By Kareen el-Qalamy
Tahun ini adalah tahun ke-3 aku kuliah di perguruan tinggi ini. Tidak terasa
memang, melihat targetan tinggal satu tahun lagi. Pokoknya aku harus selesai
kuliah selama empat tahun. Titik. Banyak tanggung jawab yang harus segera
kutunaikan ketika lulus kuliah nanti.
“Jam tujuh? Cepet
banget?”gumamku,”aku harus segera mandi. Ren, Reni...Habis kamu siapa? Ngantri
mandi donk!” teriakku.
Bergegas menuju kamar mandi, tak sabar ingin segera sampai di kampus. Terpikir
banyak tugas yang harus segera kuselesaikan. Belum lagi makalah dan presentasi
yang harus kuhadapi. Uhh, serasa capek sekali...rutinitas harian yang
semakin menambah jenuh saja.
“Lho mbak gak sarapan dulu?” tanya
Sari teman satu kamarku.
“Ah, gak ah. Keburu-buru je,
sarapannya nanti saja,” sambil ngeloyor pergi mengeluarkan sepeda motor. “Pergi
dulu ya Sari, assalamu’alaikum,”pamitku setelah menutup pintu gerbang
kos.
Sesampainya di kampus sudah bisa ditebak bahwa perkuliahan sudah dimulai. Bu
dosen sudah masuk. Ya.....telat lagi nih... langsung saja aku masuk dan
ternyata kegiatan perkuliahan pagi ini adalah diskusi kelompok. Lantas Bu dosen
menyuruhku untuk segera bergabung di kelompok diskusi. Akhirnya aku memilih
bergabung di kelompok tiga.
“Tumben, hari ini bu dosen menyuruh
kita untuk diskusi ya Indah,” sapaku pada salah seorang teman. “Kelompok kita ngerjain
yang mana aja nih?”
“Iya, biar gak bosen kali
Ki, ni kita kebagian teorema banyak banget je, dari teorema 3.4.1 –
3.4.9.”
“Ayo segera dikerjain,” ajak
anggota kelompok yang lain.
Tidak terasa hari ini adalah hari Sabtu, kulirik jam tangan, wah, tinggal
tiga jam lagi. Tidak sabar aku ingin segera mudik ke kampung halaman di
Solo. Maklum, sudah hampir dua minggu ini aku tidak pulang karena ada agenda di
hari Ahad yang tidak bisa kutinggalkan.
“Kiki, mau ke mana?” tanya Leni.
“Ni mau online Len, kamu?”
“Sama, yuk bareng aja,”berjalan
sambil menuruni tangga.
Lantas mencari tempat yang nyaman
untuk hotspotan, kami memilih tempat duduk yang paling pojok fakultas
lantai satu. Kebetulan, suasananya tenang, sedikit sekali mahasiswa yang
berlalu lalang. Mungkin mayoritas masih menjalani kegiatan perkuliahan.
“Kamu mau nyari apa Len?”
tanyaku memecah keheningan.
“Ni bahan untuk tugas Kewirausahaan
besok,” jawabnya.
“O....kalo aku sih dah ambil,”
sambil asyik melototi laptop.
“Lha kamu cari apa Ki?”
“Cari bahan untuk buat abstraksi
tema skripsi.”
“Wah....kamu dah sampe
situ ya? Cepet banget, aku aja belum pernah ketemu dosen pembimbing temaku.”
”Ayolah, segera, biar lulusnya nanti
bisa bareng,” ujarku memotivasi.
Akhirnya waktu sudah menunjukan pukul empat sore. Saatnya mudik. Setelah
berpisah dengan Leni, kulangkahkan kaki menuju parkiran sepeda motor. Bismillah,
semoga tidak hujan dan selamat sampai tujuan. Kunyalakan mesin sepeda
motor, lantas menarik gas secara perlahan. Perjalanan menuju Solo pun dimulai.
Ternyata pemandangan jalan raya di
sore hari tidak ada bedanya dengan di pagi hari. Pasti dijumpai banyak
kemacetan di sana-sini. Ditambah lagi nanti malam, malam minggu. Tidak bisa
dibayangkan bagaimana kondisi jalan raya dimana hampir semua orang ingin
menghabiskaan malam minggu di luar. Tidak mengherankan jika Mama selalu
menasihatiku untuk tidak pulang larut malam. Karena kondisi rute menuju rumah
yang semakin sepi ketika hari beranjak petang.
Sesampainya di rumah, seperti biasa
kedatanganku mendapat sambutan hangat dari keluarga, Mama, Papa, kakak dan
adik. Terkadang dengan humor khasnya,”Tumben kok pulang Mbak?” Terkadang dengan
perasaan agak sedikit jengkel aku membalas,”Lha masak Mbak gak boleh
pulang.” Hubunganku dengan adik sangatlah erat. Da tidak canggung untuk
menceritakan semua hal yang dialami, entah itu tentang kegiatannya dia di
sekolah atau tentang hubungan dia dengan teman-teman sekolahnya. Sedangkan
kedua kakakku sudah mempunyai keluarga masing-masing. Bahkan ada yang tinggal
di luar Jawa.
Sebagai anak, aku juga mulai mencoba
terbuka dengan orang tua. Mulai membuka diri, mengkomunikasikan apapun yang aku
alami dan yang aku lakukan dimanapun aku berada. Karena sungguh nyaman ketika
bisa mencurahkan semua permasalahan apalagi ke orang yang selalu dekat yaitu
orang tua.
“Ma, merasa aneh mboten[1]?”
tanyaku dengan menggunakan bahasa Jawa krama
inggil [2]
terkadang memakai bahasa Indonesia alias bahasa campuran ketika sedang
bercengkrama dengan keluarga.
“Aneh kenapa Kiki?” Mama malah balik
tanya dengan rasa penasaran.
“Itu lho Mas
Lukman, Ma. Masak perhatian banget sih kaliyan
[3]Mama
dan Papa?”
“Iya lho Kiki, ati-ati[4],
jangan-jangan ada sesuatu? Coba tanya Papa?” ternyata Mama sudah paham dengan
apa yang aku bicarakan.
Mengejutkan, setelah aku menanyakan hal yang sama pada Papa ternyata respon
yang diberikan sangatlah berbeda. Papa menganggapnya biasa-biasa saja. Entah,
mungkin benar jika laki-laki lebih mengutamakan logika, sedangkan perempuan
mengutamakan perasaaan. Karena aku merasa perhatian Mas Lukman yang diberikan
pada keluargaku sangatlah berlebihan. Seperti ada maksud di balik semua itu.
Mas Lukman adalah tetangga desaku. Teman satu remaja masjid sejak SMP. Beliau
kira-kira lima tahun di atasku. Sekarang sudah merantau ke Jakarta, jadi sudah
jarang sekali bertemu. Paling dalam satu tahun bertemu sekali, itu saja saat
libur lebaran. Beliau memang seorang pria yang baik, santun, pekerja keras dan
taat beribadah. Aku salut dengan motivasinya untuk terus bekerja membiayai
keluarganya. Maklum dia anak pertama dan mempunyai lima orang adik. Dia rela
hanya sebatas tamatan SMK dan langsung bekerja demi membantu membiayai sekolah
adik-adiknya. Setelah beberapa tahun bekerja, dia lantas memutuskan untuk
kuliah mengambil D2, dengan tidak meninggalkan pekerjaannya. Kerja sambil
kuliah, subhanallah....
Namun
akhir-akhir ini sikap yang dia tunjukkan pada keluargaku sangatlah berbeda.
Memang orang tuaku juga mengenal baik Mas Lukman. Aku mengira hanya aku saja
yang merasakan keanehan itu, tetapi Mama juga merasakan hal yang sama. Seperti
ada semacam perhatian khusus yang dia berikan.
Mengapa tidak aneh jika tiap kali lebaran beliau menyempatkan untuk bertandang
ke rumah, mungkin sekadar silaturahim. Kalau itu masih lumrah, tetapi ketika
dia pulang sempat-sempatnya membelikan obat-obatan herbal untuk orang tuaku,
apakah tidak aneh itu namanya. Ditambah lagi sms-sms tausiyah yang dikirimkan,
tidak hanya kepadaku saja, tetapi orang tuaku juga menjadi sasaran.
