Kareen el-Qalamy
Bangsa ini sudah merdeka sejak tahun 1945. Namun, apa yang dimaksud dengan “merdeka”? Apakah kemerdekaan yang telah diraih ini adalah kemerdekaan yang diinginkan dan telah dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia? Atau kemerdekaan ini hanya untuk masyarakat kaum elit saja, yang dengan sekehendak hatinya memperoleh apapun yang mereka mau dengan adanya uang di tangan. Sungguh sangat tidak adil.
Rakyat miskin dengan segala keterbatasannya memenuhi kebutuhan hidup, berjuang menghadapi himpitan kesulitan ekonomi yang semakin mencekik. Mereka berjuang di tengah sempitnya lapangan pekerjaan dan harga kebutuhan pokok yang terus-menerus merangkak naik. Dunia pendidikan yang dikomersialisasikan juga harus dihadapi rakyat kecil.
Mau dibawa kemana bangsa ini jika sebagian besar rakyatnya masih hidup dibawah garis kemiskinan ?
Dengan kondisi tersebut mengakibatkan tidak sedikit dari mereka terpaksa melakukan hal-hal yang istilahnya melanggar hukum. Munculnya kasus-kasus pelanggaran hukum menyebabkan tingkat kriminalitas di Indonesia semakin tinggi. Kalau sudah demikian siapa yang dirugikan? Tentu semua akan menanggung segala resiko yang terjadi.
Melihat keadaan bangsa yang semakin parah ini, apakah masih sempat mencari-cari siapa kambing hitamnya? Sudah seharusnya semua elemen masyarakat instrospeksi diri. Tidak hanya sektor ekonomi saja yang carut marut, tetapi kebobrokan memang sudah melanda di semua segmen kehidupan di negara ini. Lantas, apakah kita hanya berdiam diri sekadar melihat apa-apa yang telah terjadi?
Lihat saja di televisi, tayangan-tayangan yang disajikan hanya sekadar menghibur tidak sekaligus sebagai sarana pendidikan yang mendidik pemirsa setianya. Tidak sedikit pula tayangan yang ada berbau pornografi. Tayangan televisi mengeksploitasi wanita sebagai objek yang dikomersialkan dengan mempertontonkan bentuk tubuh yang seharusnya ditutupi. Dimana tayangan tersebut bisa memancing nafsu kaum laki-laki untuk melakukan hal yang tidak senonoh. Imbasnya yang dirugikan siapa lagi kalau bukan wanita.
Tidak hanya di dunia entertainment saja. Di sektor pemerintahan juga tidak luput dari yang namanya kebobrokan. Lihatlah sikap dan perilaku para anggota dewan yang terhormat. Apakah yang demikian itu dapat dijadikan sebagai keteladanan bagi rakyatnya? Saat masyarakat sangat merindukan karakter pemimpin yang berpihak pada rakyat, mereka sendiri malah asyik mencari-cari kesejahteraan dirinya sendiri. Buktinya mereka giat memperjuangkan aspirasi kenaikan tunjangan anggota dewan, padahal kondisi rakyatnya menyedihkan. Kira-kira hati nurani mereka dikemanakan?
Waktu musim liburan tiba, hanya sedikit masyarakat yang bisa menikmati liburan dengan berkunjung ke tempat atau objek wisata yang ada. Bukan karena tarif yang dikenakan mahal walaupun sebenarnya mahal, tetapi terlebih disebabkan penggunaan kesempatan yang ada. Masyarakat kelas menengah ke bawah, khususnya bagi mereka yang masih duduk di bangku sekolah, menggunakan liburan dengan bekerja membantu orang tuanya untuk menambah penghasilan.
Pemandangan semacam itu banyak terlihat di pingir-pingir jalan, di perempatan atau pertigaan lampu merah. Pasti ada anak-anak kecil yang bergerombol. Ketika lampu merah menyala mereka lantas mendekati para pengguna jalan, berharap agar para pengemudi kendaraan mau berbagi sedikit rezekinya kepada mereka dengan cara mengamen. Bahkan, ada yang langsung to the point meminta uang dengan alasan untuk makan.
Tidak hanya anak kecil yang ada di sana, orang tua jompo juga tidak mau kalah. Dengan berbekal tangan saja, mereka menengadahkan tangan ke setiap pengguna jalan yang berhenti di pinggir jalan. Tidak peduli di segala cuaca. Entah itu di saat hujan yang turun dengan derasnya atau di saat panas terik matahari yang membakar tubuh. Sungguh pemandangan yang sangat miris.
Ironis memang. Sangat berkebalikan 1800 apabila dibandingkan dengan gaya hidup para penguasa negeri ini. Tidak habis pikir sempat-sempatnya para anggota dewan memikirkan kepentingannya sendiri. Apakah mereka sudah lupa bahwasannya terpilihnya mereka menjadi anggota dewan juga berkat suara yang diberikan oleh rakyat? Sungguh tidak tahu terima kasih.
Parahnya lagi, tidak sedikit mereka yang terpilih juga mengobral janji-janji gombal pada saat kampanye. Tidak hanya janji-janji gombal yang mereka lontarkan, namun pembelian suara dengan memberikan sejumlah uang kepada rakyat untuk memilih calon-calon tertentu tampaknya sudah menjadi hal yang lumrah. Bisa dibuktikan, berapa persen anggota dewan yang sudah terpilih lantas menunaikan janji-janji gombalnya saat kampanye dulu? Yang ada, mereka mencari-cari kesempatan bagaimana caranya mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, meningkatkan kesejahteraan pribadi. Bukannya mencari-cari kesempatan bagaimana caranya menyejahterakan rakyatnya. Astaghfirullah
Masih hangat dalam benak masyarakat tentang pembangunan gedung MPR/DPR yang menghabiskan tidak sedikit anggaran negara. Daripada untuk membangun gedung MPR/DPR yang faktanya masih bagus dan sepertinya tidak perlu diadakan pembangunan lagi, lebih baik disalurkan untuk membangun dan merenovasi gedung-gedung sekolah. Apalagi gedung-gedung sekolah yang ada di daerah terpencil kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Tidak sedikit siswa yang rela belajar beratapkan langit karena keadaan gedung sekolah mereka yang benar-benar sudah tidak layak pakai.
Tidak ketinggalan juga mengenai hobi para anggota dewan melancong ke luar ngeri dengan alasan menjalankan tugas dinasnya. Padahal, apa yang dilakukan sebenarnya sangat jauh berbeda dengan apa yang disampaikan. Tidak jauh dari sekadar bersenang-senang dengan menggunakan uang negara. Bahkan, ada aparat pemerintah di tengah-tengah situasi masyarakatnya yang tidak menentu malah pergi keluar negeri. Hal yang sangat menjengkelkan. Bukannya mendampingi rakyatnya untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada, tetapi malah kabur ke luar negeri. Apakah dengan mereka meninggalkan permasalahan yang ada lantas permasalahan tersebut dapat terselesaikan dengan sendirinya? Tentu tidak.
Memang sudah saatnya mengadakan perbaikan melihat kondisi bangsa ini. Alangkah lebih baiknya jika perbaikan yang dilakukan dimulai dari sektor pendidikannya. Pendidikan karakter memang harus lebih digalakkan. Karena dengan pendidikan karakter inilah manusia dibina akhlaknya. Agar nantinya tumbuh generasi-generasi yang tidak hanya pandai di bidang ilmu pengetahuan saja namun juga harus disertai dengan akhlak yang sopan dan baik.
Tidak menutup kemungkinan dengan adanya pendidikan karakter ini, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang selama ini membelit bangsa Indonesia berangsur-angsur menurun kuantitasnya. Dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat segera terealisasi. Karena dana yang terkumpul akan tersalurkan sesuai dengan sasaran yang berhak menerima tanpa adanya kekhawatiran terjadinya praktik KKN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar