Presented by Kareen el-Qalamy
Perekonomian saat ini sungguh
mengalami perkembangan sangat pesat. Sejak diberlakukannya perdagangan bebas
seolah-olah batas geografis suatu negara sudah tidak menjadi penghalang. Bahkan
tanpa batas. Apalagi didukung oleh kemajuan teknologi dan komunikasi. Sistem perdagangan
yang dulunya harus diawali via face to
face, sekarang tidak perlu repot-repot. Via online saja sudah bisa membeli suatu barang yang diinginkan.
Hal
tersebut tentu menawarkan kemudahan bagi masyarakat. Berawal dari kemudahan
lama-lama menyebabkan timbulnya sikap manja dari masyarakat sendiri. Akhirnya munculah
budaya serba instan. Masyarakat sudah tidak mau tahu dengan yang namanya proses
dan nilai-nilai perjuangan. Yang penting mendapatkan hasilnya dengan mudah dan
cepat tanpa melihat apakah proses atau cara yang ditempuh itu benar. Tidak mengherankan
jika sekarang marak perilaku yang sifatnya negatif, namun karena sebagian besar
masyarakat melakukannya sehingga menyebabkan perilaku negatif tersebut menjadi
sesuatu hal yang wajar bahkan menjadi suatu kebiasaan. Banyak contoh kasusnya,
seperti praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Banyak
faktor yang mempengaruhi. Salah satunya gaya hidup masyarakat sekarang yang
sudah terkontaminasi dengan gaya hidup orang Barat. Dimana gaya hidup orang
Barat kental akan gaya hidup hedonis, konsumtif dan glamor. Indikasi-indikasi
tersebut telah banyak nampak di sekitar lingkungan tempat tinggal kita. Semua daerah
di Indonesia tidak ada yang terlewat, menjadi sasaran empuk virus budaya Barat
yang mematikan ini. Bahkan daerah pelosok dan terpencil pun masih tetap
berpotensi menerima serangan virus ini.
Salah
satu daerah yang akan menjadi sorotan adalah Yogyakarta. Daerah yang terkenal
dengan semboyannya,”Yogya berhati nyaman”,ini nampaknya sudah tidak nyaman lagi
bagi masyarakatnya. Mengapa tidak? Fenomena – fenomena yang semakin memperkuat statement tersebut semakin banyak
bermunculan. Lama – lama Yogyakarta tidak ada bedanya dengan ibukota negara,
Jakarta. Jalanan yang semakin padat akan kendaraan baik itu beroda empat maupun
dua. Bangunan – bangunan yang semakin padat, sampai-sampai tidak mendapatkan
lahan lagi untuk membangun.
Namun,
ada hal yang sangat menggelitik dengan Yogya. Sudah tahu kawasan semakin padat
dengan bangunan dan jalanan yang seringkali macet tidak hanya dikarenakan
semakin bertambahnya jumlah kendaraan tetapi juga lebar ruas jalan yang tidak
bisa ditambah lagi. Masih saja ada oknum-oknum tertentu yang memaksakan
kehendaknya untuk menanam hotel di kawasan tersebut. Tidak ada hotel di kawasan
tersebut saja kemacetan sering melanda apalagi hotel sudah berhasil ditanam. Entah,
mungkin oknum si pemilik hotel tersebut telah terbutakan oleh harta,
sampai-sampai yang ada di pikirannya hanya bagaimana cara mendapatkan
keuntungan dengan memanfaatkan kawasan strategis untuk menanam hotel. Seperti tidak
ada jalan lain saja selain membangun hotel demi komersialitas.
Kalau
saja oknum si pemilik hotel memenuhi segala persyaratan yang ditentukan ketika
mendirikan suatu bangunan di kawasan padat penduduk, hal itu tidak menjadi
masalah. Namun, yang dikhawatirkan apabila persyaratan tersebut ada yang tidak
terpenuhi. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah terkait dampak
lingkungan yang akan ditimbulkan oleh pembangunan hotel tersebut.
Dampak lingkungan
yang dimaksud terutama menyangkut
hal-hal terkait polusi dan limbah yang dihasilkan. Kalau saja limbah yang
dihasilkan diolah dan tidak sampai mencemari lingkungan sekitar hotel tersebut
berdiri tentu tidak mengapa. Akan menjadi masalah serius jika limbah tidak
diolah sebagaimana mestinya dan langsung dibuang begitu saja. Tentu akan
menimbulkan kerugian tidak hanya si pemilik hotel, tetapi juga masyarakat yang
tinggal di sekitaran hotel.
Hal ini perlu
mendapatkan perhatian yang serius bagi pemerintah DI Yogyakarta untuk semakin
memperketat pengawasan terhadap perizinan pembangunan gedung khususnya hotel. Mentang-mentang
pemerintah juga mendapatkan aliran dana – alih-alih sebagai sumber pendapatan
daerah - lantas seenaknya memberikan keleluasaan
bagi pemilik modal untuk mendirikan usahanya di mana saja tanpa
mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan. Semoga pemerintah semakin arif
menyikapi fenomena ini sehingga tidak ada lagi pihak yang dirugikan dan
semboyan,”Yogya berhati nyaman”,masih pantas disandang