Senin, 26 November 2012

Kenyamanan Hati





Created by Kareen el-Qalamy


Semilir angin sepoi-sepoi menerpaku. Masuk melalui jendela sehingga membuatku semakin nyaman saja bersantai di atas ranjang tempat tidur. Sambil menatap langit-langit yang berwarnakan putih bersih. Berkelebat dengan cepat bayangan akan wajah seseorang. Seorang perempuan tua renta yang telah melahirkan dan merawatku. Kapan aku akan bertemu dengannya lagi? Tidak terasa hampir dua tahun aku merantau ke Yogya, kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama. Meninggalkan kampung halamanku, Aceh.
“Sel, berangkat dulu ya,”ujar kakak kosku dari luar kamar.
“Iya mbak,”
            Kulirik jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00. Pandanganku beralih ke selembar kertas yang tertempel di dinding kamar. Senin mata kuliah Kalkulus jam 07.00. Ahh...tapi kok rasanya malas banget beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Tut..tut...suara HP berdering. Belum keluar kamar tangan ini langsung saja meraih HP yang tergeletak di atas meja. Sebuah SMS mendarat di HPku dengan sebuah nama tertera di layarnya,”My Darling”.
            Sebutan itu memang khusus aku berikan kepada seseorang yang biasa disebut sebagai pacar. Iya pacar, aku telah berpacaran sejak awal memasuki bangku kuliah di semester pertama. Ini merupakan pengalaman pertamaku pacaran. Pacaran dengan teman kelasku sendiri.
“Kamu sudah berangkat belum Say,”panggilan sayang yang dia lontarkan kepadaku sering kali membuatku melayang.
“Belum, ni baru mo siap-siap,”balasku tanpa panggilan sayang. Karena aku bukan tipe cewek yang suka mengobral kata-kata sayang.
“Kita gak usah masuk yuk, sekali-kali bolos gitu,”
“Bolos? Emang mau kemana?”sepertinya aku tertarik dengan ajakannya.
“Jalan-jalan kemana gitu, bosen juga sering-sering dengerin dosen,”
“Ayo,kamu ke kosku dulu ya”akhirnya aku pun mengiyakan ajakannya.
            Dengan semangat menuju kamar mandi bersegera untuk membersihkan diri. Sekali-kali tidak apa-apalah aku bolos, toh baru kali ini juga, batinku. Tidak lama kemudian aku pun sudah berpenampilan rapi. memakai kemeja biru kotak-kotak, jilbab paris warna hitam dan celana pensil. Beginilah caraku berpakaian. Aku memang tipe cewek yang mengikuti mode. Hampir segala model pakaian aku punya. Kok belum datang-datang juga,menunggu dengan tidak sabar. Akhirnya terdengar suara motor dari luar...
“Sely...!”
“Iya, aku keluar,”
“Cantik bener pagi ini sayang,”
“Ih...kamu, bisa aja. Tiap kali bertemu pasti kata itu yang keluar pertama,”
“Habis mo bilang apa lagi, emang kenyataannya gitu,”
“Hem...mulai deh nggombalnya. Yuk segera capcus...,”aku menarik tangannya tidak sabar ingin segera menaiki sepeda motornya. Bonceng melangkah, mesin di hidupkan lantas keluar halaman kos.
            Pagi-pagi memulai hari dengan bertemu pacar dan bolos kuliah pergi entah kemana. Di sepanjang jalan suasana pagi masih sangat sejuk.
“Kita mo kemana nih jadinya?”tanyaku.
“Udah, percaya padaku. Kamu akan kuajak ke tempat yang sangat romantis Sayang,”
“Benarkah? Makasih. Kamu memang pacarku yang perhatian banget sama aku,”
            Ucapannya baru saja membuatku menjadi cewek paling bahagia pagi itu. Ungkapan bahagia kutandai dengan semakin bertambah erat kedua tanganku memeluk tubuhnya. Perasaanku membuncah, serasa semakin bertambah rasa cintaku padanya. Walaupun kami sudah jadian selama dua tahun, belum pernah sekalipun kami bertengkar bahkan sampai putus. 
“Kita mampir makan dulu yuk, lapar nih belum sarapan,”ajakku
“Boleh, di seberang jalan ini ada warung soto, mau Say?”
“OK deh.”
            Akhirnya kami berhenti di salah satu warung soto. Masih sepi, sepertinya kami konsumen pertama. Dengan lahap menyantap hidangan soto yang telah disiapkan, tiba-tiba..
“Say, bawa uang gak?”
“Bawa donk, emang kenapa?”tanyaku penasaran.
“Dompetku ternyata ketinggalan.”
“Udah, nanti aku yang bayar.”
“Makasih ya Say.”
            Perjalanan pun kami lanjutkan kembali.
“Masih jauh ya Vald?”panggilan akrabku padanya. Revald Reynaldi, itulah nama panjangnya. Sama-sama satu jurusan di pendidikan matematika. Perhatian yang dia berikan itulah yang membuatku simpatik kepadanya. Berawal dia terlebih dahulu yang menyatakan rasa sukanya padaku. Tanpa berpikir panjang langsung saja aku menerimanya sebagai pacarku saat semester satu.
“Tinggal bentar lagi kok, sabar ya Say,”
            Memasuki salah satu gang kecil di sudut kota. Memasuki jalan setapak, semakin lama semakin sepi saja. namun pemandangan yang ditampilkan juga semakin bagus. Bunga berwarna-warni mulai bertebaran di sana-sini. Memarkirkan motor lantas mencari tempat duduk yang nyaman karena terdapat banyak bangku di sana.
“Say, kita kan sudah lama jadian, mau tidak kamu berjanji padaku?”dia mengawali pembicaraan.
“Berjanji apa?”
“Berjanji bahwasannya kamu kelak akan menikah denganku.”
“Serius kamu akan menikahiku?”tanyaku meninggi, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dia katakan.
“Masak aku bohong sih Say,”sambil menunjuk salah satu bunga.”Bunga itu akan menjadi saksi kesungguhan cintaku padamu.” Dia menatapku dengan pandangan yang aneh. Semakin lama ku menatap matanya, semakin kencang saja hati ini berdebar.
            Takkuasa bibir ini berbicara. Serasa kelu dan kaku. Namun di dalam hati sungguh sangat bahagia. Dengan sedikit anggukan saja sepertinya sudah mewakili bahwa aku”mau”. Beberapa lama ngobrol akhirnya kami memutuskan untuk pulang.
                Sesampainya di kos, pintu kubuka secara perlahan. Mengamati suasana dalam rumah yang terlihat sepi menandakan tidak ada penghuninya. “Ah...sendirian lagi”sambil mencari-cari kunci kamar yang kusimpan di dalam tas. Tiba-tiba terdengar suara pintu di buka.
”Assalamu’alaikum dik Selvi,lho kok tumben dah pulang?”tanya seorang muslimah dengan jilbab besarnya melambai-lambai mendekatiku.
“Wa’alaikumussalam, eh..Mbak Naya. Iya Mbak, jam kosong dosennya tidak masuk,”jawabku dengan memasang mimik terkejut dan diiringi dengan pernyataan bohong yang secara spontan keluar dari mulutku. Aku memang tidak mau mbak Naya tahu bahwa aku hari ini bolos kuliah walaupun baru sekali.
“O...begitu...nanti siang nemenin mbak yuk.”
“Kemana Mbak?”
“Ke Bringharjo,”jawabnya.
            Tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakan ajakan mbak Naya. Mbak Naya pun langsung kembali ke kamarnya. Aku pun juga masuk ke kamar dengan perasaan senangdan bahagia. Mengapa tidak? Orang tuaku mulai khawatir dengan usiaku yang semakin bertambah dengan kuliah sudah mendekati semester akhir. Akhirnya ada juga seorang laki-laki yang berjanji kelak akan menikahiku. Dan laki-laki itu adalah orang yang selama ini kucintai. Siapa lagi kalau bukan pacarku.

#                            #                      #

“Emang Mbak mau beli apa sih?”tanyaku ketika memasuki gerbang pasar Bringharjo.
“Lihat saja nanti kamu pasti tahu dik.”
            Setelah beberapa kali singgah dari satu kios ke kios lain yang sejenis aku mulai bisa menyimpulkan kira-kira apa yang mau dibeli mbak Naya. Secara tidak sabar aku pun langsung melontarkan pertanyaan kembali.
“Mau beli kain, buat apa mbak?”
Sambil mengacungkan jari telunjuk tepat di depan bibirku,”Sssttt..buat pesta pernikahan Mbak dik.”
            Setelah mendengar pernyataan mbak Naya, kontan saja aku terkejut. Mbak Naya memang pintar menyimpan rahasia hatinya. Karena selama ini tidak pernah mbak Naya digosipkan menjalin hubungan spesial dengan seorang laki-laki. Seketika itu juga beribu pertanyaan memberondongi mbak Naya.
            Setelah lama memilih-milih kain akhirnya menemukan motif kain batik yang dirasa cocok untuk mbak Naya. Misi utama telah selesai.
“Mau makan apa dik?Mbak traktir ya.”
“Dengan senang hati Mbak,”sambil bergegas menuju warung makan yang berjejeran di arena pasar Bringharjo. Namun belum sampai masuk di salah satu warung, mata ini secara tiba-tiba mendapati sesosok laki-laki di seberang jalan berjalan dengan seorang perempuan. Mereka berdua berjalan dengan sangat mesra. Salah satu tangan laki-laki itu merangkul pundak perempuannya. Menunjukkan seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Tidak peduli bahwasannya mereka melakukan itu di tengah keramaian.
            Dan aku hampir saja dibuat pingsan karena aku sangat mengenal laki-laki itu. Revald, iya Revald. Laki-laki yang selama ini kuanggap sempurna di mataku. Perhatian yang selama ini dia curahkan, nampaknya berhasil membuatku mabuk kepayang sehingga membutakan mata hatiku. Laki-laki yang sempat membuatku jatuh cinta dan harapan untuk menikah dengannya ada di depan mata, secara tiba-tiba hilang bersamaan dengan hatiku yang hancur remuk.
“Mbak, langsung pulang saja yuk,”pintaku secara tiba-tiba kepada mbak Naya.
“Lho,emang kenapa Dik?” Tanyanya terheran-heran.
“Selvi capek banget nih, pengen segera istirahat,”alasan yang kulontarkan, yang sebenarnya ingin segera meluapkan rasa sakit hatiku.
“OK deh kalau begitu.”
            Sesampainya di kos, tanpa sepatah kata aku langsung masuk kamar dan kukunci dari dalam. Tidak memperdulikan mbak Naya yang menatapku masih dengan wajah terheran-heran.
Sungguh, sangat teganya dirimu Revald. Teganya dirimu mengkhianatiku, menjalin hubungan dengan wahita lain selain aku. Baru tadi pagi kamu berjanji ingin menikahiku dan hati ini terasa bahagia dibuatnya. Sekarang kau menyakitiku.”suara tangisanku walaupun pelan bersamaan dengan luapan air mata yang membanjir. Karena aku tidak mau mbak Naya tahu bahwa aku sedang menangis di dalam kamar.
            Kulirik HP yang berada di sampingku. Berusaha untuk meraih dan mengetik sms,”Sekarang hubungan kita putus.”Kukirim kepada laki-laki paling jahat yang hadir di kehidupanku. Rasa sakit hati benar-benar menyelimutiku. Disusul oleh rasa penyesalan, mengapa aku dengan mudahnya termakan oleh bujuk rayunya.
Teringat peristiwa tadi pagi saat kami memadu kasih, sempat terpikir menyerahkan segalanya yang aku miliki termasuk kehormatanku agar rasa cinta yang dia berikan bisa aku miliki selamanya. Untung saja aku masih bisa berpikir jernih, belum sampai melakukan hal itu. Entah bagaimana jadinya jika aku sampai melakukannya. Karena aku percaya kepadanya apalagi setelah dia benar-benar berjanji akan menikahiku. Melakukan hubungan terlarang dengan mengatasnamakan cinta. Dan sekarang apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Secara spontan ungkapan rasa syukur kuucapkan. Itu tandanya Allah masih menyayangiku.
Kucoba membuka pintu menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu. Bersamaan dengan adzan Asar berkumandang. Kuingin mencurahkan semuanya kepada Allah. Memohon ampun atas dosa-dosa yang selama ini kulakukan. Setelah itu berusaha untuk memperbaiki diri dengan menjadi sesosok pribadi yang lebih baik.

