Kamis, 07 Juni 2012

Sepenggal Harapan


By Kareen el-Qalamy

             Tahun ini adalah tahun ke-3 aku kuliah di perguruan tinggi ini. Tidak terasa memang, melihat targetan tinggal satu tahun lagi. Pokoknya aku harus selesai kuliah selama empat tahun. Titik. Banyak tanggung jawab yang harus segera kutunaikan ketika lulus kuliah nanti.
“Jam tujuh? Cepet banget?”gumamku,”aku harus segera mandi. Ren, Reni...Habis kamu siapa? Ngantri mandi donk!” teriakku.
            Bergegas menuju kamar mandi, tak sabar ingin segera sampai di kampus. Terpikir banyak tugas yang harus segera kuselesaikan. Belum lagi makalah dan presentasi yang harus kuhadapi. Uhh, serasa capek sekali...rutinitas harian yang semakin menambah jenuh saja.
“Lho mbak gak sarapan dulu?” tanya Sari teman satu kamarku.
“Ah, gak ah. Keburu-buru je, sarapannya nanti saja,” sambil ngeloyor pergi mengeluarkan sepeda motor. “Pergi dulu ya Sari, assalamu’alaikum,”pamitku setelah menutup pintu gerbang kos.
            Sesampainya di kampus sudah bisa ditebak bahwa perkuliahan sudah dimulai. Bu dosen sudah masuk. Ya.....telat lagi nih... langsung saja aku masuk dan ternyata kegiatan perkuliahan pagi ini adalah diskusi kelompok. Lantas Bu dosen menyuruhku untuk segera bergabung di kelompok diskusi. Akhirnya aku memilih bergabung di kelompok tiga.
“Tumben, hari ini bu dosen menyuruh kita untuk diskusi ya Indah,” sapaku pada salah seorang teman. “Kelompok kita ngerjain yang mana aja nih?”
“Iya, biar gak bosen kali Ki, ni kita kebagian teorema banyak banget je, dari teorema 3.4.1 – 3.4.9.”
“Ayo segera dikerjain,” ajak anggota kelompok yang lain.
            Tidak terasa hari ini adalah hari Sabtu, kulirik jam tangan, wah, tinggal tiga jam lagi. Tidak sabar aku ingin segera mudik ke kampung halaman di Solo. Maklum, sudah hampir dua minggu ini aku tidak pulang karena ada agenda di hari Ahad yang tidak bisa kutinggalkan.
“Kiki, mau ke mana?” tanya Leni.
“Ni mau online Len, kamu?”
“Sama, yuk bareng aja,”berjalan sambil menuruni tangga.
Lantas mencari tempat yang nyaman untuk hotspotan, kami memilih tempat duduk yang paling pojok fakultas lantai satu. Kebetulan, suasananya tenang, sedikit sekali mahasiswa yang berlalu lalang. Mungkin mayoritas masih menjalani kegiatan perkuliahan.
“Kamu mau nyari apa Len?” tanyaku memecah keheningan.
“Ni bahan untuk tugas Kewirausahaan besok,” jawabnya.
“O....kalo aku sih dah ambil,” sambil asyik melototi laptop.
Lha kamu cari apa Ki?”
“Cari bahan untuk buat abstraksi tema skripsi.”
Wah....kamu dah sampe situ ya? Cepet banget, aku aja belum pernah ketemu dosen pembimbing temaku.”
”Ayolah, segera, biar lulusnya nanti bisa bareng,” ujarku memotivasi.
            Akhirnya waktu sudah menunjukan pukul empat sore. Saatnya mudik. Setelah berpisah dengan Leni, kulangkahkan kaki menuju parkiran sepeda motor. Bismillah, semoga tidak hujan dan selamat sampai tujuan. Kunyalakan mesin sepeda motor, lantas menarik gas secara perlahan. Perjalanan menuju Solo pun dimulai.
