Senin, 30 Mei 2011

Perempuanku

Menawan, lembut, perasa, banyak istilah yang senada. Erat kaitannya dengan yang namanya perempuan. Perempuan, salah satu makhluk Allah yang mempesona. Mempesona bagi siapapun yang melihatnya. Bahkan alangkah beruntungnya bagi siapa saja yang bisa memilikinya. Apalagi memiliki perempuan yang tidak sekadar perempuan. Namun memiliki seorang bidadari dunia. Siapa lagi kalau bukan perempuan sholehah yang patut menyandang gelar tersebut.
Sama halnya apa yang sedang aku rasakan sekarang ini. Mendambakan seorang bidadari dunia hadir di tengah-tengah kehidupanku. Mengenai kapan saat-saat seperti itu akan menghampiriku, aku pun tidak tahu. Biarlah waktu yang akan menjawab.
“Anton, pagi-pagi kok sudah melamun seperti itu?,”sapa Ibuku sambil menepuk pundakku dari belakang. Heran, rupanya ibu sudah mengamatikuku sedari tadi. “ngelamunin apa atau ngelamunin siapa?,”goda ibu.
“Ah nggak kok Bu, Ibu ini bisa saja. Anton cuma melihat pemandangan desa ini yang masih asri”,jawabku. Maklum sudah kurang lebih empat tahun diperantauan menuntut ilmu, menempuh studi menyelesaikan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Baru dua hari yang lalu, pulang ke kampung halaman di salah satu desa terpencil di Jawa Tengah.
“Sarapan dulu sana, Ibu sudah membuatkan makanan kesukaanmu lho…,nggak kangen sama masakan Ibu?,”
“Ibu ini lho ada-ada saja, mana mungkin Anton tidak kangen sama masakan Ibu yang menggoda selera. Sampai-sampai menunggu waktu empat tahun untuk bisa merasakannya lagi,”mengamati ibu yang semakin menjauh dari tempat dudukku.
Ibu, semakin lama wajahmu mulai adanya tanda-tanda keriput. Itu menandakan dirimu semakin lama semakin tua dimakan usia. Walaupun begitu, justru semakin menambah rasa sayangku padamu. Karena di usiamu yang semakin lanjut tidak mengurangi curahan dan limpahan kasih sayangmu kepada keluarga terlebih kepada anak-anakmu. Apalagi setelah sepeninggal ayah, mau tidak mau ibu harus menggantikan peran sebagai seorang ayah Alhamdulillah, terima kasih ya Allah Engkau telah mengkaruniakanku seorang ibu yang sungguh sholehah. Aku berharap ke depannya yang pantas untuk menjadi ibu bagi anak-anakku adalah sesosok perempuan sholehah seperti ibu. Amin…
“Kamu kan sudah selesai kuliah, pekerjaan mapan juga sudah kamu peroleh, tunggu apa lagi Anton?,”secara tiba-tiba ibu melontarkan sebuah pertanyaan yang mengejutkanku.
Entah pura-pura tidak paham atau ingin mengelak memberikan jawaban,”Tunggu apa lagi, maksud Ibu?”,
“Anton-anton, kamu itu, seharusnya paham apa yang Ibu bicarakan. Tentang calon pendamping hidup, atau diam-diam kamu sudah punya tetapi belum memberitahukan kepada Ibu, ayolah kasih tahu Ibu,”
“Calon pendamping hidup???, Apa yang Anton katakan setelah ini benar Bu. Anton belum punya calon sama sekali. Walaupun di Yogya dulu punya banyak teman perempuan,”jelasku.
“Apa perlu Ibu turun tangan membantumu untuk mencarikannya?,”ibu memberi tawaran.
“Boleh-boleh, buat Anton tidaklah masalah asal Ibu cocok, tetapi satu syarat yang Anton ajukan.”
“Pake syarat-syarat segala, ya udah apa?.”
“Carikan calon istri yang seperti Ibu,”godaku sembari berlalu meninggalkan meja makan menuju kamar. Tak lupa seyuman lebar kutujukan kepada ibu yang masih duduk manis di ruang makan.
“Eh…mau ke mana?Belum sempat makan kok malah pergi,”gerutu ibu.
√ √ √

Keesokan harinya…
“Ibu, sini deh…lihat foto ini…,”kutunjukkan sebuah foto kepada ibu. Foto bebarengan dengan teman-teman LDK dulu. Sambil menunjuk ke salah seorang teman akhwat.
“Foto siapa ini Anton?,”tanya ibu heran.
“Ini foto teman-teman kuliah Anton dulu Bu, coba Ibu perhatikan perempuan yang memakai jilbab biru ini.”
Sambil mengamati salah seorang perempuan yang berada di foto tersebut,”Siapa ini namanya?Cantik dan anggun sekali. Anak mana itu?,”tanya ibu penuh selidik.
“Dia dari Jawa Barat Bu, tidak satu kelas dengan Anton, hanya saja satu organisasi.”
“Sepertinya anak laki-laki kesayangan Ibu ini mau memperkenalkan orang yang ada di foto ini, ya sudah Ibu tunggu lho..,”berdiri beranjak meninggalkanku.
Annisa, itulah nama panggilannya. Nama panjangnya aku lupa. Dia dulu adalah salah seorang stafku di divisi pengkaderan LDK. Entah dimana dia sekarang, setelah wisuda bersamaan denganku. Seandainya Allah masih memberikanku kesempatan untuk bisa bertemu, aku akan memberanikan diri untuk mengkhitbahnya. Karena bagiku dia sesosok perempuan sholehah, nampak beda di depan mataku dibandingkan dengan akhwat yang lain.
Saat-saat satu kepengurusan dengannya entah kenapa ada perasaan yang lain dari pada yang lain. Perasaan itu tidak muncul ketika aku berinteraksi dengan akhwat lain. Awalnya aku tidak terlalu merasakan. Namun semakin lama getaran itu semakin terasa. Berusaha sekuat tenaga kutepis perasaan itu. Seiring berjalannya waktu, pergantian pengurus pun tiba. Semenjak itu pula perasaan itu menghilang. Mungkin karena sudah tidak pernah berinteraksi. Memang benar, witing tresna jalaran saka kulina. Pepatah Jawa yang sangat popular di kalangan anak muda.
Ah…sudahlah…masa lalu penuh dengan kenangan indah. Terutama ketika mengingat sepak terjang perjuangan teman-teman LDK menyusuri jalan dakwah ini. Sekarang aku sudah kembali ke tanah kelahiranku, mau tidak mau harus kulanjutkan estafet dakwah ini. Jangan hanya karena selesai kuliah yang nota bene keluar dari lingkungan yang kondusif untuk berdakwah, menghentikan begitu saja aktivitas dakwahnya. Justru harus ditingkatkan semangatnya.

Pagi-pagi sekali menuju tempat dimana aku mengais rezeki. Warnet yang berada di seberang jalan, alhamdulillah memang menjadi hak milikku. Karena aku yang mendirikan usaha warnet tersebut. Ditanya mengapa alasannya memilih usaha warnet, soalnya sudah sangat sesuai dengan jurusan dan minatku, teknik informatika. Walaupun baru buka satu minggu tetapi pengunjung yang datang lumayan banyak. Ditambah lagi di desaku masih sangat jarang atau malah belum ada fasilitas-fasilitas mewah seperti halnya warnet. Jadi sekaligus memanfaatkan peluang yang ada.
“Assalamu’alaikum, Den, gimana kabarnya pagi ini?,”sapaku kepada karyawan warnet.
“Wa’alaikumussalam Mas, alhamdulillah baik.”
“Bagus, tetap semangat ya…!!!,”
Karyawan warnetku namanya Deny. Aku baru membutuhkan satu orang karyawan yang bersedia untuk bersama-sama denganku membangun warnet ini. Dia seorang laki-laki yang hanif taat beribadah. Mempunyai semangat yang luar biasa untuk bekerja. Cerdas, terampil dan rajin. Namun sayang dia hanya bisa mencicipi bangku sekolah sebatas SMP saja. Orang tuanya boleh dibilang kurang mampu untuk membiayai sekolah Deny.
Tiba-tiba keluar seorang akhwat dari salah satu ruang warnet. Kuamati sejenak. Sepertinya aku kenal. Setelah mendekat ke meja kasir.
“Berapa Mas?,”tanyanya to the point. Nampaknya terburu-buru. Masih dalam pandangan mata yang menunduk..
“Tiga ribu Mbak,”Deny sambil menerima uang dari akhwat tersebut. Tidak sengaja pandangan mata kami pun bertemu, buru-buru kita saling mengalihkan pandangan dan….
Seperti ada mata anak panah yang menusuk jantungku. Seketika itu pula anganku langsung tertuju kepada sesosok teman akhwat LDK dulu, Annisa’. Segera kusapa dia.
“Ukh An…nisa’?,”tanyaku terbata-bata.
“Akh Anton?,”disertai ekspresi terkejut.
“Kok di sini?Alhamdulillah kita masih dipertemukan,”perasaan grogi menjalar di sekujur tubuhku.
“Iya, saya dapat surat keputusan penempatan pegawai negeri di sini, afwan saya pamit dulu, assalamu’alaikum,”sambil membuka pintu warnet.
“Wa’alaikumusssalam…,”penempatan pegawai negeri?Langsung teringat bahwasannya Annisa dulu mengambil jurusan pendidikan matematika. Berarti sudah diterima jadi PNS, cepat sekali??.
“Mas Anton sudah sarapan?,”Deny menyadarkanku dari lamunan.
“Oh…iya, silakan Deny.”
“Mas kenal dengan Mbaknya tadi?,”tanyanya.
“Iya, dia dulu teman kuliahku saat masih di Yogya,”jelasku.
“Mbaknya itu tadi sering berkunjung ke warnet ini lho….tetapi baru kali ini Mas Anton bertemu dengan dia.”
“Iyakah..??Maklum kalau baru bisa bertemu sekarang, saya kan jarang ke sini pagi. Biasanya siang-siangan. Ya sudah, lanjutin kerjaannya,”keluar dari warnet.
Berjalan melangkahkan kaki menyusuri jalan desa. Masih dalam rasa penasaran. Kira-kira ukh Annisa tinggal di mana?sudahkah dia memiliki pendamping hidup?Ah…astaghfirullah…sedang memikirkan apa aku ini. Ketika sampai di halaman depan rumah. Ada tamu rupanya, tetapi siapa?
“Assalamu’alaikum…,”sambil mencium tangan Ibu.
“Wa’alaikumussalam…Anton, perkenalkan ini Annisa’,”langsung Ibu memperkenalkan tamu yang mungkin sudah sedari tadi berkunjung.
“Subhanallah…kita dipertemukan lagi,”secara spontan kuberkomentar. Senyuman kecil dia tujukan ke arahku lantas kembali dengan pandangan mata tertunduk.
“Jadi kalian sudah pernah bertemu?,”tanya ibu terheran-heran.
“Iya Bu, kita dulu sama-sama teman kuliah,”jelasku. Tidak enak rasanya jika tiba ikut nimbrung pembicaraan mereka. Langsung saja aku pamit untuk masuk ke dalam.
Kira-kira ada maksud apa Ukh Annisa berkunjung ke rumah dan bertemu dengan ibu. Tidak hanya itu, beribu pertanyaan bercokol di pikiranku. Kuletakkan tas yang sedari tadi ku bawa di dalam kamar. Remote control yang terletak tidak jauh dari posisiku berdiri segera kuraih, kupencet tombol on. Secara otomatis televise menyala.
Tengah asyik menonton televise, tidak diduga ibu sudah berdiri di belakangku lantas menemaniku dengan duduk di sampingku. Perhatianku pun beralih dengan kedatangan ibu.
“Ibu, Annisa tadi ada perlu apa?Kok ke sini?,”
“Emang kenapa?Gak boleh?,”jawab Ibu sewot.
“Ih..Ibu ini, Anton serius Ibu..Asal Ibu tahu saja, Annisa adalah perempuan yang pernah kutunjukkan ke Ibu lewat foto itu,”jelasku.
“Masak???Kok sepertinya beda,”ibu masih belum percaya.
“Ya, pantes kalau dibilang beda. Lha wong sudah dua tahun sejak foto itu diambil. Lagian pengambilan foto itu juga dari jarak jauh.”
“Annisa nanti akan membantu Ibu untuk mengajar di SMA.”Ibu selain sebagai ibu rumah tangga juga diberi kepercayaan untuk memimpin SMA N 1 Pulorejo menjadi seorang kepala sekolah.
“O…begitu.”
“Berarti semakin mudah kan, kalau kamu ingin melamar dia, Ibu bisa menjadi perantaranya.”
“Wah…Ibu ini tahu aja keinginnan anaknya. Dengan senang hati Bu.’’senyum terkembang setelah ibu berkata seperti it., menandakan bahwasannya ibu setuju dengan pilihanku.
√ √ √

Selang beberapa bulan, ibu akhirnya meminta Ukh Annisa untuk menjadi istriku. Tidak perlu membutuhkan waktu lama, hanya berkisar tiga hari. Dia langsung memberikan jawaban dan alhamdulillah Annisa mau menerima pinangan ibu. Hari-H pernikahan langsung ditentukan. Tinggal dua minggu lagi aku akan memiliki seorang istri. Hal ini belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Segala persiapan telah disusun secara matang. Mulai dari pembuatan busana pengantin, menu yang akan disajikan pada saat resepsi, juga tempat.
“Bu, Anton pergi dulu ya…,”pamitku.
“Lho mau kemana?, Di rumah saja, bantu-bantu Ibu untuk persiapan pernikahanmu,”dengan nada berat hati untuk mengizinkanku pergi.
“Mau mengantar undangan ke salah seorang teman, tidak jauh kok dan cuma sebentar saja.”Jelasku sambil menenangkan Ibu.
Kupacu kecepatan mobilku. Tidak terasa sudah berkisar 100 km/jam. Jalanan yang sepi menambah mobilku berpacu semakin kencang. Sampai di jalanan yang menurun, tiba-tiba….kaget disertai panik ketika menginjak rem mobil ternyata tidak berfungsi. Dan……ah…seketika itu juga pandangan menjadi gelap. Hanya terasa tubuh ini seperti dibanting-banting saja. Setelah itu tidak tahu apa yang terjadi.
“Anton….!!!Sadar nak….,Ibu ada di sini bersamamu,”tangis ibu ketika mendengar bahwa anaknya terbaring koma di rumah sakit. Sudah hampir tiga hari aku tidak sadarkan diri. Secara perlahan aku dapat membuka mataku. Ada banyak orang yang sedang menjengukku. Salah satunya adalah calon istriku, Annisa. Dia nampak begitu sedih melihatku dalam keadaan seperti ini. Sepertinya dia ingin mendekat dan aku pun ingin memegang tangannya. Tapi belum bisa, karena belum adanya ikatan sah antara kita.
Dia hanya memberikan senyuman sambil meneteskan air mata. Bagiku senyumannya sangatlah berarti untuk motivasi agar diri ini segera sembuh dan melaksanakan akad pernikahan. Ya Allah kuatkan diri ini. Dokter yang merawatku member isyarat kepada ibu untuk memberitahukan kondisiku sekarang. Kulihat ibu membuntuti dokter itu ditemani oleh Annisa.
Tidak lama ibu masuk kembali, sembari mendekat ke arahku. “Segera sembuh ya nak,”bisik ibu. Tidak sadar ternyata kedua kakiku tidak ada. Secara refleks diriku pun menjerit, belum bisa menerima kenyataan bahwasannya kakiku luka sangat parah sehingga harus diamputasi. Dengan segera ibu menenangkanku dengan belaian lembut tangannya.
Tiga minggu berlalu, pesta pernikahan yang seharusnya sudah terlaksana akhirnya diundur. Aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Pertemuan antara dua keluarga diadakan. Memberikan kepastian akan tetap berlangsung atau tidaknya pernikahanku dengan Annisa.
“Melihat kondisi saya seperti sekarang ini, cacat tidak punya kaki, saya member kebebasan kepada ukh Annisa untuk menentukan pilihan. Tetap lanjut atau membatalkannya.”
Lama, dia memberikan jawaban. Suasana pun hening sejenak. “Dengan mengucap lafadz basmallah, saya memilih untuk tetap melanjutkannya.”
Seperti tidak percaya, apakah aku hanya mimpi di siang bolong. Tidak tahu, yang jelas dia memberikan jawaban yang tidak disangka-sangka. Sungguh perempuan sholehah, qanaah. Kalau dia perempuan biasa, pastinya sudah membatalkannya. Penentuan hari-H sudah ditetapkan. Ingin rasanya diri ini segera menjumpainya.
Hanya berselang tiga hari sejak pertemuan dua keluarga. Itu pun sebatas akad nikahnya saja. Sedangkan resepsinya ditunda dulu. Semoga kali ini berjalan lancar sesuai dengan keinginan kita berdua. Walaupun hanya tiga hari, tetapi menunggu rasanya seperti satu tahun saja.
Akhirnya saat yang dinanti-nanti tibalah juga…Akad telah terucap, suasana khidmat menyeruak di penjuru ruangan. Memang resepsi dilakukan di rumah mempelai perempuan. Diri ini dapat berjalan ke sana ke mari tidak terlepas dari bantuan kursi roda. Segera kuhampiri Annisa yang sekarang sudah resmi menjadi istriku. Dia pun menyambutku dengan raut wajah penuh kegembiraan. Selesai sudah akad nikah, sepi karena para tamu undangan sudah meninggalkan ruangan. Tinggal kita berdua, ibu dan orang tua Annisa juga keluar. Entah ada hal yang harus diselesaikan.
Rasa canggung dan grogi kembali hadir. Sama halnya Annisa yang masih nampak malu-malu untuk menatapku.
“Kita ke kamar yuk…,”ajakku.
Tidak ada jawaban, hanya sekadar anggukan. Itu cukup buatku karena sebagai tanda bahwasannya dia setuju. Dia langsung berlajan di belakangku dengan mendorong kursi roda menuju kamar yang memang sudah khusus dirancang sebagai kamar pengantin.
Sesampainya di dalam….bingung mau ngomong apa. Kami pun saling diam. Sepertinya belum menemukan pokok pembicaraan yang pas. Aku mencoba untuk mengawalinya.
“Dik, aku ingin tahu alasanmu. Kenapa kamu tetap menerimaku dengan kondisi seperti ini?,”sebuah pertanyaan terlontar sebagai pembukaan.
“Mas ingin tahu jawabannya? Karena Nisa melihat adanya ladang amal yang sangat menjanjikan di sana. Walaupun kondisi fisik Mas sudah tidak sempurna, tetapi kondisi ruhiyah dan fikriyah Mas masih terjaga. Nisa menganggap bahwasannya kesempatan Nisa untuk berbakti kepada suami semakin terbuka lebar. Mas tahu kan bahwasannya istri yang berbakti dan taat kepada suami akan dijanjikan surga oleh Allah. Oleh sebab itu Nisa tidak mau menyia-nyiakan kesmpatan ini untuk mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang Nisa kepada Mas, salah satunya dengan merawat Mas tentunya,”jawaban yang diberikan sangatlah mulia.
Tidak terasa air mataku pun meleleh setelah mendengar paparan dari istriku. Serta merta dia mengusap air mataku dengan jari jemarinya. “Mas, percayalah…Nisa akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Mas, jangan menghiraukan kondisi Mas yang seperti ini. Karena itu tidak sedikitpun mengurangi rasa cintaku terhadap Mas.”
“Anton, Nisa’kalian ini betah bangaet di dalam kamarnya, nanti malam dilanjutkan lagi, sekarang makan dulu yuk…,”terdengar suara ibu dari luar kamar.
“Baik Bu,”Annisa membuka pintu dan menemui ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar.
Ya Allah…kenikmatan apa lagi yang aku dustakan. Setelah engkau karuniakanku seorang bidadari dunia. Sungguh bahagianya diri ini. Aku akan berusaha untuk menjaganya. Ya, menjaga permataku agar tidak pudar kilauan cahayanya.
Betapa beruntungnya mereka-mereka, para perempuan khususnya perempuan sholihah. Allah memberikan kemudahan agar bisa meraih jannah-Nya. Dengan cara berbakti dan taat kepada suami. Pahalanya setara dengan jihadnya kaum adam di medan pertempuran. Maka syukurilah kenikmatan berupa kemudahan itu dengan menggunakannya sebaik-baik mungkin. Jangan sampai malah disia-siakan. Karena dengan meraih keridhoan suami, maka jalan menuju surga akan semakin terbuka lebar. Percayalah…..!!