                        #                                  #                                  #
            Suatu sore yang sangat cerah. Aku sedang asyik membaca buku di teras depan kos. Memang sengaja aku lakukan untuk terapi menghilangkan rasa sakit hatiku yang hampir selama satu minggu kurasakan. Walaupun di kelas selalu bertemu, namun sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Revald. Kami saling acuh dan cuek sehingga boleh dibilang komunikasi pun sudah tidak ada.
“E..Dik Selvi, lagi baca apa?”sapa mbak Naya keluar dari pintu kos.
“Mbak Naya mau tahu aja sih. O ya gimana dengan persiapan pernikahannya Mbak? Wah, tidak lama lagi ya.”
“Alhamdulillah Dik, sudah hampir delapan puluh persen.”
“Itu gimana caranya Mbak bisa kenal dengan calon suami Mbak? Padahal Mbak tidak pacaran kan?”
            Akhirnya mbak Naya menceritakan semua dari awal proses sampai beliau mengiyakan lamaran calon suaminya. ”Subhanallah...so sweet,”gumamku. Memang mbak Naya sesosok muslimah yang sempurna. Baik, sholehah, pintar dan cantik. Tidak mengherankan jika laki-laki yang akan mendampinginya juga seorang laki-laki sholeh.
            Timbul rasa kagum kepada mbak Naya. Penampilannya pun membuatku merasa nyaman dan teduh ketika memandangnya. Mbak Naya memang seorang muslimah yang sangat hati-hati menjaga auratnya agar tidak terlihat oleh orang lain yang bukan muhrimnya. Oleh sebab itu dari pakaian yang beliau pilih selalu longgar dan tebal, tidak sampai membentuk lekuk tubuh. Jilbab yang beliau pakai pun juga lebar dan selalu menutupi sampai bawah dada. Ingin rasanya aku seperti mbak Naya.


                                    #                                  #                                  #


            Hari yang membahagiakan itu pun tiba. Aku dan teman-teman kos bersiap-siap menghadiri resepsi pernikahan mbak Naya yang bertempat di Sukoharjo, rumah dari mempelai wanitanya. Kami bersembilan sepakat naik sepeda motor dikarenakan jaraknya yang masih bisa dijangkau. Menggunakan lima sepeda motor saling berboncengan berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul 07.00
            Aku termasuk salah satu yang memegang kemudi diantara ke-lima motor. Berjalan menggunakan kecepatan rata-rata agar bisa selamat sampai tujuan dan berharap bisa menjadi saksi saat akad nikahnya. Satu jam kemudian kami sudah memasuki kota Klaten. Namun tiba-tiba ban motor salah satu dari kami bocor. Mau tidak mau kami mencari tempat penambalan ban agar bisa melanjutkan perjalanan kembali.
            Tidak jauh kira-kira dua meter dari tempat ban kami yang bocor ada sebuah bengkel. Kami langsung menuju ke sana lantas menunggu beberapa saat. Kulihat bapak separuh baya sangat cekatan menambal ban. Sungguh pekerjaan yang sangat mulia. Mengapa tidak? Tanpa jasa mereka tentu pengendara sepeda motor akan merasa kesulitan jika ban motor mereka bocor. Masak mau menambal sendiri? Tentu itu akan merepotkan juga. Maka pekerjaan semacam ini janganlah dipandang sebelah mata.
            Hanya menghabiskan waktu sekitar lima belas menit kami dapat melanjutkan perjalanan. Kali ini kami sedikit menanbah kecepatan sepeda motor karena waktu semakin siang dan jalan semakin padat dipenuhi baik itu kendaraan beroda dua maupun kendaraan beroda empat. Bahkan di lampu merah pun sudah mulai macet.
            Akhirnya kami pun memasuki kawasan kota Sukoharjo. Tinggal sedikit lagi sampai, kami lantas mencari alamat rumah mbak Naya dengan berpedoman peta yang tercantum pada undangan. Melewati beberapa gang sempit dan jalan setapak, sepertinya sudah nampak dari kejauhan tanda-tanda adanya resepsi pernikahan di salah satu rumah. “Alhamdulillah akhirnya sampai juga”batinku.
            Setelah memarkirkan sepeda motor kami bergegas memasuki halaman resepsi. Beruntung kami masih bisa mengikuti akad nikah yang memang akan dimulai.
“Mbak Selvi, kapan nih nyusul mbak Naya?”celoteh seorang teman kos.
“Do’ain saja segera menyusul Mbak Naya,”jawabku sambil tersenyum.
            Tidak terasa resepsipun berakhir. Kami berencana berpamitan pulang. Namun sebelum pulang secara bergantian aku dan teman-teman bersalaman dengan sang pengantin.
“Barakallah ya Mbak, semoga menjadi keluarga SAMARA,”bisikku kepada mbak Naya sambil bersalaman dan cipika-cipiki.
“Iya dik Selvi, syukron. Ngomong-ngomong kamu kelihatan cantik dengan model jilbab seperti ini,”sanjung mbak Naya.
            Memang aku sengaja mengenakan jilbab yang berbeda dari biasanya. Biasanya aku memakai jilbab yang pendek, tetapi aku mencoba memakai jilbab agak lebar. Lama-lama aku merasa nyaman memakai jilbab besar ini.
Sejak saat itu timbul niatan untuk merubah sedikit demi sedikit penampilanku. Jilbab-jilbab tipis dan kecil yang dulu suka kukenakan, mulai sekarang secara perlahan aku singkirkan. Lantas berusaha mendapatkan jilbab yang sesuai kriteria syariat. Dukungan dari banyak pihak kuperoleh, teman-teman kos, teman kuliah, terutama mbak Naya. Beliau bahkan sampai merelakan beberapa jilbabnya untuk diberikan kepadaku.
Pengalaman masa laluku menjadi pelajaran yang sangat berharga. Mulai sekarang aku berusaha memperbaiki diri agar menjadi pribadi sholehah. Cantik di mata Allah. Dan merubah cara berpakaian dan pergaulanku menjadi pribadi yang baru sehingga meraih kenyamanan hati.

Senin, 12 November 2012

Jadi Ketua KPK, Siapa Takut?








Presented by Kareen el-Qalamy


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah tidak asing lagi bagi warga Indonesia. Salah satu lembaga paling populer akhir-akhir ini dengan menyedot perhatian sebagian masyarakat Indonesia. Dengan melihat kasus-kasus yang merebak di media massa pasti tidak prnah terlepas dengan KPK. Seolah-olah pembahasan terkait KPK tidak akan pernah selesai seperti halnya kasus korupsi yang entah tidak tahu kapan akan berakhir.
            Spontan saja orang-orang yang menduduki kursi baik itu pengurus maupun anggota di KPK mendadak menjadi orang terkenal sebagaimana artis yang sedang naik daun. Apalagi kalau pemberitaan yang muncul berisikan tentang keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus korupsi. Kursi yang paling strategis adalah sebagai ketua KPK.
            Kalau boleh berandai saya beberapa tahun ke depan menjadi ketua KPK, itu merupakan sebuah pilihan yang harus saya ambil. Karena saya menganggap itu sebagai panggilan jiwa. Panggilan kepada jiwa yang ingin menegakkan kebenaran dengan cara memberantas ketidakadilan karena disebabkan oleh korupsi.
Langkah-langkah yang ingin saya ambil adalah dengan memberlakukan hukuman secara moral dan mengadakan pembinaaan dari segi ruhani dan spiritual agar pelaku korupsi sadar betul konsekuensi yang akan didapat tidak hanya sebatas hukuman di dunia saja tetapi juga hukuman di akhirat. Karena hukuman yang diberlakukan saat ini nampaknya sudah tidak bisa memberikan efek jera kkepada pelaku korupsi. Oleh sebab itu langkah ini tidak ada salahnya untuk dicoba.