Ternyata pemandangan jalan raya di sore hari tidak ada bedanya dengan di pagi hari. Pasti dijumpai banyak kemacetan di sana-sini. Ditambah lagi nanti malam, malam minggu. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kondisi jalan raya dimana hampir semua orang ingin menghabiskaan malam minggu di luar. Tidak mengherankan jika Mama selalu menasihatiku untuk tidak pulang larut malam. Karena kondisi rute menuju rumah yang semakin sepi ketika hari beranjak petang.
Sesampainya di rumah, seperti biasa kedatanganku mendapat sambutan hangat dari keluarga, Mama, Papa, kakak dan adik. Terkadang dengan humor khasnya,”Tumben kok pulang Mbak?” Terkadang dengan perasaan agak sedikit jengkel aku membalas,”Lha masak Mbak gak boleh pulang.” Hubunganku dengan adik sangatlah erat. Da tidak canggung untuk menceritakan semua hal yang dialami, entah itu tentang kegiatannya dia di sekolah atau tentang hubungan dia dengan teman-teman sekolahnya. Sedangkan kedua kakakku sudah mempunyai keluarga masing-masing. Bahkan ada yang tinggal di luar Jawa.
Sebagai anak, aku juga mulai mencoba terbuka dengan orang tua. Mulai membuka diri, mengkomunikasikan apapun yang aku alami dan yang aku lakukan dimanapun aku berada. Karena sungguh nyaman ketika bisa mencurahkan semua permasalahan apalagi ke orang yang selalu dekat yaitu orang tua.
“Ma, merasa aneh mboten[1]?” tanyaku dengan menggunakan bahasa Jawa krama inggil [2] terkadang memakai bahasa Indonesia alias bahasa campuran ketika sedang bercengkrama dengan keluarga.
“Aneh kenapa Kiki?” Mama malah balik tanya dengan rasa penasaran.
“Itu lho Mas Lukman, Ma. Masak perhatian banget sih kaliyan [3]Mama dan Papa?”
“Iya lho Kiki, ati-ati[4], jangan-jangan ada sesuatu? Coba tanya Papa?” ternyata Mama sudah paham dengan apa yang aku bicarakan.
            Mengejutkan, setelah aku menanyakan hal yang sama pada Papa ternyata respon yang diberikan sangatlah berbeda. Papa menganggapnya biasa-biasa saja. Entah, mungkin benar jika laki-laki lebih mengutamakan logika, sedangkan perempuan mengutamakan perasaaan. Karena aku merasa perhatian Mas Lukman yang diberikan pada keluargaku sangatlah berlebihan. Seperti ada maksud di balik semua itu.
            Mas Lukman adalah tetangga desaku. Teman satu remaja masjid sejak SMP. Beliau kira-kira lima tahun di atasku. Sekarang sudah merantau ke Jakarta, jadi sudah jarang sekali bertemu. Paling dalam satu tahun bertemu sekali, itu saja saat libur lebaran. Beliau memang seorang pria yang baik, santun, pekerja keras dan taat beribadah. Aku salut dengan motivasinya untuk terus bekerja membiayai keluarganya. Maklum dia anak pertama dan mempunyai lima orang adik. Dia rela hanya sebatas tamatan SMK dan langsung bekerja demi membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Setelah beberapa tahun bekerja, dia lantas memutuskan untuk kuliah mengambil D2, dengan tidak meninggalkan pekerjaannya. Kerja sambil kuliah, subhanallah....
            Namun akhir-akhir ini sikap yang dia tunjukkan pada keluargaku sangatlah berbeda. Memang orang tuaku juga mengenal baik Mas Lukman. Aku mengira hanya aku saja yang merasakan keanehan itu, tetapi Mama juga merasakan hal yang sama. Seperti ada semacam perhatian khusus yang dia berikan.
            Mengapa tidak aneh jika tiap kali lebaran beliau menyempatkan untuk bertandang ke rumah, mungkin sekadar silaturahim. Kalau itu masih lumrah, tetapi ketika dia pulang sempat-sempatnya membelikan obat-obatan herbal untuk orang tuaku, apakah tidak aneh itu namanya. Ditambah lagi sms-sms tausiyah yang dikirimkan, tidak hanya kepadaku saja, tetapi orang tuaku juga menjadi sasaran.
            Ah...tak tahulah... aku tidak mau memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. Mencoba untuk pasrah kepada sang Pencipta, apalagi menyangkut masalah jodoh. Masing-masing orang sudah ada jatahnya, tinggal menunggu waktu yang pas untuk dipertemukan. Namun apabila kondisi sekarang, memang perlu segera dipikirkan juga. Apalagi orang tua sering menyinggung tentang hal itu. Ah...ya sudahlah...

*

            Siang yang begitu sangat terik. Tamparan sinarnya membuat peluh serasa ingin mengalir deras. Seperti air terjun di tengah gurun sahara. Berjalan menuju fakultas, di bawah bayang-bayang matahari yang tepat berada di atas kepala. Benar-benar ingin segera berteduh mendinginkan anggota badan yang serasa  mendidih.
“Kiki...!” terdengar sebuah suara yang memanggil namaku. Sambil kutengok ke belakang...
“E...kamu ta Indah,” sapaku setengah kaget.
“Duduk sini dulu yuk.”
“Kamu gak pulang Dah?” sambil bersalaman dan menuju ke sebuah bangku di sudut jalan.
“Pengennya sih segera pulang, tapi angkotnya jam segini belum ada.”
“O...ya..ya...ini kan hari Jum’at, mungkin sopirnya juga Jum’atan dulu Dah.”
            Secara tidak sadar kami terlibat perbincangan hangat. Indah, teman satu kelasku. Anak pondok dan berasal dari Ciamis, Jawa Barat. Tidak mengherankan jika logat bicaranya kental dengan bahasa Sunda. Orangnya baik dan mudah bergaul. Lucu kalau dia mempraktikkan berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa. Seperti kaku dan tidak pas.
            Namun di tengah-tengah perbincangan tersebut, tidak menduga Indah mengajukan sebuah pertanyaan yang membuatku kaget. Bahkan, membuatku bingung untuk menjawabnya. Dia bertanya padaku tentang jodoh,”Sari dah punya calon?”
“Calon? Ya Allah Indah...memang siapa calonku tuh, belum ada kok.”
“Masak sih? Tapi kriterianya sudah ada kan?” tanyanya dengan penuh selidik.
            Tentang calon, tidak terlalu dipikir. Karena aku sendiri merasa belum siap untuk itu. Tidak hanya sekadar hubungan tetapi juga harus siap untuk melangkah lebih jauh dan tentu dengan niatan meraih ridho-Nya. Karena selama ini aku mencoba untuk ikhlas menerima pasangan yang telah Allah pilihkan. Walau pada kenyataannya aku kenal banyak sekali laki-laki sholeh, tetapi itu tidak lantas mengganggu pikiranku.
            Terkadang, memang benar juga apa yang sering nenek nasihatkan padaku. Harus dipikirkan dari sekarang lho Nduk. Ditambah lagi teman-teman kelas banyak yang tinggal selangkah lagi, ijab qobul.
Serasa tidak mau ambil pusing dengan yang namanya jodoh, aku pun mengalihkan semua perhatian kepada kesibukan dan rutinitasku yang tidak tahu kapan akan berakhir. Berkecimpung di organisasi, tugas-tugas kuliah yang tidak pernah absen menghampiri, juga mulai memikirkan untuk persiapan skripsi, KKN dan PPL. Wow...ternyata padat banget ya.... Maklum namanya saja sudah semester tua, banyak hal yang harus dipikirkan dan diselesaikan.
Saat ini aku mulai mencicil tema skripsi dengan harapan bisa selesai target empat tahun. Bimbingan tema pun aku ikuti secara rutin tiap pekan. Dan ketika antri di ruang dosen untuk bertemu dosen pembimbing, tiba-tiba Hpku berdering.
Halo, assalamu’alaikum. Wonten menapa [5]Pa?” tanyaku dengan penuh penasaran.
“Ada hal yang perlu Papa bicarakan dengan Kiki, tapi gak bisa ditelepon. Kiki harus segera pulang,” tutur Papa dengan nada serius.