Created by Kareen
30 Mei 2011

Kamis, 19 Mei 2011

Pesona Tarian Tinta

Manusia diciptakan disertai dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Semuanya itu tergantung bagaimana diri menyikapinya. Bagi mereka yang merendahkan diri, menganggap bahwa dirinya mempunyai banyak sekali kekurangan. Tidak bisa menemukan sejatinya kelebihan yang dimiliki. Kehidupannya diwarnai dengan rasa pesimis, tidak bersemangat dalam menjalani hidup dan suka mengeluh. Penuh rasa kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan.
Lain halnya dengan orang yang menyikapi kekurangan sebagai sesuatu yang harus diperbaiki dan sibuk mencari-cari kelebihan apa yang dimilikinya. Mempunyai rasa keingintahuan yang besar, selalu penasaran dengan suatu hal yang baru. Sehingga timbul rasa ingin mencoba dan mencoba. Tidak mudah puas dengan hasil yang didapat. Selalu ada keinginan untuk mengembangkan hasil yang diperoleh. Optimis dan selalu memikirkan perencanaan ke depan.
Terutama dalam hal menggali potensi dan mencari kelebihan yang dimiliki. Harus berani mencoba apa-apa yang berbeda. Walaupun sifatnya menantang. Namun hal itu sangatlah perlu untuk dilakukan. Karena kalu tidak, segala kelebihan yang ada sulit untuk tersalurkan.
Salah satu contohnya adalah menulis. Walaupun terdengar sepele. Namun sebenarnya sangatlah sulit untuk dilakukan. Menulis di sini bukan hanya sembarang menulis. Tetapi menulis yang kaya akan makna, kaya akan nuansa keindahan bahasa, kaya akan nilai kesusastraan yang tinggi. terlebih lagi apabila membawa dampak dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Sungguh suatu kelebihan dan ketrampilan yang sangat mulia.
Dengan sedikit saja goresan tinta yang ditimbulkan, dapat mengubah peradaban yang ada. Salah satu tips agar ilmu tidak mudah hilang adalah dengan cara menuliskannya. Karena dengan menulis dapat mengikat kuat, erat ilmu yang telah diperoleh. Agar tidak mudah lekang dikarenakan orang yang berilmu telah tiada. Bahkan akan selalu abadi walaupun zaman telah berganti beberapa puluh, ratus tahun
Melalui tulisan bisa dijadikan rekaman. Rekaman saksi sejarah. Segala hal yang telah terjadi di masa lampau masih bisa dinikmati dan dipelajari. Itu tidak lain dan tidak bukan adalah sumbangan yang diberikan oleh kebiasaan menulis. Berdasar dari tulisan-tulisan yang masih tersimpan dengan rapi, bisa dijadikan sebagai cerminan akan sejatinya kehidupan manusia. Kehidupan manusia zaman dahulu seperti apa. Dibandingkan dengan kehidupan yang sedang berlangsung ini. Lantas apa saja hal-hal yang dirasa bernilai positif silakan diambil dan dijadikan sebagai bekal untuk menghadapi masa depan. Masa depan yang masih bersifat misteri tentunya.
Sejarah telah membuktikan, bagaimana kemajuan peradaban yang telah dialami oleh manusia zaman dulu. Tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat yang gemar menulis. Apa-apa yang diketahui, ilmu-ilmu pengetahuan yang telah dikuasai tidak sungkan-sungkan untuk ditulis. Bahkan dalam segala situasi maupun kondisi, mereka masih menyempatkan diri untuk menulis. Menyalurkan ide dan gagasan yang muncul. Karena itu merupakan kesempatan yang sangat langka.
Manusia sendiri mempunyai siat dari sekian banyak sifat yang dimiliki yaitu mudah lupa. Maka dari itu diperlukannya kebiasaan untuk gemar menulis. Istilah yang sedang ngetrend di kalangan mahasiswa menyebutnya dengan istilah adat baca. “Mari kita tumbuh kembangkan adat baca di lingkungan kampus ini,”begitulah salah satu apresiasi mahasiswa yang sadar akan betapa berharganya ilmu pengetahuan.
Berawal dari membaca, lantas tidak hanya berhenti begitu saja, tetapi dilanjutkan dengan menulis. Ini salah satu metode yang bisa dilakukan bagi penulis pemula yang ingin lebih menggeluti bidang kepenulisan atau jurnalistik. Terkadang awalnya mereka bingung dengan apa yang mau ditulis. Kendala seperti ini bisa diantisipasi tentunya.
Tidak hanya itu, untuk menumbuhkan ide tau mencari ide banyak hal yang bisa dilakukan. Sumber-sumber ide pun sebenarnya sangat banyak sekali. Tergantung bagaimana caranya untuk menemukan ide tersebut. Bisa diperoleh dengan mengambil dari pengalaman pribadi mapun pengalaman orang lain. Kejadian-kejadian disekitar lingkungan tempat tinggal, isu-isu yang sedang berkembang baik itu dalam skala nasional maupun internasional. Ide yang muncul dari hasil observasi juga sangat menarik. Hal tersebut tergantung dari masing-masing individu.
Setelah berusaha mencari ide, dan akhirnya telah didapat beberapa ide menarik, alangkah baiknya jika ide-ide tersebut ditulis. Jadi setiap pergi kemanapun itu siap sedia alat tulis minimal selembar kertas dan bolpoin agar ide-ide yang bermunculan tidak mudah hilang karena lupa. Semakin banyaknya ide yang ditampung akan semakin menambah variasi apa yang akan ditulis.
Setelah itu hal yang terpenting dalam hal menulis adalah kesungguhan dan keteguhan hati. Dimana kegiatan menulis harus tertancap kuat dalam diri pribadi dan bukti konkretnya adalah adanya keinginan untuk terus berkarya, melahirkan banyak tulisan. Tulisan yang nantinya bisa diterbitkan di media massa, atau dibentuk menjadi sebuah buku.
Menulis itu mudah kok, bagi mereka-mereka yang memiliki semangat dan jiwa-jiwa kepenulisan. Apalagi mereka-mereka yang nota bene tercatat sebagai penulis muda alias pemuda yang gemar menulis. Masih banyak kesempatan, jalan masih terbentang lebar dan luas. Kesempatan untuk terus mengupgrade diri sangatlah banyak. Maka dari itu teruslah berkarya. Selalu merefresh semangat untuk terus menulis.
Tidak ada salahnya jika sering bergaul dengan para penulis handal. Atau bergabung dengan perkumpulan penulis. Dimana bisa saling menguatkan satu sama lain. Dan saling berbagi info, tips bagaimana usaha yang dilakukan untuk terus menulis. Dengan begitu, dunia pendidikan di negeri tercinta ini akan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Itu semua berawal dari menulis.
Cha-My
Yogya, 18 Mei 2011

