Kamis, 15 September 2011

Mengkritisi Remisi bagi Koruptor

Hari raya Idul Fitri 1432 H baru saja terlewati. Setelah menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan sudah selayaknya merayakan kemenangan bagi umat Islam. Kemenangan memperoleh derajat ketakwaan di sisi Allah. Suasana suka cita dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dari yang kecil, muda, tua semua turut serta larut dalam kegembiraan.
Salah satu momen terpenting saat datangnya hari raya Idul Fitri adalah tradisi mudik lebaran. Sepertinya tidak ingin melewatkan kesempatan spesial ini untuk berkunjung ke sanak saudara menjalin kembali tali silaturahim. Setelah sekian lama tidak bersua dikarenakan kesibukan masing-masing di tempat yang berbeda pula. Dengan adanya tradisi mudik lebaran ini semua keluarga berkumpul jadi satu di salah satu rumah saudara sambil menikmati hidangan yang tersedia. Semua jenis pekerjaan pasti memberikan bonus cuti hari raya bagi para pegawainya agar bisa merayakan bersama keluarganya masing-masing. Walaupun hanya beberapa hari dan maksimal satu minggu, namun itu sangatlah berarti bagi mereka-mereka yang jarang pulang ke kampung halaman. Paling-paling pulang mudik dilakukan hanya satu kali dalam setahun yaitu saat momen hari raya Idul Fitri saja. Bahkan ada diantara mereka yang harus menunggu beberapa tahun lagi demi bertemu dengan keluarga yang telah lama ditinggalkannya.
Di seluruh lini kehidupan tanpa terkecuali. Namun ada salah satu tempat dimana menjadi tanda tanya di setiap tahunnya. Apakah penghuni tempat tersebut juga mendapatkan perizinan untuk bisa berhari raya? Di mana lagi kalau bukan di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Tempat yang notabene menjadi sarang dijalankannya eksekusi hukuman bagi mereka yang tersandung kasus tindak kriminalitas.
Tindak kriminalitas yang tidak pernah luput dari pengawasan publik adalah mengenai kasus korupsi. Apalagi kasus korupsi yang menjerat beberapa pejabat tinggi negara ini senantiasa menghiasi layar kaca televisi ketika adanya siaran berita. Seperti tidak ada berita yang lain saja. Berita yang disajikan pasti sudah bisa ditebak. Kasus-kasus yang membuat hati ini merasa gregetan dengan kondisi yang dialami bangsa ini terutamaa kasus yang berbau korupsi.
Tetapi memang beginilah keadaan bangsa Indonesia tercinta. Dengan berbagai permasalahan yang lama sekali mencekik seakan-akan tidak bisa dilepaskan. Apakah membudayanya korupsi di negara ini sudah sedemikian parahnya sehingga menyebabkan kondisi yang seperti ini? Tidak usah dipertanyakan lagi kareana sudah jelas. Seandainya tidak ada tindak kejahatan berupa korupsi tentu kemakmuran hidup sudah dicapai oleh seluruh masyarakat Indonesia sejak dulu.
Para koruptor berperan besar dalam kasus ini. Mereka pantas menyandang gelar penjahat kelas kakap yang harus dibumihanguskan dari muka bumi. Agar tidak merebut kemakmuran yang seharusnya dinikmati oleh mereka-mereka yang lebih berhak untuk menerimanya. Oleh sebab itu tidak ada kata kompromi untuk pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya.
Biasanya di hari raya ini juga memberikan berkah bagi para narapidana yang meringkuk di LP. Karena sudah menjadi agenda tahunan pemberian remisi untuk narapidana berupa pemotongan masa tahanan yang menjadi lebih singkat dari sebelumnya. Itu tandanya kesempatan bebas yang mereka peroleh semakin cepat pula. Bahkan ada juga narapidana yang mendapat remisi berupa vonis bebas. Enak sekali ya. Lalu bagaimana dengan tersangka kasus korupsi? Apakah mereka pantas menerima remisi?
Kalau dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan disebabkan ulah para koruptor seharusnya mereka tidak usah dan tidak pantas menerima remisi. Pemberian remisi bagi para koruptor menimbulkan kesan bahwasannya pemerintah bertindak setengah-setengah dengan usaha pemberantasan korupsi yang menjadi PR pemerintah saat ini. Dengan pemberian remisi nampaknya malah membuat para pelaku korupsi tidak pernah merasa jera untuk melakukan perbuatan bejatnya itu. Timbul anggapan di benak koruptor bahwasannya tidak apa-apa melakukan korupsi toh nanti diberi pemotongan masa tahanan berupa remisi di hari raya. Jadi mereka tidak menjadi takut dan jera tetapi malah semakin berani dan semakin rajin melakukan korupsi.
Apalagi kalau melihat kondisi LP yang digunakan untuk menahan koruptor. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan mereka yang tersandung kasus kriminal lainnya. Fasilitas lengkap malah tersedia di sana. Kalau seperti itu namanya bukan LP atau rumah tahanan tetapi layaknya hotel hanya statusnya pindah tempat saja.
Makanya mengapa tradisi korupsi sudah mengakar kuat di negara ini? Sulit untuk dihilangkan bahkan ragu apakah bisa untuk dihilangkan atau tidak? Karena masyarakat sudah muak dengan semuanya. Muak dengan janji manis para penguasa dulu saat kampanye pencalonan. Ternyata apa kenyataannya sekarang? Bahkan ada pula penguasa yang dulunya menjanjikaan pemberantasan korupsi ternyata setelah menjabat dianya sendiri malah melakukan korupsi. Kalau seperti ini caranya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sedikit demi sedikit terkikis. Menghilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah merupakan tanda-tanda akan segera berakhirnya suatu pemerintahan tersebut. Seperti halnya pemerintahan di era Orde Lama dulu.
Oleh sebab itu himbauan bagi pemerintah yang masih mempunyai PR besar yang belum terselesaikan yaitu menumpas habis korupsi yang membelit bangsa ini. Pencabutan pemberian remisi bagi koruptor agar bisa merasakan akibat dari perbuatan mereka. Memang sudah selayaknya koruptor tidak pantas menerima remisi karena sebanding dengan kerugian yang dialami bangsa ini dan juga harus menebus kesalahan mereka karena telah tega merebut kebahagiaan dan kemakmuran yang seharusnya dinikmati masyarakat yang kurang mampu.
Tidak ada kata menyerah untuk pemberantasan korupsi dan tidak mengenal kompromi untuk mengadili para koruptor dengan sanksi yang seberat-beratnya.

Kareen el-Qalamy