            Seketika itu juga semua perasaan berkecambuk di dalam hati. Beribu-ribu pertanyaan membuat diri penasaran kira-kira ada gerangan apa sehingga tiba-tiba saja Papa menyuruh pulang. Untung saja jadwal kuliah besok dimulai siang hari. Jam tiga tepat perkuliahan hari ini berakhir, segera melangkahkan kaki menuju parkiran dan bergegas pulang.
            Satu jam kemudian, akhirnya sampai di rumah. Tanpa basa-basi aku langsung menanyakan maksud Papa mengapa menyuruhku segera pulang. Namun, Mama memintaku untuk bersih-bersih diri terlebih dahulu. Selepas menunaikan sholat Maghrib dan makan malam, di ruang keluarga timbullah sebuah perbincangan yang meembuatku tercengang.
“Ki, kemarin sore Mas Lukman datang ke rumah,” Papa mengawali percakapan.
“Mas Lukman? Beliau pulang ya Pa? Memangnya wonten[6] perlu menapa[7] Pa, Mas Lukman sowan mriki[8]?” tanyaku.
“Mas Lukman ingin melamarmu Ki,” jawab Papa dengan nada serius penuh penekanan.
“Melamar Kiki? Apa Kiki tidak salah dengar? Atau apa Papa tidak salah ucap?” tanyaku tidak percaya dengan penuturan Papa yang sangat mengagetkanku.
“Benar Ki, Papa tidak salah kok, Mama menjadi saksinya,”tambah Mama.
“Bagaimana Kiki? Papa serahkan sepenuhnya pada Kiki. Kemarin Papa bilang pada Mas Lukman untuk kembali lagi setelah tiga hari untuk meminta kepastian darimu Ki.”
“Baiklah kalau begitu, Kiki akan mencoba untuk mengistikhorohkannya terlebih dahulu Pa, tapi apakah Papa dan Mama merestui?”
“Insya Allah kalau itu sudah menjadi pilihan Kiki dan Kiki yakin, Papa dan Mama akan merestui,” ujar Mama sambil memelukku.
“Terima kasih Ma, Pa.”
            Selama tiga malam berturut-turut aku sholat istikhoroh meminta petunjuk untuk diberikan keputusan yang terbaik. Ya Allah, kalau pun benar Mas Lukman jodohku maka dekatkanlah. Tetapi kalau bukan maka berikan yang terbaik bagiku. Aku berusaha pasrah akan segala jawaban yang akan diberikan tentang kepastian ini.
            Waktu yang telah dijanjikan pun tiba. Hari ini adalah hari dimana aku harus memberikan jawaban akan pinangan dari Mas Lukman. Sesosok pria yang sangat ideal di mataku. Jam dinding menujukkan pukul empat sore, nuansa pedesaan masih sangat terasa. Ditambah lagi masyarakat desa tempat tinggalku masih memegang teguh akan adat-istiadat Jawa. Terdengar suara salam dari luar sambil mengetuk pintu. Jantungku semakin berdebar kencang. Setelah dipersilakan masuk, dari balik almari tamu yang menjadi sekat antara aku dan Mas Lukman, aku mendengarkan dengan penuh seksama apa yaang diucapkan oleh Papa dan Mas Lukman. Sampailah pada pembahasan tentang pinangan itu.
“Bagaimana Kiki, apakah Kiki mau menerima pinangan Mas Lukman?” sebuah pertanyaan yang terasa sangat berat untuk kuberi jawaban. Terasa bibir sangat kelu untuk sekadar mengucapkan satu patah kata, iya atau tidak.
Bismillahirrohmanirrohim, saya bersedia,” jawabku. Perasaan tidak karuan menyelimuti hatiku. Seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari bibirku.
            Rasa haru dan bahagia memenuhi ruang tamu sederhana di sore yang sangat indah itu. Tidak akan pernah terlupa. Saat itu juga kedua keluarga langsung membahas mengenai hari-H peresmian ijab qobul dan resepsi pernikahan. Alhamdulillah, semuanya dapat ditentukan saat itu juga. Kami pun sepakat untuk menikah di pertengahan bulan depan. Tinggal tiga minggu lagi, akhirnya aku akan menyempurnakan setengah dienku, dengan mendampingi seorang laki-laki yang sholeh di mataku.
            Segala yang diperlukan segera disiapkan dengan matang. Mulai dari konsep acara dan undangan untuk para tamu juga sudah dicetak, tinggal disebarkan saja. Mendekati hari-H, yang ada hanyalah perasaan senang yang memenuhi pikiranku. Di perkuliahan pun aku semakin bersemangat. Sampai-sampai teman-temanku merasa heran dengan perubahan tingkah laku yang kualami. Mau tidak mau aku pun mengabarkan bahwa aku akan segera menikah. Berbagai respon dilontarkan oleh teman-teman. Mereka seakan-akan tidak percaya dengan apa yang kusampaikan. Lantas berlomba-lomba memberikan ucapan selamat padaku.
            Berada dalam penantian terasa sangat lama sekali. Sekaligus dalam liburan semester. Walaupun tinggal menghitung hari untuk menuju hari-H. Terasa seperti menunggu dalam satu tahun. Ya Allah...ternyata seperti inilah yang namanya menunggu. Untuk bisa disandingkan dengan sang belahan jiwa, mendampinginya untuk tetap berada dalam jalan keimanan.
            Segala persiapan hampir fix 75%. Tujuh hari lagi.....menjemput jodohku.
Piye[9] Kiki, rasane[10]?” tanya Kakak pertamaku yang baru saja pulang dari Kalimantan, menyempatkan menghadiri pernikahan adiknya.
Pripun nggih Mbak[11], tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, semua perasaan bercampur menjadi satu,” jawabku dengan penuh senyuman.”Menawi Mbak rumiyin pripun[12]?” godaku.
“Ah kamu itu dik, ada-ada saja. Mbak gak mengira kamu berjodoh dengan tetangga sendiri. Teman seangkatan Mbak lagi, dulu di remaja masjid.”
“Ihh, kakak bisa saja,” dengan wajah tersipu malu.
            Disaat suasana rumah dipenuhi dengan rasa suka cita tiba-tiba Mas Lukman datang. Segera aku ke dapur untuk membuatkan minuman. Kira-kira ada gerangan apa Mas Lukman kemari, kupikir-pikir semua keperlukan pernikahan sudah disiapkan. Apa lagi yang mau dibahas. Beribu pertanyaan muncul dibenakku. Mungkin sekadar mengecek saja apakah ada hal-hal yang kurang atau bagaimana.
            Walaupun Mas Lukman sudah resmi mengkhitbahku, tetapi tidak pernah sekalipun diantara kami terjadi komunikasi baik itu lewat sms atau secara langsung. Karena ingin menjaga kesucian diri masing-masing sebelum ada ikatan resmi. Itulah yang membuatku semakin salut dengan sesosok Mas Lukman.
            Minuman spesial siap untuk dihidangkan. Melangkahkan kaki menuju ruang tamu.
“Sebelumnya saya minta maaf dengan sangat kepada bapak dan seluruh keluarga, khususnya pada dik Kiki.”
Lho emangnya ada apa ta Mas Lukman kie?”
“Entah saya tidak tahu lagi harus berbuat apa, saya tidak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Maaf Pak, sepertinya saya tidak bisa melanjutkan prosesi pernikahan ini.”
            Dari balik almari tamu, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Mas Lukman membatalkan rencana pernikahan ini. Memangnya dengan alasan apa Mas Lukman tega berucap seperti itu? Dengan hati remuk redam kuberusaha mendengarkan kelanjutan percakapan antara Papa dan Mas Lukman.
“Apa yang Mas Lukman ucapkan tadi?” tanya Papa dengan nada sedikit meninggi.
“Beri saya kesempatan untuk menjelaskan mengapa saya mengambil keputusan yang tentu membuat bapak dan keluarga kecewa, terutama dik Kiki. Ini semua bukan atas dasar kemauan saya Pak.”
“Lantas kenapa Mas? Padahal semuanya sudah dipersiapkan, tinggal satu minggu lagi kalian akan menjadi sepasang suami-istri. Teganya kamu melakukan hal seperti itu terhadap anak saya,” ujar Papa dengan luapan emosi yang semakin memuncak.