Selasa, 03 Mei 2011

Budayaku Kebanggaanku

“Alhamdulillah, akhirnya selesai juga,”gumamku dalam hati disertai perasaan gembira. Ujian Nasional yang selama enam hari telah terlewati. Tinggal menunggu pengumuman saja. “Kamu nanti akan melanjutkan ke mana?,”pertanyaan dengan redaksi dan konten yang sama sering berlalu lalang di telingaku. “Ah….tidak tahu. Belum kepikiran mau melanjutkan kemana,”jawaban yang sama juga kulontarkan.
Walaupun Ujian Nasional telah berlalu. Namun aku belum punya pandangan sedikitpun mau melanjutkan ke mana. Keinginan itu tetap ada. Dari pihak orang tua baik ayah maupun ibu telah bersepakat bahwasannya mereka menginginkan anaknya agar bisa masuk di sebuah Sekolah Menengah Atas terfavorit di kotaku. Iya, kemana lagi kalau tidak di SMA N 1 Klaten. SMA Negeri yang terkenal akan kualitas lulusannya. Memang lulusan dari sana kebanyakan diterima di Perguruan Tinggi Negeri favorit. UGM salah satunya. Dan orang tua berharap aku memiliki nasib yang sama seperti para alumninya.
Suatu hari aku bertandang ke rumah salah seorang teman. Sekaligus refreshing melepas kepenatan pasca ujian.
“Sudah berapa bulan kamu gak main ke sini Ren?,”tanya temanku, Lasmi namanya. Heran akan kedatanganku ke rumahnya. “Iya…ya…kayaknya dah lama banget….,”jawabku sambil mengamati kondisi sekelilingnya. Masih nampak seperti dulu, nuansa kesederhanaan kuat terpancar dari dalam rumah. Lasmi, tergolong anak yang rendah hati, sederhana. Keluarganya termasuk dari golongan kelas menengah ke bawah. Dulu aku sering ke rumahnya. Karena persiapan menjelang ujian nasional, waktu bermain harus aku kurangi.
“Keluargamu sehat kan Las? Kok sepi pada kemana nih? Adik-adikmu?,”
“Alhamdulillah sae Ren, biasalah..jam-jam segini pada sibuk sendiri-sendiri.”
“Ibumu masih batik Las?.”
“Tentu masih donk…mau lihat? Tuh di belakang rumah,”sambil menunjuk ke sebuah pintu menuju halaman belakang rumah.
“Boleh-boleh…,”serta-merta kuiyakan saja tawaran Lasmi. Berjalan menuju belakang rumah Lasmi. Rumah yang sangat sederhana. Ukurannya tidak begitu besar tetapi sangat bersih dan rapi.
“Ibu, kita kedatangan tamu nih…,”sapa Lasmi kepada ibunya yang tengah asyik dengan batikannya.
“E…Nduk Reni, dah dari tadi ta?,”sambil menghampiriku yang berdiri tidak jauh dari tempatnya membatik.
“Baru saja kok Bu,”membalas jabatan tangan sang ibu, sangatlah erat.
“Dah kamu buatin minum belum Las?,”
“O…iya, bentar ya Ren,” terlihat Lasmi berlari menuju dapur.
“Ibu sepertinya membatik itu asyik ya, kayak melukis saja,”selorohku yang memang hobi melukis. Kuperhatikan dengan saksama bagaimana cekatannya Bu Harni dalam hal membatik.”Yang sudah jadi mana Bu?,”tanyaku.
“Yang sudah jadi sudah ibu kembalikan Nduk,”jawabnya.
“Jadi pengen cobain nih Bu….,”rengekku. Rasa penasaran yang begitu tinggi menerpaku. Senyumpun terkembang dari kedua bibir ini setelah ibu mengiyakan permintaanku.
“Tapi belum sekarang ya,”
“Minggu depan bagaimana Bu?,”pertanyaan penuh harap kulontarkan.
“Baiklah kalau begitu,”jawab ibu
“Asyik…..,”teriakku. Tanpa kusadari Lasmi sedari tadi berdiri di belakangku.
“Hayo…ada apa nih?Kelihatannya kok seneng banget?Ke ruang tamu yuk….Tuh dah takbuatin es teh kesukaanmu,”berdiri dan menuju ruang tamu. Obrolan ringan menyertai suasana kedatanganku ke rumah Lasmi.dan satu hal yang paling membuatku senang. Belajar membatik.

Menunggu selama satu minggu terasa lama bagiku yang sudah tidak sabaran untuk belajar membatik. Kupandangi kalender yang terpajang di dinding kamar. Tinggal tiga hari lagi detik-detik pengumuman Ujian Nasional. Kemana diri ini akan melanjutkan pendidikan?Pertanyaan itupun berkecambuk di kepalaku. Serasa mau pecah rasanya jika memikirkan hal itu.
Apalagi ditambah permintaan dari Papa dan Mama yang menurutku terlalu menuntut agar aku bisa diterima di SMA Negeri terfavorit. Aku hanya bisa menimpal dengan alasan menunggu hasil ujian terlebih dahulu. Semoga saja hasilnya bisa diandalkan. Teman-temanku sudah mulai geger. “Pada mau melanjutkan ke mana nih teman-teman?,”sebuah pesan singkat dari salah seorang teman bersarang di HPku. “Belum tahu nih, masih bingung, tunggu hasil ujian dulu,”mengetik jawaban SMS dan terkirim.
“Reni, mana undangan untuk mengambil hasil ujiannya?,”tanya Mama
“Belum dikasih kok Ma, paling besok,”kuelus-elus bulu si Manis kucing kesayanganku.
Keluargaku termasuk keluarga yang keadaan ekonominya sangat berkecukupan. Segala sarana dan prasarana tersedia. Aku yang menempati posisi sebagai anak tunggal merasa Papa dan Mama selalu memanjakanku. Segala permintaanku selalu dituruti. Sah-sah saja jika aku juga berusaha untuk melaksanakan harapan mereka terhadapku.

“Bagaimana nilai ujianmu Ren?,”tanya Lasmi melalui pesan singkatnya di HPku.
“Alhamdulillah….Las….aku termasuk lima besar di kelas, kamu sendiri gimana?,”tidak lupa juga menanyakan nilai dari sahabatku itu.
“Walupun aku tidak termasuk lima besar di kelas, bisa lulus saja aku dah senang Ren, besok jadi main kan?,”
“Jelas jadi donk….,”timpalku dengan penuh semangat.
Mama dan Papa memberiku ucapan selamat. Mereka lantas menawarkan kapan aku akan ke SMA N 1 Klaten sekadar cari-cari informasi mengenai pendaftaran siswa baru.
“Enak ya bisa batik tiap hari,”batinku seusai belajar membatik di rumah Lasmi. Tiba-tiba terbersit dalam benakku akan SMK N 1 Bayat yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalku. Masih berada dalam satu kecamatan. Setahuku di sana membatik menjadi salah satu jurusan yang ditawarkan. “Jadi pengen masuk ke sana nich….,”sambil memandangi pemandangan lewat melalui jendela kamar. Sepi, suasana seperti inilah yang kurasakan selama liburan. Timbulah inisiatif untuk mencari info tentang seluk-beluk SMK itu.
Mumpung masih pagi, segera kukeluarkan sepeda ontel. Tidak memakan waktu lama untuk segera sampai, cukup 15 menit saja menggunakan sepeda ontelku. Mengapa tidak memakai sepeda motor?Karena orang tuaku berjanji untuk membelikanku sepeda motor setelah aku lulus SMP. Padahal aku sudah mahir mengendarainya.
“Pak, mau tanya prosedur pendaftaran siswa baru di SMK ini bagaimana ya?.”tanyaku pada bapak-bapak setengah baya, sepertinya petugas piket hari itu.
“Silakan masuk ke ruang sebelah sana Mbak, mari saya antar,”berdiri dan mulai berjalan di depanku.
Beberapa informasi berhasil aku dapatkan. Dan yang lebih membuatku senang, ada program beasiswa bagi siswa baru. Salah satu persyaratannya adalah nilai rata-rata ujian > 8. Ternyata aku masuk. Sesampainya di rumah aku berusaha menyampaikan keinginanku kepada orang tuaku.
“Apa yang kamu bilang Ren?Mau daftar di SMK N 1 Bayat??Apa Mama tidak salah dengar….???Bentak Mama dengan geramnya. “Mau jadi apa kamu mau daftar ke sana?,”lanjut Mama.
Di saat yang bersamaan aku hanya diam terpaku. Berusaha untuk sabar mendengar omelan Mama. Tidak berani untuk berbicara walaupun sebenarnya sangat ingin kukemukakan alasan. Memang seperti itulah watak Mama. Sedangkan Papa walaupun sama menunjukkan raut wajah menandakan tidak setuju tetapi tidak sampai hati membentak-bentak aku.
“Kalau kamu tetap ngotot daftar ke sana, Mama tidak akan membiayai sekolahmu sepeserpun,”kemarahan Mama memuncak dengan meninggalkanku seorang diri di ruang keluarga, disusul oleh Papa.

