Presented by Kareen el-Qalamy
Sekarang ini,
pendidikan sudah termasuk kebutuhan primer. Semua kalangan – tidak hanya bagi
mereka yang menengah ke atas – tentu memerlukan pendidikan. Masyarakat
sangatlah meyekini bahwasannya melalui pendidikanlah jalan satu-satunya untuk
lebih memanusiakan manusia.
Konteks pendidikan di sini sangatlah
luas. Tidak hanya sebatas pada tataran di sekolah saja. Keluarga dan lingkungan
masyarakat juga bisa menjadi fasilitas pendidikan. Pendidikan terbagi menjadi
tiga macam: pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Pendidikan informal tidak lain yaitu pendidikan yang dilakukan sejak anak di
dalam kandungan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya alias pendidikan yang
dilakukan di dalam keluarga (lingkup kecil). Pendidikan formal pendidikan yang
dilakukan di bangku-bangku sekolah. Sedangkan, pendidikan non formal yaitu
pendidikan yang dilakukan oleh instansi-instansi di luar sekolah, contohnya
Lembaga Pelatihan Kerja (LPK), Bimbingan Belajar/les dll.
Dunia pendidikan Indonesia saat ini
masih mengedepankan aspek kognitif. Baru sebatas pada peningkatan dari segi
kuantitas, salah satunya adalah nilai. Belum mencangkup aspek yang lain
diantaranya masih ada aspek afektif dan psikomotorik. Kalaupun hanya mencangkup
satu aspek saja itu tidak adil karena manusia diberi kelebihan oleh Allah
berbeda-beda/tidak hanya pada satu aspek.
Hal itu mengakibatkan lahirnya generasi yang hanya cerdas di
intelektualnya. Padahal manusia tidak hanya cukup cerdas secara intelektual
saja, namun juga harus cerdas secara emosi dan hati.
Berdasarkan pengamatan selama ini
terhadap kelemahan sistem pendidikan yang ada, munculnya istilah,”Pendidikan
Karakter”. Pendidikan yang tidak hanya memperhatikan aspek kognitif tetapi
sekaligus mengakomodir aspek yang lain. Pendidikan karakter selain mengasah
kecerdasan intelektual juga mengasah kecerdasan perilaku atau akhlak. Jadi,
diharapkan melalui pendidikan karakter inilah terlahirnya generasi cerdas dan
humanis.
Namun, ada beberapa hal yang perlu
dijadikan evaluasi pada tataran aplikatif. Bahwa sejatinya mereka yang
mengamalkan pendidikan karakter ini tidak hanya mereka-mereka yang nota bene
civitas akademik atau orang-orang yang memang menekuni dunia pendidikan. Akan
tetapi diperlukan partisipasi dari semua kalangan agar pendidikan karakter ini terlihat
output yang diharapkan.
Salah satunya partisipasi dari para
insan media. Masyarakat bisa menilai tayangan-tayangan yang disuguhkan melalui
media cetak maupun elektronik setidaknya belum selaras dengan pendidikan
karakter yang diusung. Pendidikan karakter mengusung nilai-nilai budi pekerti
yang luhur. Hal ini berbanding terbalik dengan nilai-nilai yang ditayangkan
media. Prosentase tayangan media yang mengandung unsur pendidikan khususnya
berkaitan dengan nilai budi pekerti masih sangatlah minim. Malahan yang paling
banyak berkaitan dengan hiburan dan penanaman budaya Barat yang jelas-jelas
sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan. Salah satu contohnya
sekarang ini di sekolah-sekolah mulai diberlakukannya seragam sekolah
mengenakan rok panjang, namun di sisi lain peserta didik disuguhi tontonan yang
mengumbar aurat dan syahwat.
Oleh sebab itu diperlukan kerja sama
yang sifatnya integratif agar pendidikan karakter dapat terealisasi sebagaimana
mestinya. Tanpa adanya pihak yang dirugikan karena ini demi kebaikan bersama
dan demi masa depan anak cucu. Bisa dibayangkan jika kita meninggalkan generasi
yang bobrok secara moral walaupun cerdas intelektualnya. Hal itu akan percuma
bahkan menimbulkan kerugian bagi semua. Sebaik-baik generasi adalah generasi
yang memikirkan dan mempersiapkan generasi yang lebih baik di masa mendatang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar