Senin, 30 Mei 2011

Perempuanku

Menawan, lembut, perasa, banyak istilah yang senada. Erat kaitannya dengan yang namanya perempuan. Perempuan, salah satu makhluk Allah yang mempesona. Mempesona bagi siapapun yang melihatnya. Bahkan alangkah beruntungnya bagi siapa saja yang bisa memilikinya. Apalagi memiliki perempuan yang tidak sekadar perempuan. Namun memiliki seorang bidadari dunia. Siapa lagi kalau bukan perempuan sholehah yang patut menyandang gelar tersebut.
Sama halnya apa yang sedang aku rasakan sekarang ini. Mendambakan seorang bidadari dunia hadir di tengah-tengah kehidupanku. Mengenai kapan saat-saat seperti itu akan menghampiriku, aku pun tidak tahu. Biarlah waktu yang akan menjawab.
“Anton, pagi-pagi kok sudah melamun seperti itu?,”sapa Ibuku sambil menepuk pundakku dari belakang. Heran, rupanya ibu sudah mengamatikuku sedari tadi. “ngelamunin apa atau ngelamunin siapa?,”goda ibu.
“Ah nggak kok Bu, Ibu ini bisa saja. Anton cuma melihat pemandangan desa ini yang masih asri”,jawabku. Maklum sudah kurang lebih empat tahun diperantauan menuntut ilmu, menempuh studi menyelesaikan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Baru dua hari yang lalu, pulang ke kampung halaman di salah satu desa terpencil di Jawa Tengah.
“Sarapan dulu sana, Ibu sudah membuatkan makanan kesukaanmu lho…,nggak kangen sama masakan Ibu?,”
“Ibu ini lho ada-ada saja, mana mungkin Anton tidak kangen sama masakan Ibu yang menggoda selera. Sampai-sampai menunggu waktu empat tahun untuk bisa merasakannya lagi,”mengamati ibu yang semakin menjauh dari tempat dudukku.
Ibu, semakin lama wajahmu mulai adanya tanda-tanda keriput. Itu menandakan dirimu semakin lama semakin tua dimakan usia. Walaupun begitu, justru semakin menambah rasa sayangku padamu. Karena di usiamu yang semakin lanjut tidak mengurangi curahan dan limpahan kasih sayangmu kepada keluarga terlebih kepada anak-anakmu. Apalagi setelah sepeninggal ayah, mau tidak mau ibu harus menggantikan peran sebagai seorang ayah Alhamdulillah, terima kasih ya Allah Engkau telah mengkaruniakanku seorang ibu yang sungguh sholehah. Aku berharap ke depannya yang pantas untuk menjadi ibu bagi anak-anakku adalah sesosok perempuan sholehah seperti ibu. Amin…
“Kamu kan sudah selesai kuliah, pekerjaan mapan juga sudah kamu peroleh, tunggu apa lagi Anton?,”secara tiba-tiba ibu melontarkan sebuah pertanyaan yang mengejutkanku.
Entah pura-pura tidak paham atau ingin mengelak memberikan jawaban,”Tunggu apa lagi, maksud Ibu?”,
“Anton-anton, kamu itu, seharusnya paham apa yang Ibu bicarakan. Tentang calon pendamping hidup, atau diam-diam kamu sudah punya tetapi belum memberitahukan kepada Ibu, ayolah kasih tahu Ibu,”
“Calon pendamping hidup???, Apa yang Anton katakan setelah ini benar Bu. Anton belum punya calon sama sekali. Walaupun di Yogya dulu punya banyak teman perempuan,”jelasku.
“Apa perlu Ibu turun tangan membantumu untuk mencarikannya?,”ibu memberi tawaran.
“Boleh-boleh, buat Anton tidaklah masalah asal Ibu cocok, tetapi satu syarat yang Anton ajukan.”
“Pake syarat-syarat segala, ya udah apa?.”
“Carikan calon istri yang seperti Ibu,”godaku sembari berlalu meninggalkan meja makan menuju kamar. Tak lupa seyuman lebar kutujukan kepada ibu yang masih duduk manis di ruang makan.
“Eh…mau ke mana?Belum sempat makan kok malah pergi,”gerutu ibu.
√ √ √

Keesokan harinya…
“Ibu, sini deh…lihat foto ini…,”kutunjukkan sebuah foto kepada ibu. Foto bebarengan dengan teman-teman LDK dulu. Sambil menunjuk ke salah seorang teman akhwat.
“Foto siapa ini Anton?,”tanya ibu heran.
“Ini foto teman-teman kuliah Anton dulu Bu, coba Ibu perhatikan perempuan yang memakai jilbab biru ini.”
Sambil mengamati salah seorang perempuan yang berada di foto tersebut,”Siapa ini namanya?Cantik dan anggun sekali. Anak mana itu?,”tanya ibu penuh selidik.
“Dia dari Jawa Barat Bu, tidak satu kelas dengan Anton, hanya saja satu organisasi.”
“Sepertinya anak laki-laki kesayangan Ibu ini mau memperkenalkan orang yang ada di foto ini, ya sudah Ibu tunggu lho..,”berdiri beranjak meninggalkanku.
Annisa, itulah nama panggilannya. Nama panjangnya aku lupa. Dia dulu adalah salah seorang stafku di divisi pengkaderan LDK. Entah dimana dia sekarang, setelah wisuda bersamaan denganku. Seandainya Allah masih memberikanku kesempatan untuk bisa bertemu, aku akan memberanikan diri untuk mengkhitbahnya. Karena bagiku dia sesosok perempuan sholehah, nampak beda di depan mataku dibandingkan dengan akhwat yang lain.
Saat-saat satu kepengurusan dengannya entah kenapa ada perasaan yang lain dari pada yang lain. Perasaan itu tidak muncul ketika aku berinteraksi dengan akhwat lain. Awalnya aku tidak terlalu merasakan. Namun semakin lama getaran itu semakin terasa. Berusaha sekuat tenaga kutepis perasaan itu. Seiring berjalannya waktu, pergantian pengurus pun tiba. Semenjak itu pula perasaan itu menghilang. Mungkin karena sudah tidak pernah berinteraksi. Memang benar, witing tresna jalaran saka kulina. Pepatah Jawa yang sangat popular di kalangan anak muda.
Ah…sudahlah…masa lalu penuh dengan kenangan indah. Terutama ketika mengingat sepak terjang perjuangan teman-teman LDK menyusuri jalan dakwah ini. Sekarang aku sudah kembali ke tanah kelahiranku, mau tidak mau harus kulanjutkan estafet dakwah ini. Jangan hanya karena selesai kuliah yang nota bene keluar dari lingkungan yang kondusif untuk berdakwah, menghentikan begitu saja aktivitas dakwahnya. Justru harus ditingkatkan semangatnya.

Pagi-pagi sekali menuju tempat dimana aku mengais rezeki. Warnet yang berada di seberang jalan, alhamdulillah memang menjadi hak milikku. Karena aku yang mendirikan usaha warnet tersebut. Ditanya mengapa alasannya memilih usaha warnet, soalnya sudah sangat sesuai dengan jurusan dan minatku, teknik informatika. Walaupun baru buka satu minggu tetapi pengunjung yang datang lumayan banyak. Ditambah lagi di desaku masih sangat jarang atau malah belum ada fasilitas-fasilitas mewah seperti halnya warnet. Jadi sekaligus memanfaatkan peluang yang ada.
“Assalamu’alaikum, Den, gimana kabarnya pagi ini?,”sapaku kepada karyawan warnet.
“Wa’alaikumussalam Mas, alhamdulillah baik.”
“Bagus, tetap semangat ya…!!!,”
Karyawan warnetku namanya Deny. Aku baru membutuhkan satu orang karyawan yang bersedia untuk bersama-sama denganku membangun warnet ini. Dia seorang laki-laki yang hanif taat beribadah. Mempunyai semangat yang luar biasa untuk bekerja. Cerdas, terampil dan rajin. Namun sayang dia hanya bisa mencicipi bangku sekolah sebatas SMP saja. Orang tuanya boleh dibilang kurang mampu untuk membiayai sekolah Deny.
Tiba-tiba keluar seorang akhwat dari salah satu ruang warnet. Kuamati sejenak. Sepertinya aku kenal. Setelah mendekat ke meja kasir.
“Berapa Mas?,”tanyanya to the point. Nampaknya terburu-buru. Masih dalam pandangan mata yang menunduk..
“Tiga ribu Mbak,”Deny sambil menerima uang dari akhwat tersebut. Tidak sengaja pandangan mata kami pun bertemu, buru-buru kita saling mengalihkan pandangan dan….
Seperti ada mata anak panah yang menusuk jantungku. Seketika itu pula anganku langsung tertuju kepada sesosok teman akhwat LDK dulu, Annisa’. Segera kusapa dia.
“Ukh An…nisa’?,”tanyaku terbata-bata.
“Akh Anton?,”disertai ekspresi terkejut.
“Kok di sini?Alhamdulillah kita masih dipertemukan,”perasaan grogi menjalar di sekujur tubuhku.
“Iya, saya dapat surat keputusan penempatan pegawai negeri di sini, afwan saya pamit dulu, assalamu’alaikum,”sambil membuka pintu warnet.
“Wa’alaikumusssalam…,”penempatan pegawai negeri?Langsung teringat bahwasannya Annisa dulu mengambil jurusan pendidikan matematika. Berarti sudah diterima jadi PNS, cepat sekali??.
“Mas Anton sudah sarapan?,”Deny menyadarkanku dari lamunan.
“Oh…iya, silakan Deny.”
“Mas kenal dengan Mbaknya tadi?,”tanyanya.
“Iya, dia dulu teman kuliahku saat masih di Yogya,”jelasku.
“Mbaknya itu tadi sering berkunjung ke warnet ini lho….tetapi baru kali ini Mas Anton bertemu dengan dia.”
“Iyakah..??Maklum kalau baru bisa bertemu sekarang, saya kan jarang ke sini pagi. Biasanya siang-siangan. Ya sudah, lanjutin kerjaannya,”keluar dari warnet.
Berjalan melangkahkan kaki menyusuri jalan desa. Masih dalam rasa penasaran. Kira-kira ukh Annisa tinggal di mana?sudahkah dia memiliki pendamping hidup?Ah…astaghfirullah…sedang memikirkan apa aku ini. Ketika sampai di halaman depan rumah. Ada tamu rupanya, tetapi siapa?
“Assalamu’alaikum…,”sambil mencium tangan Ibu.
“Wa’alaikumussalam…Anton, perkenalkan ini Annisa’,”langsung Ibu memperkenalkan tamu yang mungkin sudah sedari tadi berkunjung.
“Subhanallah…kita dipertemukan lagi,”secara spontan kuberkomentar. Senyuman kecil dia tujukan ke arahku lantas kembali dengan pandangan mata tertunduk.
“Jadi kalian sudah pernah bertemu?,”tanya ibu terheran-heran.
“Iya Bu, kita dulu sama-sama teman kuliah,”jelasku. Tidak enak rasanya jika tiba ikut nimbrung pembicaraan mereka. Langsung saja aku pamit untuk masuk ke dalam.
Kira-kira ada maksud apa Ukh Annisa berkunjung ke rumah dan bertemu dengan ibu. Tidak hanya itu, beribu pertanyaan bercokol di pikiranku. Kuletakkan tas yang sedari tadi ku bawa di dalam kamar. Remote control yang terletak tidak jauh dari posisiku berdiri segera kuraih, kupencet tombol on. Secara otomatis televise menyala.
Tengah asyik menonton televise, tidak diduga ibu sudah berdiri di belakangku lantas menemaniku dengan duduk di sampingku. Perhatianku pun beralih dengan kedatangan ibu.
“Ibu, Annisa tadi ada perlu apa?Kok ke sini?,”
“Emang kenapa?Gak boleh?,”jawab Ibu sewot.
“Ih..Ibu ini, Anton serius Ibu..Asal Ibu tahu saja, Annisa adalah perempuan yang pernah kutunjukkan ke Ibu lewat foto itu,”jelasku.
“Masak???Kok sepertinya beda,”ibu masih belum percaya.
“Ya, pantes kalau dibilang beda. Lha wong sudah dua tahun sejak foto itu diambil. Lagian pengambilan foto itu juga dari jarak jauh.”
“Annisa nanti akan membantu Ibu untuk mengajar di SMA.”Ibu selain sebagai ibu rumah tangga juga diberi kepercayaan untuk memimpin SMA N 1 Pulorejo menjadi seorang kepala sekolah.
“O…begitu.”
“Berarti semakin mudah kan, kalau kamu ingin melamar dia, Ibu bisa menjadi perantaranya.”
“Wah…Ibu ini tahu aja keinginnan anaknya. Dengan senang hati Bu.’’senyum terkembang setelah ibu berkata seperti it., menandakan bahwasannya ibu setuju dengan pilihanku.
√ √ √

Selang beberapa bulan, ibu akhirnya meminta Ukh Annisa untuk menjadi istriku. Tidak perlu membutuhkan waktu lama, hanya berkisar tiga hari. Dia langsung memberikan jawaban dan alhamdulillah Annisa mau menerima pinangan ibu. Hari-H pernikahan langsung ditentukan. Tinggal dua minggu lagi aku akan memiliki seorang istri. Hal ini belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Segala persiapan telah disusun secara matang. Mulai dari pembuatan busana pengantin, menu yang akan disajikan pada saat resepsi, juga tempat.
“Bu, Anton pergi dulu ya…,”pamitku.
“Lho mau kemana?, Di rumah saja, bantu-bantu Ibu untuk persiapan pernikahanmu,”dengan nada berat hati untuk mengizinkanku pergi.
“Mau mengantar undangan ke salah seorang teman, tidak jauh kok dan cuma sebentar saja.”Jelasku sambil menenangkan Ibu.
Kupacu kecepatan mobilku. Tidak terasa sudah berkisar 100 km/jam. Jalanan yang sepi menambah mobilku berpacu semakin kencang. Sampai di jalanan yang menurun, tiba-tiba….kaget disertai panik ketika menginjak rem mobil ternyata tidak berfungsi. Dan……ah…seketika itu juga pandangan menjadi gelap. Hanya terasa tubuh ini seperti dibanting-banting saja. Setelah itu tidak tahu apa yang terjadi.
“Anton….!!!Sadar nak….,Ibu ada di sini bersamamu,”tangis ibu ketika mendengar bahwa anaknya terbaring koma di rumah sakit. Sudah hampir tiga hari aku tidak sadarkan diri. Secara perlahan aku dapat membuka mataku. Ada banyak orang yang sedang menjengukku. Salah satunya adalah calon istriku, Annisa. Dia nampak begitu sedih melihatku dalam keadaan seperti ini. Sepertinya dia ingin mendekat dan aku pun ingin memegang tangannya. Tapi belum bisa, karena belum adanya ikatan sah antara kita.
Dia hanya memberikan senyuman sambil meneteskan air mata. Bagiku senyumannya sangatlah berarti untuk motivasi agar diri ini segera sembuh dan melaksanakan akad pernikahan. Ya Allah kuatkan diri ini. Dokter yang merawatku member isyarat kepada ibu untuk memberitahukan kondisiku sekarang. Kulihat ibu membuntuti dokter itu ditemani oleh Annisa.
Tidak lama ibu masuk kembali, sembari mendekat ke arahku. “Segera sembuh ya nak,”bisik ibu. Tidak sadar ternyata kedua kakiku tidak ada. Secara refleks diriku pun menjerit, belum bisa menerima kenyataan bahwasannya kakiku luka sangat parah sehingga harus diamputasi. Dengan segera ibu menenangkanku dengan belaian lembut tangannya.
Tiga minggu berlalu, pesta pernikahan yang seharusnya sudah terlaksana akhirnya diundur. Aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Pertemuan antara dua keluarga diadakan. Memberikan kepastian akan tetap berlangsung atau tidaknya pernikahanku dengan Annisa.
“Melihat kondisi saya seperti sekarang ini, cacat tidak punya kaki, saya member kebebasan kepada ukh Annisa untuk menentukan pilihan. Tetap lanjut atau membatalkannya.”
Lama, dia memberikan jawaban. Suasana pun hening sejenak. “Dengan mengucap lafadz basmallah, saya memilih untuk tetap melanjutkannya.”
Seperti tidak percaya, apakah aku hanya mimpi di siang bolong. Tidak tahu, yang jelas dia memberikan jawaban yang tidak disangka-sangka. Sungguh perempuan sholehah, qanaah. Kalau dia perempuan biasa, pastinya sudah membatalkannya. Penentuan hari-H sudah ditetapkan. Ingin rasanya diri ini segera menjumpainya.
Hanya berselang tiga hari sejak pertemuan dua keluarga. Itu pun sebatas akad nikahnya saja. Sedangkan resepsinya ditunda dulu. Semoga kali ini berjalan lancar sesuai dengan keinginan kita berdua. Walaupun hanya tiga hari, tetapi menunggu rasanya seperti satu tahun saja.
Akhirnya saat yang dinanti-nanti tibalah juga…Akad telah terucap, suasana khidmat menyeruak di penjuru ruangan. Memang resepsi dilakukan di rumah mempelai perempuan. Diri ini dapat berjalan ke sana ke mari tidak terlepas dari bantuan kursi roda. Segera kuhampiri Annisa yang sekarang sudah resmi menjadi istriku. Dia pun menyambutku dengan raut wajah penuh kegembiraan. Selesai sudah akad nikah, sepi karena para tamu undangan sudah meninggalkan ruangan. Tinggal kita berdua, ibu dan orang tua Annisa juga keluar. Entah ada hal yang harus diselesaikan.
Rasa canggung dan grogi kembali hadir. Sama halnya Annisa yang masih nampak malu-malu untuk menatapku.
“Kita ke kamar yuk…,”ajakku.
Tidak ada jawaban, hanya sekadar anggukan. Itu cukup buatku karena sebagai tanda bahwasannya dia setuju. Dia langsung berlajan di belakangku dengan mendorong kursi roda menuju kamar yang memang sudah khusus dirancang sebagai kamar pengantin.
Sesampainya di dalam….bingung mau ngomong apa. Kami pun saling diam. Sepertinya belum menemukan pokok pembicaraan yang pas. Aku mencoba untuk mengawalinya.
“Dik, aku ingin tahu alasanmu. Kenapa kamu tetap menerimaku dengan kondisi seperti ini?,”sebuah pertanyaan terlontar sebagai pembukaan.
“Mas ingin tahu jawabannya? Karena Nisa melihat adanya ladang amal yang sangat menjanjikan di sana. Walaupun kondisi fisik Mas sudah tidak sempurna, tetapi kondisi ruhiyah dan fikriyah Mas masih terjaga. Nisa menganggap bahwasannya kesempatan Nisa untuk berbakti kepada suami semakin terbuka lebar. Mas tahu kan bahwasannya istri yang berbakti dan taat kepada suami akan dijanjikan surga oleh Allah. Oleh sebab itu Nisa tidak mau menyia-nyiakan kesmpatan ini untuk mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang Nisa kepada Mas, salah satunya dengan merawat Mas tentunya,”jawaban yang diberikan sangatlah mulia.
Tidak terasa air mataku pun meleleh setelah mendengar paparan dari istriku. Serta merta dia mengusap air mataku dengan jari jemarinya. “Mas, percayalah…Nisa akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Mas, jangan menghiraukan kondisi Mas yang seperti ini. Karena itu tidak sedikitpun mengurangi rasa cintaku terhadap Mas.”
“Anton, Nisa’kalian ini betah bangaet di dalam kamarnya, nanti malam dilanjutkan lagi, sekarang makan dulu yuk…,”terdengar suara ibu dari luar kamar.
“Baik Bu,”Annisa membuka pintu dan menemui ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar.
Ya Allah…kenikmatan apa lagi yang aku dustakan. Setelah engkau karuniakanku seorang bidadari dunia. Sungguh bahagianya diri ini. Aku akan berusaha untuk menjaganya. Ya, menjaga permataku agar tidak pudar kilauan cahayanya.
Betapa beruntungnya mereka-mereka, para perempuan khususnya perempuan sholihah. Allah memberikan kemudahan agar bisa meraih jannah-Nya. Dengan cara berbakti dan taat kepada suami. Pahalanya setara dengan jihadnya kaum adam di medan pertempuran. Maka syukurilah kenikmatan berupa kemudahan itu dengan menggunakannya sebaik-baik mungkin. Jangan sampai malah disia-siakan. Karena dengan meraih keridhoan suami, maka jalan menuju surga akan semakin terbuka lebar. Percayalah…..!!

Created by Kareen
30 Mei 2011

2 komentar:

  1. Bagus bagus bagus...

    tapi agak serem dik dibagian akhirnya...

    BalasHapus
  2. Serem gmn? D bag.manany?
    Ad masukkn lg?Saran ato kritik?

    BalasHapus