Usahaku tidak berhenti sampai disitu. Sambil menunggu saat-saat yang tepat. Ingin kusampaikan alasanku. Kepada Papa, iya…Karena aku tahu Papa tipe orang yang sabar, bijaksana. Bisa menerima masukkan orang lain asalkan disertai dengan landasan yang kuat.
“Reni memilih melanjutkan sekolah ke SMK N 1 Bayat karena Reni suka membatik Pa. Reni punya bakat di situ,”jelasku sambil meyakinkan beliau.
“OKlah kalau begitu…asalkan kamu bisa menunjukkan prestasimu di sana Papa akan mendukung,”balas Papa.
“Beneran Pa…..Terima kasih banyak ya Pa. Memang hanya Papa yang paling ngertiin Reni,”sambil mencium tangan Papa. “Tenang Pa untuk prestasi dah ada kok, buktinya Reni bisa masuk lewat beasiswa berprestasi,”sambungku.
Perasaan senang dan bahagia bercampur menjadi satu. Langsung kuraih HP,”Lasmi….akhirnya kuputuskan untuk sekolah di SMK N 1 Bayat, kalau kamu di mana?”. Kukirim sebuah pesan ke sahabatku itu memberitahukan kabar gembira ini. Kutunggu-tunggu balasan darinya. Lama…”Kenapa belum dibalas?,”tanyaku dalam hati. Aku cek ddi item terkirim ternyata pending. “Ada apa dengan Lasmi?Mungkin tidak punya pulsa atau lagi sibuk,”aku hanya bisa positive thinking saja.

Sekarang aku telah tercatat sebagai salah seorang siswa di sekolah yang sangat kuingin kan. Dengan mengambil jurusan seni budaya batik. Sejak saat itu aku akan membuktikan kepada Mama bahwasannya di sini aku juga bisa berprestasi. Waktu telah menjawab itu. Terbukti, sejak awal masuk sekolah bakatku terlihat. Juara satu tidak pernah absen kuraih di setiap akhir semester. Mama yang dulunya sangat tidak merestuiku akhirnya luluh juga seiring prestasi-prestasi membanggakan yang kutunjukkan.
Sahabatku Lasmi, entah bagaimana kabarnya sekarang. Ingin sekali kuberterima kasih kepada keluarganya. Karena tanpa perantara mereka, aku tidak bisa menemukan bakat terpendamku. Dia menghilang tanpa meninggalkan kabar. Sudah kucoba untuk bertandang ke rumahnya tapi hasilnya nihil. Rumahnya tutup, sepi seperti ditinggal pergi oleh penghuninya. Nomor HPnya juga tidak pernah aktif.

“Oh…Lasmi…kemana kamu?Aku rindu untuk berjumpa denganmu. Lihatlah sekarang aku sudah menjadi pengusaha batik sukses. Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah mempertemukan aku dengan sesosok sahabat yang sekarang tidak yahu ada di mana. Sesosok sahabat yang mengajarkanku betapa pentingnya arti sebuah pekerjaan. Bahwasannya pekerjaan yang bisa diandalkan tidak hanya menjadi seorang pegawai negeri, dokter atau apalah. Profesi yang awalnya dianggap rendah di mata masyarakat, ternyata malah mendatangkan keuntungan yang berlipat-lipat.
Pengusaha batik salah satunya. Karena di samping ingin mendapatkan laba juga sekaligus bisa melestarikan budaya bangsa sendiri. Budaya bangsa yang harus selalu dijaga dan dilestarikan. Jangan sampai diambil atau bahkan diaku-aku oleh bangsa lain. Aku bangga dengan budaya Indonesia dan selalu bangga dengan budaya Indonesia. Lasmi….aku tidak pernah berhenti untuk memohon untuk bisa dipertemukaan kembali denganmu,”kata-kata terakhir yang bisa kutuliskan di lembaran diaryku.
“Bu, ada pesanan seragam batik dengan motif seperti ini,”sapaan salah seorang pekerja membuyarkan lamunanku.
“Oh…iya. Langsung diatur ya administrasinya,”berdiri langsung menghampiri para pekerja yang selalu bersemangat menjalankan tugas-tugasnya.

Klaten, 1 Mei 2011
Cha-My