“Sabar Pa, coba sekarang ceritakan Mas Lukman, apa yang menjadi alasan Mas Lukman membatalkan pernikahan ini secara sepihak,” ujar Mama berusaha menenangkan suasana.
“Ada salah seorang anggota keluarga saya yang tidak setuju kalau saya menikah dengan dik Kiki. Nenek saya masih memegang teguh adat Jawa yang tidak memperbolehkan anak pertama menikah dengan anak ketiga. Bapak, Ibu dan saya sudah berusaha untuk memberikan penjelasan dengan berbagai macam cara. Tetapi nenek tetap saja ngotot dengan pendiriannya. Bahkan beliau mengancam sampai mau bunuh diri kalau saja pernikahan ini tetap dilanjutkan. Nenek memang sangat menyayangi saya, mungkin karena saya cucu laki-laki satu-satunya jadi beliau tidak mau suatu hal yang tidak-tidak menimpa cucu kesayangannya. Akhirnya kami dengan terpaksa mengambil keputusan ini Pak. Saya mohon maaf dengan sangat, sekaligus mewakili bapak dan ibu yang tidak bisa bertandang kemari karena harus menemani nenek yang opname di rumah sakit. Sejak nenek mengetahui kalau saya ingin menikah dengan dik Kiki kesehatan beliau langsung drop. Sehingga dengan terpaksa kami menuruti permintaan nenek agar kesehatan beliau tidak semakin memburuk. Jujur Pak, saya sendiri juga sangat berat mengambil keputusan ini, karena sudah lama saya menyimpan perasaan suka terhadap dik Kiki, tinggal selangkah lagi untuk mendampinginya, ternyata Allah berkehendak lain. Semoga bapak dan keluarga memaafkan saya dan keluarga saya. Untuk dik Kiki semoga dipertemukan dengan orang yang lebih baik. Kami belum berjodoh Pak”
            Setelah mengutarakan secara panjang lebar, Mas Lukman pun pamit. Kupandangi dari balik jendela kamar, dengan wajah kecewa dan sedih Mas Lukman pergi. Apakah Mas Lukman merasakan apa yang aku rasakan? Masuk ke kamar, mengunci diri dan ingin menangis sejadi-jadinya. Terdengar panggilan Papa dan Mama tidak aku gubris sama sekali.
Ya Allah, kenapa ini terjadi padaku? Disaat aku ingin merasakan indahnya pernikahan, ternyata itu tinggal kenangan. Kulihat mushaf yang tergeletak di atas meja. Kubuka-buka dan mulai kubaca huruf demi huruf.”Allah lebih mengetahui apa-apa yang terbaik bagimu”


 







Biografi Singkat

Nama Lengkap                        : Karina Pramitasari
Tempat, tanggal lahir              : Pati, 02 April 1991   
Alamat Asal                            : RT 03 / RW 06 Pulorejo, Jotangan, Bayat, Klaten
Alamat di Yogyakarta                        : Santan, Maguwoharjo, Sleman,Yogyakarta
No Tlp/ Hp                              : 085725302181
Jurusan/ Semester                    : Pendidikan Matematika / VI
Alamat e-mail                          : karinaxii_ipa4_19@yahoo.co.id      
Alamat blog/ web                    : ka-muslim.blogspot.com
Profesi                                     : Aktivis mahasiswa
PT                                             : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Fakultas                                   : Sains dan Teknologi









                                                                                                                                


[1] Tidak (dalam bahasa Jawa krama inggil)
[2] Bahasa Jawa yang tingkatannya paling halus ditujukan kepada orang yang lebih tua
[3] Dengan (istilah Jawa krama inggil)
[4] Hati-hati
[5] Ada apa Pa?
[6] Ada
[7] Apa
[8] Datang ke sini
[9] Bagaimana
[10] Rasanya
[11] Bagaimana ya Kak?
[12] Kalau Kakak dulu bagaimana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar