajarkanku akan arti indahnya ukhuwah
Bisa merasakan kenikmatan bertemu dengan barisan dakwah ini...

Moment-moment indah akan selalu terpatri di sanubari....(Ini kesanku, mana kesanmu???)

Rabu, 13 Maret 2013

Sindrome Skripsi



Presented by Kareen el-Qalamy


Skripsi, tentu sebuah kata bagi civitas pendidikan tidak asing lagi – bahkan bisa membuat bulu kuduk berdiri – terutama bagi mereka yang bertitel,”Mahasiswa”. Bukan sembarang mahasiswa, karena mahasiswa yang pasti bertemu dengan yang namanya skripsi adalah mahasiswa setingkat S1 dan sudah memasuki semester akhir.
            Bagi mahasiswa yang sudah memasuki semester akhir nampaknya harus waspada dengan yang namanya sindrome skripsi ini. Sindrome skripsi ini bisa menyerang semua tipe mahasiswa. Dari mahasiswa yang bertipe kupu-kupu (kuliah-pulang), organisatoris, pekerja, bahkan akademis.
            Mahasiswa yang bertipe organisatoris terkadang menganggap remeh gejala sindrome skripsi. Salah satu gejalanya yaitu bersifat,”melenakan”. Kalau penderita dari awal tidak segera menyadari bahwa dirinya terserang sindrome skripsi, dia akan merasa dirinya enjoy saja – padahal sindrome tersebut mulai menggerogoti pikirannya – untuk tidak segera mengerjakan dan menyelesaikan skripsi alias menunda-nunda. Ini baru sebatas satu jenis gejala.
            Sedangkan mahasiswa yang bertipe akademisketika terserang sindrome skripsi, mereka akan merasakan gejala yang berbeda pula. Mereka cenderung memfokuskan diri  untuk segera menyelesaikan skripsi. Hal ini tentu sangat baik karena pertanda semakin cepat menyelesaikan masa studinya.
            Lain hal lagi jika sindrome skripsi ini menyerang mahasiswa yang notabene aktivis dakwah. Mereka justru berpotensial sekali mengalami salah satu dari dua gejala tersebut. Padahal aktivis dakwah dituntut untuk menyeimbangkan antara organisasi dan akademis Namun, setidaknya gejala pertama masih tergolong ringan jika dibandingkan dengan gejala yang kedua.
Kalau sampai gejala kedua menyerang aktivis dakwah, hal tersebut akan berefek kepada aktivitas dakwahnya atau amanah yang diembannya. Karena dia lebih mementingkan mengerjakan skripsi dan amanah di organisasi menjadi terbengkalai. Fenomena seperti ini sama saja mendzolimi amanah. Mendzolimi amanah sama halnya mendzolimi orang banyak  Padahal seharusnya bukan seperti itu. Sindrome skripsi dengan gejala seperti ini dalam dalam jangka panjang akan sangat berbahaya karena akan berdampak pada kehidupan sosialnya. Bisa-bisa mereka lebih mementingkan urusan yang bersifat keduniawian dari pada urusan yang membawa manfaat bukan sekadar duniawi saja tetapi juga akhirat.
Oleh sebab itu, siapapun mahasiswa yang merasakan adanya gejala baik itu yang pertama atau yang kedua, hendaknya segera mengambil langkah preventif dan pengobatan agar kondisinya tidak semakin kronis. Muhasabah dan mengatur kembali schedule yang ada biar lebih seimbang antara proses penyelesaian skripsi dengan amanah di organisasi. So, tidak ada yang terdzolimi antara keduanya (skripsi dan amanah).

Minggu, 03 Maret 2013

Lagi-lagi Nanam Hotel


Presented by Kareen el-Qalamy


Perekonomian saat ini sungguh mengalami perkembangan sangat pesat. Sejak diberlakukannya perdagangan bebas seolah-olah batas geografis suatu negara sudah tidak menjadi penghalang. Bahkan tanpa batas. Apalagi didukung oleh kemajuan teknologi dan komunikasi. Sistem perdagangan yang dulunya harus diawali via face to face, sekarang tidak perlu repot-repot. Via online saja sudah bisa membeli suatu barang yang diinginkan.
            Hal tersebut tentu menawarkan kemudahan bagi masyarakat. Berawal dari kemudahan lama-lama menyebabkan timbulnya sikap manja dari masyarakat sendiri. Akhirnya munculah budaya serba instan. Masyarakat sudah tidak mau tahu dengan yang namanya proses dan nilai-nilai perjuangan. Yang penting mendapatkan hasilnya dengan mudah dan cepat tanpa melihat apakah proses atau cara yang ditempuh itu benar. Tidak mengherankan jika sekarang marak perilaku yang sifatnya negatif, namun karena sebagian besar masyarakat melakukannya sehingga menyebabkan perilaku negatif tersebut menjadi sesuatu hal yang wajar bahkan menjadi suatu kebiasaan. Banyak contoh kasusnya, seperti praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
            Banyak faktor yang mempengaruhi. Salah satunya gaya hidup masyarakat sekarang yang sudah terkontaminasi dengan gaya hidup orang Barat. Dimana gaya hidup orang Barat kental akan gaya hidup hedonis, konsumtif dan glamor. Indikasi-indikasi tersebut telah banyak nampak di sekitar lingkungan tempat tinggal kita. Semua daerah di Indonesia tidak ada yang terlewat, menjadi sasaran empuk virus budaya Barat yang mematikan ini. Bahkan daerah pelosok dan terpencil pun masih tetap berpotensi menerima serangan virus ini.
            Salah satu daerah yang akan menjadi sorotan adalah Yogyakarta. Daerah yang terkenal dengan semboyannya,”Yogya berhati nyaman”,ini nampaknya sudah tidak nyaman lagi bagi masyarakatnya. Mengapa tidak? Fenomena – fenomena yang semakin memperkuat statement tersebut semakin banyak bermunculan. Lama – lama Yogyakarta tidak ada bedanya dengan ibukota negara, Jakarta. Jalanan yang semakin padat akan kendaraan baik itu beroda empat maupun dua. Bangunan – bangunan yang semakin padat, sampai-sampai tidak mendapatkan lahan lagi untuk membangun.
            Namun, ada hal yang sangat menggelitik dengan Yogya. Sudah tahu kawasan semakin padat dengan bangunan dan jalanan yang seringkali macet tidak hanya dikarenakan semakin bertambahnya jumlah kendaraan tetapi juga lebar ruas jalan yang tidak bisa ditambah lagi. Masih saja ada oknum-oknum tertentu yang memaksakan kehendaknya untuk menanam hotel di kawasan tersebut. Tidak ada hotel di kawasan tersebut saja kemacetan sering melanda apalagi hotel sudah berhasil ditanam. Entah, mungkin oknum si pemilik hotel tersebut telah terbutakan oleh harta, sampai-sampai yang ada di pikirannya hanya bagaimana cara mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan kawasan strategis untuk menanam hotel. Seperti tidak ada jalan lain saja selain membangun hotel demi komersialitas.
            Kalau saja oknum si pemilik hotel memenuhi segala persyaratan yang ditentukan ketika mendirikan suatu bangunan di kawasan padat penduduk, hal itu tidak menjadi masalah. Namun, yang dikhawatirkan apabila persyaratan tersebut ada yang tidak terpenuhi. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah terkait dampak lingkungan yang akan ditimbulkan oleh pembangunan hotel tersebut.
Dampak lingkungan yang dimaksud  terutama menyangkut hal-hal terkait polusi dan limbah yang dihasilkan. Kalau saja limbah yang dihasilkan diolah dan tidak sampai mencemari lingkungan sekitar hotel tersebut berdiri tentu tidak mengapa. Akan menjadi masalah serius jika limbah tidak diolah sebagaimana mestinya dan langsung dibuang begitu saja. Tentu akan menimbulkan kerugian tidak hanya si pemilik hotel, tetapi juga masyarakat yang tinggal di sekitaran hotel.
Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius bagi pemerintah DI Yogyakarta untuk semakin memperketat pengawasan terhadap perizinan pembangunan gedung khususnya hotel. Mentang-mentang pemerintah juga mendapatkan aliran dana – alih-alih sebagai sumber pendapatan daerah -  lantas seenaknya memberikan keleluasaan bagi pemilik modal untuk mendirikan usahanya di mana saja tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan. Semoga pemerintah semakin arif menyikapi fenomena ini sehingga tidak ada lagi pihak yang dirugikan dan semboyan,”Yogya berhati nyaman”,masih pantas disandang