Rabu, 04 September 2013

Sebuah Perjalanan


Presented by Kareen el-Qalamy


Perjalanan bersama teman setiaku sudah biasa kulakukan. Menikmati indahnya pemandangan sepanjang perjalanan dengan menaiki kuda merahku yakni sepeda motor Supra Merah seakan-akan sudah menjadi rutinitas. Dimanapun tempatnya dan acara apapun itu. Terkadang ada rasa jenuh ingin mencoba menaiki alat transportasi lain.
            Suatu ketika tidak direncanakan. Pasca munaqosyah/pendadaran skripsi seperti yang dilakukan oleh mahasiswa pada umumnya. Istilah Jawanya boyongan barang-barang yang sudah tidak terpakai di kos untuk dibawa pulang ke rumah. Tetapi belum semua, hanya sebagian saja. Saat itu hari sudah malam tidak mungkin juga aku mengikutsertakan kuda merahku. Akhirnya kuda merahku kutinggal di kos karena besok aku sudah akan kembali ke Yogya lagi.
            Keesokan harinya sambil menunggu hari beranjak siang karena rumahku tidak dijangkau oleh transportasi umum. Hal ini menyebabkan aku meminta tolong kepada ayah untuk mengantarku sampai di stasiun Klaten karena dari situlah aku bisa naik bus. Bus yang kutunggu-tunggu tidak langsung datang menghampiri. Ternyata lebih membutuhkan banyak waktu dari pada naik kuda merahku, batinku. Setelah beberapa menit akhirnya bus jurusan Solo-Yogya pun akhirnya datang juga.
            Sambil berpamitan dengan ayah, aku pun langsung naik ke dalam bus. Suasana bus yang tidak terlalu penuh oleh penumpang sehingga aku masih mendapatkan tempat duduk. Aku lantas mengambil tempat duduk bersebelahan dengan seorang ibu. Nampaknya seorang diri, pikirku.
            Secara tiba-tiba sang ibu bertanya kepadaku,” Ke Yogya? Kuliah ya?”
            “Iya Bu,”jawabku dengan singkat, padat dan jelas.
            Setelah itu suasanapun menjadi hening kembali kecuali suara bus yang menderu-deru memecah kepadatan jalan. Selain itu beberapa pengamen bergantian keluar masuk bus dengan niatan menghibur penumpang selain sekadar mencari nafkah. Dari sekian pengamen ada pengamen perempuan. Kelihatannya masih muda, namun sayang penampilannya tidak terawat. Dia lantas mendendangkan sebuah lagu. Lagu dangdut yang aku tidak hafal judulnya tetapi tidak asing di telinga.
            Secara spontan ibu yang duduk di sebelahku berkomentar terkait lagu dangdut yang sedang dinyanyikan,” Lha kok yo pas banget karo nasibku saiki???” Berbicara dengan logad jawa yang nampaknya sudah fasih, namun dilihat dari raut mukanya seperti orang luar jawa.
            Aku pun memberanikan diri untuk ngobrol dengan sang ibu,”Ibu asalnya mana?”
            ”Jambi mbak, tapi bojoku wong Prambanan. Aku lagi wae pisah cerai karo bojoku, ditinggal selingkuh neng Semarang. Padahal wis duwe anak telu mbak, bayangno...,” ternyata sang ibu baru saja mengalami pengalaman pahit dalam kehidupan rumah tangganya. Secara perlahan air mata pun meleleh membasahi kedua matanya. Apa yang mesti kulakukan?, batinku. Ingin rasanya aku menghibur sang ibu, namun bingung bagaimana caranya. Akhirnya aku hanya bisa menyodorkan tissue, setidaknya bisa menghapus air mata yang terlanjur jatuh.
            Kok yo lagumu kuwi nyindir aku tenan ta mbak?” sang ibu kembali berkomentar terkait lagu yang dinyanyikan oleh pengamen perempuan itu. Aku mencoba mendengarkan dengan saksama. Ternyata benar lagu itu memang menceritakan tentang perpisahan antara suami dan istri, sedangkan pihak istri merasa sangat tersakiti dengan perbuatan yang telah dilakukan suami. Pantas jika sang ibu semakin deras air mata yang mengucur ke pipinya dikarenakan lagu yang ia dengarkan sesuai dengan apa yang baru saja dialaminya.

            Andai saja aku bisa melakukan sesuatu agar ibu itu tidak larut dalam kesedihan, batinku. “Aku saiki lagi arep memperjuangkan hak anakku mbak. Ben bojoku ora sewenang-wenange dhewe ninggalke ngono wae. Anakku berhak entuk penghidupan sing layak,”ujar sang ibu.”Inggih Bu,” komentarku secara singkat karena bingung mau menanggapi bagaimana lagi. Dalam hati aku hanya bisa berdo’a,”Ya Allah, tabahkanlah ibu ini, berikanlah jalan keluuar yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahannya.” Tidak terasa bus sudah memasuki kawasan Prambanan. Tanpa berkata-kata kepadaku, sang ibu langsung turun dari bus dan leenyap dari pandangan mataku. Semoga ada hikmah yang bisa kupetik dari sebuah perjalanan yang tidak biasa kulakukan dengan naik bus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar