Kamis, 29 Maret 2012

Cengkraman Komersialisasi dan Komoditasi Pendidikan

Presented by Kareen el-Qalamy

Setiap manusia memiliki hak asasi. Sejak dalam kandungan hingga lahir ke dunia dan berakhir pada kematian, hak asasi akan selalu membersamainya. Hak untuk hidup, hak untuk berpendapat, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan dan masih banyak lagi. Hak asasi tersebut akan selalu bertambah dan semakin komplek seiring dengan perkembangan zaman.
Hak untuk memperoleh pendidikan, salah satunya. Didahului dengan hak untuk menuntut ilmu, mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Karena ilmu adalah harta yang paling berharga. Maka dari itu, sudah seharusnya setiap warga negara diberi kebebasan untuk menuntut ilmu setinggi mungkin.
Memasuki era globalisasi ini, nampaknya persaingan memperoleh pendidikan formal semakin ketat saja. Diiringi pertumbuhan penduduk yang semakin pesat. Seakan-akan pendidikan menjadi suatu kebutuhan primer yang senantiasa diperebutkan. Lihat saja fenomena pendaftaran siswa baru di setiap tahunnya. Dari satuan pendidikan dasar, menengah pertama sampai satuan pendidikan menengah atas. Terdapat ketidakseimbangan antara kuantitas jumlah pendaftar dengan quota yang tersedia.
Belum kondisi yang menimpa perguruan tinggi dimana persaingannya sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Calon mahasiswa se-Indonesia mau tidak mau harus membanjiri perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang bonafit. Tidak mengherankan memang seperti itulah kenyataan yang terjadi, karena itu sudah menjadi hak pribadi mereka untuk mendapatkan pendidikan sebaik mungkin.
Banyaknya peserta didik dan semakin ketatnya persaingan untuk memperebutkan kursi di suatu instansi sekolah atau perguruan tinggi. Kondisi tersebut bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Hanya karena ingin meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, tergiur oleh melimpahnya nominal harta yang diinginkan. Sehingga orientasi pendidikan yang mempunyai tujuan yang sangat mulia yaitu mencerdaskan bangsa mengalami pergeseran.
Orientasi yang ingin dicapai semata-mata hanya ingin menjadikan dunia pendidikan tersebut sebagai dunia bisnis. Seperti halnya prinsip ekonomi dari sudut pandang organisasi pendidikan dan pemerintah yaitu mengeluarkan sedikit modal dengan harapan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Seperti itulah yang sedang dipraktikan oleh pemerintah saat ini. Dunia pendidikan tak ubahnya seperti berlian, hanya orang-orang berkantong tebal saja yang bisa memilikinya.
Orang-orang yang keadaan perekonomiannya menengah ke bawah hanya mampu menggigit jari, melihat dengan mata kepalanya sendiri orang-orang konglomerat mengantarkan anak-anaknya ke sebuah sekolah elit dengan menggunakan mobil mewah. Hal ini semakin memperbesar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Sekolah elit yang mematok uang pendidikan yang relatif mahal, semakin mempersempit siapapun yang ingin sekolah di dalamnya. Kecuali mereka-mereka yang mau merogoh kocek lebih dalam untuk membayarnya.
Seharusnya kondisi semacam ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Semua elemen masyarakat harus turut serta menangani masalah tersebut. Tidak hanya pemerintah saja yang bertanggung jawab, walaupun pendidikan adalah program pemerintah yang memang dipersembahkan untuk rakyatnya. Minimal masyarakat ikut membantu dalam hal pengawasan.
Pemerintah sendiri sudah berusaha menekan biaya pendidikan seminimal mungkin. Langkah-langkah konkrit diantaranya dengan mengalokasikan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar 20% khusus untuk pendidikan. Nominal tersebut tentu bukanlah nominal yang tidak sedikit. Namun pengalokasian anggaran tersebut harus ada tindak lanjut yang harus dilakukan. Salah satunya dengan pengawasan, agar anggaran pendidikan teralokasikan sesuai sasaran yang ingin dicapai dan tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Karena praktik korupsi masih menjamur di negara ini, jadi sah-sah saja jika diperlukan pengawasan dan pemantauan secara ketat.
Pemberian berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dirasa juga belum maksimal. Buktinya, beberapa sekolah ditingkatan sekolah menengah pertama yang seharusnya bebas dari biaya pendidikan, orang tua siswa masih juga dipungut biaya. Entah itu dengan alasan untuk membayar buku, tambahan jam pelajaran/les dan sebagainya. Maka dari itu perlu upaya pengawasan pihak-pihak terkait untuk menyelidiki kira-kira lari kemana anggaran sebesar 20% tersebut.
Upaya pemberian beasiswa bagi siswa yang memang mempunyai kemampuan di bidang akademik, namun terkendala ketidaktersediaan biaya untuk membayar, juga sudah banyak dilakukan. Hal tersebut memang sangat membantu siswa yang notabene kurang mampu sehingga bisa memperoleh haknya dan duduk berdampingan dengan siswa yang lain. Upaya ini memang harus dilestarikan dan semakin digalakan
Akan tetapi dengan anggaran 20% tersebut bukannya membuat pemerintah lepas tangan untuk selalu menyokong dunia pendidikan tidak hanya sebatas dari segi materiil saja. Perencanaan, perhatian dan evaluasi harus selalu dilakukan agar hasil yang diperoleh lebih maksimal. Karena pendidikan bukannya komoditi barang dagangan yang seenak hatinya bisa diperjualbelikan. Pendidikan harus dilindungi dari upaya sekadar sebagai perantara untuk meraup laba.
Dalam pendidikan tidak selayaknya bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Tujuan utama yang ingin dicapai ialah semata-mata untuk meningkatkan kapasitas mutu layanan pendidikan. Sudah saatnya Indonesia mengejar ketertinggalannya dibandingkan dengan negara-negara lain. Sudah tidak memikirkan persoalan-persoalan internal pendidikan itu sendiri dengan membuktikan bahwa isu tentang komersialisasi pendidikan akhirnya tidak terbukti. Dan masyarakat dapat menikmati proses pendidikan secara nyaman tanpa adanya sedikitpun muncul kekahawatiran khususnya pada pemerintah.

Minggu, 04 Maret 2012

UIN Sukaku

Created by Kareen el-Qalamy

Yogya, dikenal dengan istilah sebagai kota pelajar. Karena hampir di setiap sudut dapat dijumpai instansi pendidikan. Dari yang berbentuk Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas bertebaran di setiap titik kota. Tak aneh jika Yogya dipenuhi para pendatang yang notabene mereka berstatus sebagai mahasiswa
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN Sunan Kalijaga) adalah salah satunya. Universitas yang berlabel Islam ini dari tahun ke tahun peminatnya semakin bertambah. Ini bisa dilihat dari jumlah pendaftar sebagai calon mahasiswa baru, dimana perbandingannya dengan jumlah mahasiswa yang diterima semakin besar nilainya.
Sepertinya cara pandang masyarakat khususnya calon mahasiswa baru sudah mulai bergeser. Dulu kebanyakan orang memandang sinis UIN Sunan Kalijaga, karena takut anak-anaknya terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran keagamaan yang tentu sangat banyak dan variatif. Tidak sedikit dari banyaknya pemikiran yang muncul bersifat menyesatkan dan menjerumuskan kepada perbuatan dosa.
Tetapi sekarang kondisinya sangat berbeda. Mungkin salah satunya karena meningkatnya populasi manusia sehingga menyebabkan kebutuhan akan pendidikan khususnya di perguruan tinggi juga semakin meningkat pula. Apalagi UIN Sunan Kalijaga sekarang tidak hanya memiliki program studi yang bernafaskan agama saja, tetapi juga berusaha untuk memperkenalkan kepada masyarakat bahwa UIN juga memiliki program studi yang berlandaskan sains.
Namun, jangan salah. Jangan dikiranya program studi yang berbau sains tersebut lantas sama dengan program studi sains yang dimiliki oleh universitas negeri yang lain pada umumnya. Tentu terdapat ciri khas tersendiri yang membedakan antara program studi yang berbau sainsnya UIN dibandingkan dengan program studi berbau sains yang dimiliki universitas lain. Ciri khas ini bisa dilihat dari tujuan didirikannya fakultas yang diberi nama Fakultas Sains dan Teknologi. Tujuannya selain mencetak lulusan yang ahli di ilmu sains juga paham dengan ilmu agama. Mereka dituntut selain menjadi seorang saintis juga sekaligus menjadi da’i atau da’iyah dimana paham akan ilmu agama.
Itu merupakan poin pertama daya tarik UIN Sunan Kalijaga yang sekarang memiliki banyak peminat. Di poin yang lain adalah sangat terjangkaunya biaya perkuliahan. Karena UIN disebut-sebut sebagai universitas negeri yang paling murah biayanya dibandingkan dengan universitas negeri lain yang ada di Yogya. Sehingga, sah-sah saja jika masyarakat lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka dengan biaya yang tidak terlalu mahal.
Walaupun biaya kuliah di UIN termasuk dalam kategori murah meriah, tetapi ada aspek lain juga yang perlu mendapat perhatian khusus, yaitu mengenai mutu atau kualitas yang ditawarkan. Jangan sampai UIN disebut-sebut sebagai kampus murahan karena saking murahnya biaya perkuliahan sehingga tidak memperhatikan kualitas yang ada. Lebih baik biaya agak mahal tetapi sebanding dengan kualitas yang bisa dinikmati. Akan tetapi akan lebih baik lagi jika kualitas tidak harus ditentukan dengan tingginya biaya yang dikenakan. Kalau kualitas bagus bisa diraih walaupun dengan biaya yang murah, bisa diraih, mengapa tidak???
Karena akhir-akhir ini banyak dijumpai fasilitas-fasilitas yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur kualitas yang ada, nampaknya belum sesuai dengan standar kepuasan civitas kampus khususnya mahasiswa. Sebagai contoh fasilitas yang ada di ruang perkuliahan misalnya, AC, LCD ternyata banyak yang rusak alias tidak bisa dipakai. Anehnya fenomena tersebut tidak langsung mendapatkan penanganan, tetapi malah hanya dibiarkan begitu saja sehingga mengganggu kenyamanan kegiatan perkuliahan.
Harapannya dengan munculnya fenomena-fenomena tersebut jangan sampai mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat akan kapabilitas UIN Sunan Kalijaga. Semoga pemerintahan kampus memahami keresahan mahasiswa dan memberikan solusi terbaik dengan segera menangani persoalan-persoalan yang ada, sehingga nama baik UIN tidak dipertaruhkan begitu saja.