Ah...tak tahulah... aku tidak mau memikirkan hal-hal yang tidak-tidak.
Mencoba untuk pasrah kepada sang Pencipta, apalagi menyangkut masalah jodoh.
Masing-masing orang sudah ada jatahnya, tinggal menunggu waktu yang pas untuk
dipertemukan. Namun apabila kondisi sekarang, memang perlu segera dipikirkan
juga. Apalagi orang tua sering menyinggung tentang hal itu. Ah...ya
sudahlah...
*
Siang yang begitu sangat terik. Tamparan sinarnya membuat peluh serasa ingin
mengalir deras. Seperti air terjun di tengah gurun sahara. Berjalan menuju
fakultas, di bawah bayang-bayang matahari yang tepat berada di atas kepala.
Benar-benar ingin segera berteduh mendinginkan anggota badan yang serasa
mendidih.
“Kiki...!” terdengar sebuah suara
yang memanggil namaku. Sambil kutengok ke belakang...
“E...kamu ta Indah,” sapaku setengah
kaget.
“Duduk sini dulu yuk.”
“Kamu gak pulang Dah?” sambil
bersalaman dan menuju ke sebuah bangku di sudut jalan.
“Pengennya sih segera pulang, tapi
angkotnya jam segini belum ada.”
“O...ya..ya...ini kan hari Jum’at,
mungkin sopirnya juga Jum’atan dulu Dah.”
Secara tidak sadar kami terlibat perbincangan hangat. Indah, teman satu
kelasku. Anak pondok dan berasal dari Ciamis, Jawa Barat. Tidak mengherankan
jika logat bicaranya kental dengan bahasa Sunda. Orangnya baik dan mudah
bergaul. Lucu kalau dia mempraktikkan berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa.
Seperti kaku dan tidak pas.
Namun di tengah-tengah perbincangan tersebut, tidak menduga Indah mengajukan
sebuah pertanyaan yang membuatku kaget. Bahkan, membuatku bingung untuk
menjawabnya. Dia bertanya padaku tentang jodoh,”Sari dah punya calon?”
“Calon? Ya Allah Indah...memang
siapa calonku tuh, belum ada kok.”
“Masak sih? Tapi kriterianya sudah
ada kan?” tanyanya dengan penuh selidik.
Tentang calon, tidak terlalu dipikir. Karena aku sendiri merasa belum siap
untuk itu. Tidak hanya sekadar hubungan tetapi juga harus siap untuk melangkah
lebih jauh dan tentu dengan niatan meraih ridho-Nya. Karena selama ini aku
mencoba untuk ikhlas menerima pasangan yang telah Allah pilihkan. Walau pada
kenyataannya aku kenal banyak sekali laki-laki sholeh, tetapi itu tidak lantas
mengganggu pikiranku.
Terkadang, memang benar juga apa yang sering nenek nasihatkan padaku. Harus
dipikirkan dari sekarang lho Nduk. Ditambah lagi teman-teman kelas banyak
yang tinggal selangkah lagi, ijab qobul.
Serasa tidak mau ambil pusing dengan
yang namanya jodoh, aku pun mengalihkan semua perhatian kepada kesibukan dan
rutinitasku yang tidak tahu kapan akan berakhir. Berkecimpung di organisasi,
tugas-tugas kuliah yang tidak pernah absen menghampiri, juga mulai memikirkan
untuk persiapan skripsi, KKN dan PPL. Wow...ternyata padat banget ya....
Maklum namanya saja sudah semester tua, banyak hal yang harus dipikirkan dan
diselesaikan.
Saat ini aku mulai mencicil tema
skripsi dengan harapan bisa selesai target empat tahun. Bimbingan tema pun aku
ikuti secara rutin tiap pekan. Dan ketika antri di ruang dosen untuk bertemu
dosen pembimbing, tiba-tiba Hpku berdering.
“Halo, assalamu’alaikum. Wonten menapa [5]Pa?”
tanyaku dengan penuh penasaran.
“Ada hal yang perlu Papa bicarakan dengan Kiki, tapi
gak bisa ditelepon. Kiki harus segera pulang,” tutur Papa dengan nada serius.
Seketika itu juga semua perasaan berkecambuk di dalam hati. Beribu-ribu
pertanyaan membuat diri penasaran kira-kira ada gerangan apa sehingga tiba-tiba
saja Papa menyuruh pulang. Untung saja jadwal kuliah besok dimulai siang hari.
Jam tiga tepat perkuliahan hari ini berakhir, segera melangkahkan kaki menuju
parkiran dan bergegas pulang.
Satu jam kemudian, akhirnya sampai di rumah. Tanpa basa-basi aku langsung
menanyakan maksud Papa mengapa menyuruhku segera pulang. Namun, Mama memintaku
untuk bersih-bersih diri terlebih dahulu. Selepas menunaikan sholat Maghrib dan
makan malam, di ruang keluarga timbullah sebuah perbincangan yang meembuatku
tercengang.
“Ki, kemarin sore Mas Lukman datang
ke rumah,” Papa mengawali percakapan.
“Mas Lukman? Beliau pulang ya Pa?
Memangnya wonten[6] perlu
menapa[7]
Pa, Mas Lukman sowan mriki[8]?”
tanyaku.
“Mas Lukman ingin melamarmu Ki,”
jawab Papa dengan nada serius penuh penekanan.
“Melamar Kiki? Apa Kiki tidak salah
dengar? Atau apa Papa tidak salah ucap?” tanyaku tidak percaya dengan penuturan
Papa yang sangat mengagetkanku.
“Benar Ki, Papa tidak salah kok,
Mama menjadi saksinya,”tambah Mama.
“Bagaimana Kiki? Papa serahkan
sepenuhnya pada Kiki. Kemarin Papa bilang pada Mas Lukman untuk kembali lagi
setelah tiga hari untuk meminta kepastian darimu Ki.”
“Baiklah kalau begitu, Kiki akan
mencoba untuk mengistikhorohkannya terlebih dahulu Pa, tapi apakah Papa
dan Mama merestui?”
“Insya Allah kalau itu sudah menjadi
pilihan Kiki dan Kiki yakin, Papa dan Mama akan merestui,” ujar Mama sambil
memelukku.
“Terima kasih Ma, Pa.”
Selama tiga malam berturut-turut aku sholat istikhoroh meminta petunjuk
untuk diberikan keputusan yang terbaik. Ya Allah, kalau pun benar Mas Lukman
jodohku maka dekatkanlah. Tetapi kalau bukan maka berikan yang terbaik bagiku.
Aku berusaha pasrah akan segala jawaban yang akan diberikan tentang kepastian
ini.
Waktu yang telah dijanjikan pun tiba. Hari ini adalah hari dimana aku harus
memberikan jawaban akan pinangan dari Mas Lukman. Sesosok pria yang sangat
ideal di mataku. Jam dinding menujukkan pukul empat sore, nuansa pedesaan masih
sangat terasa. Ditambah lagi masyarakat desa tempat tinggalku masih memegang
teguh akan adat-istiadat Jawa. Terdengar suara salam dari luar sambil mengetuk
pintu. Jantungku semakin berdebar kencang. Setelah dipersilakan masuk, dari
balik almari tamu yang menjadi sekat antara aku dan Mas Lukman, aku
mendengarkan dengan penuh seksama apa yaang diucapkan oleh Papa dan Mas Lukman.
Sampailah pada pembahasan tentang pinangan itu.
“Bagaimana Kiki, apakah Kiki mau
menerima pinangan Mas Lukman?” sebuah pertanyaan yang terasa sangat berat untuk
kuberi jawaban. Terasa bibir sangat kelu untuk sekadar mengucapkan satu patah
kata, iya atau tidak.
“Bismillahirrohmanirrohim,
saya bersedia,” jawabku. Perasaan tidak karuan menyelimuti hatiku. Seperti
tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari bibirku.
Rasa haru dan bahagia memenuhi ruang tamu sederhana di sore yang sangat indah
itu. Tidak akan pernah terlupa. Saat itu juga kedua keluarga langsung membahas
mengenai hari-H peresmian ijab qobul dan resepsi pernikahan. Alhamdulillah,
semuanya dapat ditentukan saat itu juga. Kami pun sepakat untuk menikah di
pertengahan bulan depan. Tinggal tiga minggu lagi, akhirnya aku akan
menyempurnakan setengah dienku, dengan mendampingi seorang laki-laki
yang sholeh di mataku.
Segala yang diperlukan segera disiapkan dengan matang. Mulai dari konsep acara
dan undangan untuk para tamu juga sudah dicetak, tinggal disebarkan saja.
Mendekati hari-H, yang ada hanyalah perasaan senang yang memenuhi pikiranku. Di
perkuliahan pun aku semakin bersemangat. Sampai-sampai teman-temanku merasa
heran dengan perubahan tingkah laku yang kualami. Mau tidak mau aku pun
mengabarkan bahwa aku akan segera menikah. Berbagai respon dilontarkan oleh
teman-teman. Mereka seakan-akan tidak percaya dengan apa yang kusampaikan.
Lantas berlomba-lomba memberikan ucapan selamat padaku.
Berada dalam penantian terasa sangat lama sekali. Sekaligus dalam liburan
semester. Walaupun tinggal menghitung hari untuk menuju hari-H. Terasa seperti
menunggu dalam satu tahun. Ya Allah...ternyata seperti inilah yang
namanya menunggu. Untuk bisa disandingkan dengan sang belahan jiwa,
mendampinginya untuk tetap berada dalam jalan keimanan.
Segala persiapan hampir fix 75%. Tujuh hari lagi.....menjemput jodohku.
“Piye[9]
Kiki, rasane[10]?”
tanya Kakak pertamaku yang baru saja pulang dari Kalimantan, menyempatkan
menghadiri pernikahan adiknya.
“Pripun
nggih Mbak[11],
tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, semua perasaan bercampur menjadi
satu,” jawabku dengan penuh senyuman.”Menawi
Mbak rumiyin pripun[12]?”
godaku.
“Ah kamu itu dik, ada-ada saja. Mbak
gak mengira kamu berjodoh dengan tetangga sendiri. Teman seangkatan Mbak lagi,
dulu di remaja masjid.”
“Ihh, kakak bisa saja,” dengan wajah
tersipu malu.
Disaat suasana rumah dipenuhi dengan rasa suka cita tiba-tiba Mas Lukman datang.
Segera aku ke dapur untuk membuatkan minuman. Kira-kira ada gerangan apa Mas
Lukman kemari, kupikir-pikir semua keperlukan pernikahan sudah disiapkan. Apa
lagi yang mau dibahas. Beribu pertanyaan muncul dibenakku. Mungkin sekadar
mengecek saja apakah ada hal-hal yang kurang atau bagaimana.
Walaupun Mas Lukman sudah resmi mengkhitbahku, tetapi tidak pernah sekalipun
diantara kami terjadi komunikasi baik itu lewat sms atau secara langsung.
Karena ingin menjaga kesucian diri masing-masing sebelum ada ikatan resmi.
Itulah yang membuatku semakin salut dengan sesosok Mas Lukman.
Minuman spesial siap untuk dihidangkan. Melangkahkan kaki menuju ruang tamu.
“Sebelumnya saya minta maaf dengan
sangat kepada bapak dan seluruh keluarga, khususnya pada dik Kiki.”
“Lho
emangnya ada apa ta Mas Lukman kie?”
“Entah saya tidak tahu lagi harus
berbuat apa, saya tidak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Maaf Pak,
sepertinya saya tidak bisa melanjutkan prosesi pernikahan ini.”
Dari balik almari tamu, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
Mas Lukman membatalkan rencana pernikahan ini. Memangnya dengan alasan apa Mas
Lukman tega berucap seperti itu? Dengan hati remuk redam kuberusaha
mendengarkan kelanjutan percakapan antara Papa dan Mas Lukman.
“Apa yang Mas Lukman ucapkan tadi?”
tanya Papa dengan nada sedikit meninggi.
“Beri saya kesempatan untuk
menjelaskan mengapa saya mengambil keputusan yang tentu membuat bapak dan
keluarga kecewa, terutama dik Kiki. Ini semua bukan atas dasar kemauan saya
Pak.”
“Lantas kenapa Mas? Padahal semuanya
sudah dipersiapkan, tinggal satu minggu lagi kalian akan menjadi sepasang
suami-istri. Teganya kamu melakukan hal seperti itu terhadap anak saya,” ujar
Papa dengan luapan emosi yang semakin memuncak.
“Sabar Pa, coba sekarang ceritakan Mas Lukman, apa
yang menjadi alasan Mas Lukman membatalkan pernikahan ini secara sepihak,” ujar
Mama berusaha menenangkan suasana.
“Ada salah seorang anggota keluarga saya yang tidak
setuju kalau saya menikah dengan dik Kiki. Nenek saya masih memegang teguh adat
Jawa yang tidak memperbolehkan anak pertama menikah dengan anak ketiga. Bapak,
Ibu dan saya sudah berusaha untuk memberikan penjelasan dengan berbagai macam
cara. Tetapi nenek tetap saja ngotot dengan pendiriannya. Bahkan beliau
mengancam sampai mau bunuh diri kalau saja pernikahan ini tetap dilanjutkan.
Nenek memang sangat menyayangi saya, mungkin karena saya cucu laki-laki
satu-satunya jadi beliau tidak mau suatu hal yang tidak-tidak menimpa cucu
kesayangannya. Akhirnya kami dengan terpaksa mengambil keputusan ini Pak. Saya
mohon maaf dengan sangat, sekaligus mewakili bapak dan ibu yang tidak bisa
bertandang kemari karena harus menemani nenek yang opname di rumah sakit. Sejak
nenek mengetahui kalau saya ingin menikah dengan dik Kiki kesehatan beliau
langsung drop. Sehingga dengan terpaksa kami menuruti permintaan nenek
agar kesehatan beliau tidak semakin memburuk. Jujur Pak, saya sendiri juga
sangat berat mengambil keputusan ini, karena sudah lama saya menyimpan perasaan
suka terhadap dik Kiki, tinggal selangkah lagi untuk mendampinginya, ternyata
Allah berkehendak lain. Semoga bapak dan keluarga memaafkan saya dan keluarga
saya. Untuk dik Kiki semoga dipertemukan dengan orang yang lebih baik. Kami
belum berjodoh Pak”
Setelah mengutarakan secara panjang lebar, Mas Lukman pun pamit. Kupandangi
dari balik jendela kamar, dengan wajah kecewa dan sedih Mas Lukman pergi.
Apakah Mas Lukman merasakan apa yang aku rasakan? Masuk ke kamar, mengunci diri
dan ingin menangis sejadi-jadinya. Terdengar panggilan Papa dan Mama tidak aku
gubris sama sekali.
Ya Allah, kenapa ini
terjadi padaku? Disaat aku ingin merasakan indahnya pernikahan, ternyata itu
tinggal kenangan. Kulihat mushaf yang tergeletak di atas meja. Kubuka-buka dan
mulai kubaca huruf demi huruf.”Allah lebih mengetahui apa-apa yang terbaik
bagimu”
Biografi
Singkat
Nama Lengkap : Karina Pramitasari
Tempat, tanggal lahir : Pati, 02 April 1991
Alamat
Asal : RT 03 /
RW 06 Pulorejo, Jotangan, Bayat, Klaten
Alamat
di Yogyakarta :
Santan, Maguwoharjo, Sleman,Yogyakarta
No
Tlp/ Hp :
085725302181
Jurusan/ Semester : Pendidikan Matematika / VI
Alamat e-mail :
karinaxii_ipa4_19@yahoo.co.id
Alamat blog/ web :
ka-muslim.blogspot.com
Profesi :
Aktivis mahasiswa
PT :
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Fakultas :
Sains dan Teknologi
[1] Tidak
(dalam bahasa Jawa krama inggil)
[2] Bahasa
Jawa yang tingkatannya paling halus ditujukan kepada orang yang lebih tua
[3] Dengan
(istilah Jawa krama inggil)
[4]
Hati-hati
[5] Ada apa
Pa?
[6] Ada
[7] Apa
[8] Datang
ke sini
[9]
Bagaimana
[10] Rasanya
[11]
Bagaimana ya Kak?
[12] Kalau
Kakak dulu bagaimana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar