Presented by Kareen el-Qalamy
Mencoba
flashback ke tahun 2010 silam. Tahun
pertamaku menimba ilmu di salah satu kampus di Yogya. Sangat senang diri ini
bisa menginjakkan kaki di Kota Pelajar itu. Kota yang penuh dengan kenangan,
baik suka maupun duka. Kota yang penuh dengan perjuangan akan dakwah, cita dan
asa. Sekalugus pengalaman pertamaku jauh dari orang tua demi menimba ilmu dan
melukiskan senyuman indah di bibir ayah ibu ketika melihat kesuksesanku nanti.
Pengalaman pertama sebagai anak kos,
banyak sekali hal baru yang kutemui. Kos pertamaku bernama kos Fathiyyah.
Dimana penghuninya adalah para muslimah yang juga sedang menyelesaikan studinya
di kampus yang sama. Aku bisa kos di Fathiyyah karena tawaran dari salah
seorang tetanggaku. Fathiyyah yang menawarkan suasana religi, setiap memasuki
waktu sholat kami menjalani ibadah dengan berjamaah.
Khusus
pada waktu sholat Maghrib, setelah jamaah usai ditunaikan teman-teman belum
beranjak pergi dari ruang yang kami jadikan sebagai mushola. Kami kumpul
sejenak sampai masuknya waktu sholat Isya’untuk mengadakan kultum. Salah
seorang secara bergilir menyampaikan sedikit tausiyahnya kepada teman-teman
yang lain.
Lambat-laun
keakraban pun terjalin antar penghuni kos. Aku merasa sangat bersyukur bisa
berada di lingkungan kos Islami. Karena dunia kos memang rawan, terutama bagi
anak perempuan. Sedikit saja salah pergaulan bisa berbahaya. Begitulah yang
kurasakan, apalagi setelah aku tahu bahwa kos-kosan muslimah masih sangatlah
sedikit.
Di
Fathiyyah aku satu kamar dengan mbak-mbak semester atas. Saat itu aku semester
satu dan mbak yang sekamar denganku semester lima. Aku memanggilnya mbak Akrim.
Mbak Akrim berasal dari Jakarta. Orangnya ramah, baik dan suka akan kerapian.
Beliau saat itu sudah mulai mengerjakan skripsi juga. Beliau selalu ada ketika
aku membutuhkan. Enak diajak obrol sebagai teman curhat.
Tetangga
kamarku bernama mbak Juarni. Aku biasa memanggilnya mbak Ju. Aku sangat
terkesan dengan beliau ketika beliau berkata-kata, sangat puitis sekali. Tak
jarang mbak Ju selalu memberiku nasihat dan kata-kata motivasi agar aku bisa
terus bersemangat. Walaupun aku memanggilnya mbak, tetapi beliau seangkatan
denganku, sama-sama semester satu. Aku memanggilnya mbak karena ternyata tahun
kelahirannya dua tahun di atasku.
Suatu
hari di kamar mbak Ju....
“Mbak
Ju....lagi apa? Kayaknya kok asyik banget?,”mbak Ju kulihat tengah asyik di
depan Laptop.
“Lagi
nulis Mita...,”jawabnya.
“Nulis
apa mbak?,”tanyaku penasaran.
“Nulis
puisi...,”jari-jarinya sambil menari di atas keyboard.
“Wah...suka
nulis ya mbak Ju?,”tanyaku lebih lanjut sambil ikut-ikutan di depan Laptop
bersama mbak Ju.
“Alhamdulillah Mita, sebagai media
curhat, makanya kubuat puisi saja, lebih aman. Kalau curhat ke orang, belum
tentu dapat dipercaya,”jelasnya.
“Iya
ya mbak, betul juga,”sambil memikirkan apa yang dikatakan mbak Ju.
“Mita
suka nulis gak?,”mbak Ju tanya balik.
“Aku
belum pernah nulis mbak,”jawabku malu.
“Dicoba
aja Mita, nulis apa gitu, sembarang...,”mbak Ju memberiku saran untuk mencoba
menulis.”Nanti aku komentari deh.”
“Mbak
mau ngomentari tulisanku? Wah...jadi gak PD nih mbak..tulisanku jelek, gak
sebagus tulisan mbak Ju,”jawabku minder sekaligus beralasan.
“Gak
apa-apa Mita, namanya juga latihan, lama-lama pasti terbiasa,”mbak Ju berusaha
membujukku lagi.
“OK
deh mbak, akan kucoba,”jawabku sambil melempar senyum kepada mbak Ju.
“Nah...gitu
donk..., semangat menulis...,”kulihat kedua bola mata mbak Ju berbinar ketika
aku mau menuruti ajakannya untuk berlatih menulis.
Akupun langsung beranjak keluar dari
kamar mbak Ju untuk melanjutkan aktivitasku mencuci baju. Kebetulan hari ini
jam kuliahku mulai setelah Dhuhur. Jadi kusempatkan untuk mencuci baju terlebih
dahulu sebelum kutinggal kuliah. Sedangkan mbak Ju baru saja pulang dari kampus
karena pagi-pagi sekali mbak Ju sudah berangkat dan ada jam kosong di
tengah-tengah.
Alhamdulillah
jarak kos dengan kampus lumayan dekat. Cukup dengan berjalan kaki saja tidak
memakan waktu sampai 15 menit sudah sampai. Semester satu aku sudah
diperbolehkan untuk membawa motor ke Yogya. Ketika ke kampus cukup dengan jalan
kaki, motor kutinggal di kos.
@ @ @
Sebagai seorang mahasiswa, aku tidak
ingin hanya sebatas kuliah saja menimba ilmu akademik. Ternyata di kampus
terdapat banyak sekali UKM dan organisasi eksternal kampus. Selain menimba ilmu
akademik, ingin sekali rasanya aku ikut salah satu organisasi eksternal kampus.
Aku memilih organisasi eksternal kampus karena aku ingin mengembangkan
kemampuan softskill. Mbak Akrim
pernah memberiku saran, bahwasannya kelak di dunia kerja tidak hanya kemampuan akademik
saja yang dibutuhkan, tetapi juga kemampuan softskill.
Lantas akupun menjatuhkan pilihan ke
salah satu organisasi eksternal kampus bernama KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia). Walaupun ada kata “Aksi”nya, ternyata KAMMI tidak melulu
hanya aksi semata. Alhamdulillah kegiatannya
sangat variatif. Beberapa bulan aku bergabung, KAMMI akan menyelenggarakan moment milad. Untuk menyambut milad
KAMMI, banyak sekali agenda yang diselenggarakan. Salah satunya yaitu
mengadakan lomba kepenulisan. Akupun tertarik untuk mengikutinya.
Salah satu lomba kepenulisan yang
diadakan yaitu lomba menulis cerpen anak. Lantas akupun sangat bersemangat
untuk ikut memeriahkan lomba tersebut. Di keheningan malam di saat kebanyakan
penghuni kos sudah terlelap di kamarnya masing-masing, aku mencoba untuk
mencari inspirasi sambil duduk di depan Laptop. Saat itu pintu kamarku masih
terbuka di saat semua kamar sudah tertutup rapat. Agar masih ada sirkulasi
udara segar yang masuk dan mengurangi rasa gerah di saat memerlukan ide untuk kutuangkan ke dalam
tulisanku.
“Aku
mau nulis apa ya? Cerita anak...,”gumamku di samping mbak Akrim yang sudah
tertidur pulas. Tidak mau mengganggu rehat beliau, aku berusaha untuk bersikap
tenang.
Tiba-tiba terdengar suara pintu
terbuka. setelah kulihat ternyata....
“Mbak
Ju....belum tidur?,”tanyaku heran.
“Belum
Mit, aku kebiasaan gak bisa cepat tidur, kadang semalaman gak bisa tidur. Kamu
ngapain belum tidur juga?,”tanya beliau sambil melihat ke dalam kamarku.
“He..he...lagi
nyari ide buat nulis mbak,”jawabku sambil tersenyum malu.
“Siip-siiip...semangat
ya...mbak Akrim sudah tidur ya?,”sambil melihat ke arah mbak Akrim.
“Sudah
dari tadi mbak, beliau kan yang paling cepat tidurnya, he..he..,”
“Temanya
tentang apa nulisnya?,”tanya beliau lagi.
“Gini
mbak, aku mau ikutan lomba nulis cerpen, temanya cerpen anak mbak,”jelasku.
“Wuih...bagus
donk...yang ngadain dari mana?,”tanya beliau penasaran.
“Yang
ngadain KAMMI mbak, karena menyambut milad KAMMI minggu depan,”jelasku lagi.
“Siip...
kalau cerpen anak alurnya dibuat sederhana saja, yang penting mudah dipahami
oleh anak-anak. Bahasanya juga dibuat simpel, jangan berbelit-belit,”mbak Ju
memberiku saran untuk tulisan yang akan kubuat.
“O....begitu
ya mbak...makasih ya mbak Ju,”mataku sampai berbinar mendengar apa yang
disampaikan mbak Ju.
“Sama-sama
Mita, sukses ya, aku mau ke belakang dulu, biasa mau buat kopi,”sambil berlalu.
“Jangan
terlalu sering ngopi lho mbak, gak baik buat kesehatan,”teriakku pelan, karena
tidak mau mengganggu yang lain.
“Tenang
saja Mita,”sahut mbak Ju terdengar pelan.
@ @ @
H-3 dari deadline lomba kepenulisan
cerpen anak. Sudah ada ide, tinggal menuangkan ke bentuk tulisan saja.
Bersamaan dengan jadwal UAS, aku harus bisa membagi waktu dengan baik antara
menulis dengan belajar. Besok pagi jadwal
ujiannya Aljabar Linear, aku harus
mempersiapkan sebaik mungkin, gumamku sembari jalan menuju kos dari kampus.
“Assalamu’alaykum,”ucapan salamku tidak
ada yang menjawab, sepertinya sepi. Kubuka pintu kamar. Ternyata....
“Eh....dik
Mit...kenalin, ni mbak Anita, teman mbak,”mbak Akrim sambil memperkenalkan
temannya.
“Anita,
mbak pinjam kamarnya dulu ya dik..,”sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Mita,
o....iya mbak, silakan, ngerjain tugas ya mbak?,”tanyaku sambil membalas uluran
tangan mbak Anita.
“Iya
nih dik, mbak satu kelompok dengan mbak Anita,”sahut mbak Akrim.
“Dik
Mit dah makan belum?,”tanya mbak Akrim.
“Belum
mbak, ni baru mau makan, tadi sekalian mampir beli sayur,”jawabku.
“Itu
mbak masih ada sayur, dimakan aja dik,”mbak Akrim menawariku.
“Tenang
aja mbak, pokoknya semua makanan yang ada di sini pasti habis,he..he..”jawabku
sambil ketawa.
Kebiasaan anak kos, makan pasti
beli. Untuk penghuni Fathiyyah menerapkan aturan khusus untuk nasi kita masak
sendiri sesuai jadwal. Kebetulan ada magic
com, jadi sayurnya tinggal beli sendiri-sendiri sesuai selera dan lenih
hemat daripada beli nasi. Aku termasuk orang yang ngirit dalam hal makan. Cukup dengan menu sederhana. Sehari tidak
lebih dari lima ribu sudah cukup untuk makan sehari. Di kampus pun aku tidak
pernah jajan. Bawa air mineral yang kuambil dari air galon kos sudah cukup
bagiku. Di Fathiyyah ada dua galon yang membelinya secara bergilir. Tinggal SMS ke Mas galonnya, nanti langsung
diantar.
Setelah makan, bergegas aku langsung
ke ruang mushola untuk beristirahat sejenak merebahkan tubuhku karena terlalu
capek. Lebih tepatnya capek pikiran setelah mengerjakan UAS hari pertama. Semoga saja jawabanku tadi benar,”batinku.
Lama-lama mata ini pun secara perlahan menutup.
Allahu
akbar, allahu akbar.... Adzan Dhuhur pun berkumandang.
“Dik
Mit, bangun yuk...kita jamaah Dhuhur,”panggil mbak Akrim sambil menepuk-nepuk
pundakku.
Dengan
sekali panggilan, aku langsung terbangun. Memang, tidaklah sulit untuk
membangunkanku, cukup dengan sekali panggilan saja.” Iya mbak,”jawabku sambil
berdiri untuk langsung mengambil air wudhu.
Jamaah sholat Dhuhur kita tunaikan.
Cukup tiga orang saja, maklum khusus untuk sholat Dhuhur dan Asar teman-teman
kebanyakan masih beraktivitas di luar. Setelah selesai...
“Mbak
gak ada jadwal ujian?,”tanyaku kepada mbak Akrim.
“Enggak
dik, cuma ngumpul tugas kelompok doank. Nanti mbak tinggal sendirian di kos gak
apa-apa kan?,” tanya mbak Akrim, seperti mengkhawatirkan adiknya saja.
“Berani
donk mbak, siang-siang gini memangnya ada apa sih, he..he.. oya, mbak Anita
asli mana?,” sambil melihat ke arahh mbak Anita.
“Asli
Bali dik,”jawabnya.
“Wah...saya
dah pernah ke Bali lho mbak, saat piknik SMA,”melihat ke arah mbak Anita dengan
pandangan kaget.
“Kapan-kapan
ke sana lagi dik, terus mampir ke rumah mbak,”ujar mbak Anita lagi sembari
melangkah pergi bersama mbak Akrim meninggalkanku di ruang mushola.
Sambil membereskan barang-barangku
yang kubawa di mushola, terdengar ucapan salam. “Dik Mit, berangkat dulu ya, assalamu’alaykum,” suara mbak Akrim
karena berangkat ke kampus. “Wa’alaykumussalam,”balasku.
Memang sudah menjadi kebiasaan bagi setiap penghuni Fathiyyah untuk selalu
mengucapkan salam baik itu keluar dan masuk kos. Selain untuk membiasakan
perilaku Islami bagi setiap penghuninya, juga untuk keamanan atau sebagai tanda
kalau adda orang yang masuk atau keluar. Karena dulu pernah terjadi kasus
pencurian yang dialami oleh penghuni terdahulu.
Mau ngapain ya? Sendirian, gak ada
yang diajak ngobrol,”gumamku. Nah...aku punya ide...,”di dalam kamar sambil mengeluarkan laptop
yang kutaruh di dalam lemari. Aku jarang sekali membawa laptop ke kampus. Hanya
kalau dibutuhkan saja.
Laptop pun kunyalakan. Aku menulis saja, belajarnya setelah
menulisÃ, pikirku. Aku harus menyelesaikan deadline cerpen anakku
secepatnya, biar segera dikumpulkan dan tidak ada tanggungan lain selain
belajar. Alhamdulillah sudah dapat
tiga halaman. Batasan minimal delapan halaman. Akhirnya aku melanjutkan menulis
cerpen anak.
Baru kali ini aku menulis cerpen
anak. Itu pun sebagai awal dari hobiku nanti yaitu menulis. Pernah teringat
celoteh salah seorang teman saat SMA. “Mit, kowe
nek dikon ngarang mesti dlidir,”seloroh Putri, teman sebangkuku di SMA
dulu. Waktu itu kami diberi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk mengarang
sebuah cerita. Baru beberapa menit aku sudah mendapatkan lima baris lebih,
sedangkan Putri masih bingung mau menulis apa. Saat itu aku belum menyadari
bahwasannya aku mempunyai bakat menulis fiksi yang belum pernah tersalurkan.
Hal tersebut baru kusadari ketika
aku mengawali hobi menulisku dengan mengikuti lomba menulis cerpen anak ini.
Bahkan aku betah duduk berjam-jam di depan laptop demi menuangkan segala ide
yang bermunculan di kepalaku. Seolah-olah ikut larut dalam alur yang kubuat.
“Assalamu’alaykum,”suara salam terdengar.
“Wa’alaykumussalam,”sambil
menengok ke luar ruangan.
“Kok
sepi amat ya?,”suara yang tidak asing lagi di telingaku.
“Eh....mbak
Ju, baru pulang mbak? Iya mbak, sepi. Lha
wong yang di kos Cuma aku sendiri,”balasku.
“O...Pantes...sedang
apa kamu Mit? Kayaknya asyik banget,” tanya mbak Ju penasaran sambil meletakkan
tas dan mengambil piring.
“Lagi
ngetik mbak,”jawabku enteng.
“Nulis
apa?,”tanya mbak Ju penasaran.
“Nulis
cerpen yangg buat lomba besok mbak, tinggal dua hari lagi je,”tambahku.
“Wah..sipp...semangat
sekali... kalau sudah jadi aku baca ya, sekalian aku komentari,”
“Siap
mbak, kalau jelek jangan diketawain ya mbak,he..he..,”pintaku sambil tertawa.
“Tenang...beres
pokoknya,”mbak Ju sambil asyik melahap makanan yang baru saja dibelinya.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan
pukul tiga sore. Kurang lebih tiga jam sudah aku duduk di depan laptop sambil
jari-jariku menari di atasnya. Akupun mematikan laptop tanpa lupa untuk mnge-save tulisan yang baru saja kubuat.
Terkadang aku ingin mengistirahatkan mataku, kasihan kalau terlalu lama di
depan laptop. Nanti tinggal belajar untuk persiapan ujian besok. Alhamdulillah kurang tiga halaman lagi.
Bergegas aku ke belakang untuk mengambil air wudhu, melaksanakan sholat Asar.
Kali ini cukup berdua, bersama mbak Ju.
@ @ @
Tinggal tiga puluh menit lagi,
lembar jawaban ini harus aku kumpulkan ke pengawas. Aku mencoba meneliti ulang
jawaban dari soal UAS Aljabar Linear
Elementer. Dari lima soal, hanya satu soal saja yang aku belum yakin apakah
jawabanku sudah benar atau belum. Aku benar-benar lupa bagaimana cara
mengerjakannya. Mencoba untuk mengingat kembali belum bisa. Ya Allah...aku pasrah, batinku. Setelah
aku ikhtiar belajar dan berdo’a, jalan terakhir yaitu bertawakkal atas apa yang
telah kuikhtiarkan.
Sambil kuperhatikan teman-teman
sekelilingku. Masih banyak yang tertunduk di atas meja, ada yang masih asyik
mengerjakan, ada yang sekadar memandangi lembar soalnya saja. Walaupun ada
pengawas, tetap saja ada yang nekad bertanya ke teman yang lain. Memang godaan
setiap pelajar, baik itu siswa dan mahasiswa adalah di saat ujian. Apakah tetap
bisa mempertahankan kejujuran mereka atau terbujuk oleh keinginan mendapatkan
jawaban secara cuma-cuma. Walau bagaimanapun juga aku tidak akan melakukan
kecurangan semacam itu. Aku lebih bangga dengan hasil jerih payahku sendiri.
“Mit...kamu
nomor dua gimana caranya?,”tanya salah seorang teman yang duduknya tepat di
samping kananku. Walaupun sudah diberi jarak, tetap saja berani tanya.
Sambil
menoleh pelan karena tidak mau pengawas melihat gerakku,”Aku gak tau,”sambil
geleng-geleng kepala lalu kembali menunduk melihat lembar jawabanku kembali.
Memang seperti itulah aku. Bukannya
pelit, tetapi memang aku tidak mau memberikan jawabanku. Iya kalau jawabanku
benar, kalau salah bagaimana bisa menjerumuskan orang lain. Sebagian besar
teman-temanku sudah paham kalau aku tidak bisa diajak kerja sama saat ujian,
sehingga jarang sekali ada teman yang tanya kepadaku. Aku menginginkan ilmu
yang kuperoleh selama ini bernilai berkah tanpa terkotori oleh sedikitpun
kecurangan.
Tidak terasa tinggal lima menit
lagi....
“Lima
menit lagi, periksa kembali jawaban dan identitasnya,”pengawas memberikan
instruksi.
“Yang
sudah selesai boleh dikumpulkan,”ujarnya lagi.
Dengan perasaan pasrah, aku lantas
mengemasi peralatan ujian, kumasukkan ke dalam tas. Lalu berdiri dan
melangkahkan kaki ke depan meja pengawas untuk mengumpulkan lembar jawaban
bersamaan dengan beberapa teman yang sudah selesai. Alhamdulillah...ucapku pelan. Setelah itu aku keluar ruangan dan
duduk di kursi luar ruang ujian.
“Gimana
Mit tadi ujiannya?,”tanya Nenti, teman akrabku.
“Alhamdulillah...kamu
gimana?,”tanyaku balik.
“Alhamdulillah...yang
penting bisa keisi semua, soal benar atau enggaknya gak usah dipikirin,”jawab
temanku santai.”Habis ini mau kemana?,”tanya dia kemudian.
“Aku
pulang ke kos,”jawabku.
“Yuk
bareng, kosku kan lewat di depan kosmu, kamu jalan kan?,”dia mengajakku.
“Iya
jalan, ayuk...,”aku menerima tawaran dia untuk pulang bareng.
Kami langsung melangkahkan kaki
turun ke lantai satu. Kebetulan ruang ujian kami berada di lantai empat. Sambil
bercakap-cakap tidak sengaja pandanganku tertarik dengan papan pengumuman.
“Kita
lihat pengumuman dulu yuk...,”ajakku.
“OK,”jawabnya.
Papan pengumuman itu penuh akan
pamflet. Dari pamflet yang tanggalnya sudah lewat sampai pamflet yang baru
terpasang. Setelah melihat semua isi pamflet, matakupun tertuju pada sebuah
pamflet berwarna biru. Desainnya menarik,
pikirku. Ternyata pamflet yang kulihat adalah pamflet Open Recruitment anggota FLP (Forum Lingkar Pena) Yogyakarta.
Seketika itu juga muncul
ketertarikkanku untuk bisa bergabung di dalamnya. Tidak lupa aku mencatat
persyaratan yang harus dipenuhi ketika ingin bergabung menjadi anggota. Alasanku
ingin bergabung selain ingin mengasah kemampuanku dalam hal menulis, aku juga
ingin mempunyai komunitas yang terus menyemangatiku untuk terus menulis.
“Kamu
baca apa?,”tanya Nenti.
“Ni
lho Nen, ad pendaftaran anggota baru FLP,”jawabku.
“Kamu
mau ikut?,”tanya dia lagi
“Iya,”jawabku
singkat dengan pandangan masih tertuju pada pamflet itu.
“Ternyata
kamu suka menulis juga ya? Boleh donk aku baca tulisanmu,” Nenti penasaran
dengan tulisanku.
“Boleh,
tulisanku masih jelek lho Nen,”ujarku sambil menatap wajahnya.
“Gak
apa-apa lagi,”sambil melangkahkan kaki keluar fakultas, aku pun bergegas
membuntutinya.
Di sepanjang perjalanan pulang,
pikiranku melayang masih memikirkan impian menjadi anggota FLP. Padahal saat
itu Nenti mengajakku ngobrol. Tidak mengherankan jika aku lebih banyak menjadi
pendengar dengan sesekali menanggapi apa yang dia bicarakan. Menyusuri trotoar
sepanjang jalan Yogya-Solo yang saat itu semakin terik. Ditambah lagi dengan
hiruk pikuk suara kendaraan yang berlalu lalang di sampingnya. Hari ini memang
jadwal ujiannya hanya satu mata kuliah. Itu pun di jam kedua. Jadi Dhuhur sudah
sampai kos.
“Mampir
dulu yuk Nen...,”ajakku ketika aku sudah sampai di depan kos.
“Iya
Mita, makasih. Kapan-kapan aja ya, harus belajar lagi untuk ujian besok, Pengantar Analisis Real lho ujiannya
besok,”jawabnya sambil
“Ya
sudah kalau begitu, met belajar ya Nen...assalamu’alaykum,”sambil
menjabat tangannya dan membuka pintu kos.
Setelah mengucap salam melangkahkan
kaki masuk ke dalam kos. Sepertinya sudah
pada pulang, tumben ramai, batinku. Di ruang depan memang sudah berjejer
mbak-mbak dan teman-teman penghuni Fathiyyah. Mereka barusan selesai makan
siang. Sambil mendengarkan mereka asyik ngobrol, aku pun permisi masuk ke kamar
untuk beres-beres sepulang dari kampus.
“Baru
pulang dik Mit?,”tanya mbak Akrim yang ternyata juga di dalam kamar.
“Iya
mbak, baru selesai ujiannya,”jawabku dengan nada memelas.
“Dah
makan siang belum? Makan dulu sana,”suruh mbak Akrim.
“Belum
mbak, ni baru mau makan. Mbak lagi baca apa?,”tanyaku sambil melihat aktivitas
beliau yang sedang asyik dengan sebuah buku di tangan.
“Buku
tentang ekonjomi Islam dik,”jawabnya singkat.
Setelah beres-beres dan selesai
makan siang, kos kembali hening. Teman-teman sibuk di kamarnya masing-masiing. Lantas
aku kembali masuk ke kamar. Kulihat mbak Akrim tertidur pulas. Mungkin
kecapekkan belum istirahat masih dilanjut membaca buku. Secara spontan aku
teringat dengan cerpen anak yang belum selesai kutulis. Padahal tbesok sudah
harus dikumpulkan. Bergegas aku menyalakan laptop. Tinggal satu halaman lagi.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk
menyelesaikan cerpen anak. Alhamdulillah,
akhirnya selesai juga ,batinku. Tiba-tiba mbak Ju lewat di depan kamarku.
Sekalian saja kupanggil.
“Mbak
Ju...,”panggilku.
“Iya
Mita, ada apa?,” beliau balik tanya dan langsung berdiri di depan pintu
kamarku.
“Mbak
bersedia jadi editorku kan mbak?,”aku malah tanya.
“Wah...ya
tentu mau, nanti malam saja ya, kamu kopikan dulu k flashdisk,” sambil berlalu.
Malam harinya tulisan cerpen anak
hasil karyaku langsung dibaca oleh mbak Ju. Banyak sekali masukkan berharga
yang kuterima. Entah itu dari sudut pandang, alur karakter tokoh anak yang
kubuat, kata-kata yang kugunakan dan masih banyak lagi. Setelah selesai dibaca
oleh mbak Ju, aku pun langsung merevisi tulisanku kembali sebelum kukirim ke
alamat email yang dimaksuud. Keheningan malam memang suasana yang pas untuk
menulis. Tenang dan damai, membuat ide-ide bermunculan seperti tidak sabar
untuk segera kutuangkan ke dalam bentuk tulisan.
Revisi sudah selesai. Tidak terasa
waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Semuanya sudah pada tidur
sepertinya, tinggal aku sendiri. memang kebiasaanku tidur diurutan terakhir.
Aku pun prepare untuk persiapan
tidur, gosok gigi dan wudhu tidak pernah ketinggalan. Ngirimnya besok saja, pikirku.
@ @ @
Hari ini jadwal ujianku masih nanti,
setelah Dhuhur. Setidaknya tidak
terburu-buru untuk berangkat ke kampus pagi-pagi. Wakttu yang ada aku gunakan
untuk mengirim file tulisanku. Bismillah...., ini tulisan perdanaku
semenjak mulai kuliah, gumamku sambil senyam-senyum sendiri. Untung saja
mbak Akrim sudah berangkat ke kampus. Kalau enggak, pasti aku sudah diledekin.
Setelah mengirim tulisan, lantas aku
mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nanti siang. Tiba-tiba aku dikagetkan
dengan suara ketukan pintu dari luar kamar.
“Tok-tok,
tok....Mit....,”diiringi dengan suara panggilan.
Kupikir
siapa, lantas kupersilakan masuk,”Masuk saja San,”
“Kamu
belum berangkat ta ternyata? Aku mo berangkat nih,”sambil siap-siap.
“Aku
masih nanti siang San,”jawabku.
“Eh,
kamu suka nulis kan Mit? Ada pendaftaran anggota baru FLP lho, ikut aja,” Santi
memberitahuku
“Insha
Allah San, kamu mo ikutan juga yuk..,”ajakku sekalian.
“Ah
enggak ah Mit, aku gak suka nulis, aku berangkat dulu ya, assalamu’alaykum”ujarnya lantas membuka pintu..
Sontak aku teringat dengan beberapa
persyaratan yang harus kupenuhi ketika aku ingin mendaftar menjadi anggota FLP.
Salah satunya diminta untuk membuat dua buah tulisan, satu bersifat fiksi dan
satunya non fiksi. Temanya tentang,”Aku, Dakwah dan Kepenulisan.”
Kulihat juga deadline pengumpulan
persyaratan. Ternyata tinggal dua hari lagi. Mendadak konsentrasi belajarku
hilang. Aku hanya memikirkan kira-kira aku mau menulis apa. Sampai waktu sudah
menunjukkan pukul sebelas. Wah, aku harus
persiapan ke kampus nih,”gumamku. Aku memutuskan untuk sholat di fakultas
agar tidak terlambat mengikuti ujian.
Selesai siap-siap, bergegas berangkat ke kampus. Kos dalam kondisi kosong tidak ada
orang karena semuanya pergi. Setiap langkah kaki sambil berpikir terkait judul
tulisan yang akan aku ambil untuk memenuhi persyaratan menjadi anggota FLP.
Karena terlalu asyik memikirkan judul tulisan, sampai-sampai tidak sadar ada
yang memanggilku dari belakang dan tiba-tiba menepuk pundakku. Setelah kutoleh,
ternyata Nenti dengan nafas masih tersengal-sengal karena berusaha untuk
mengejarku.
“Mita...kupanggil-panggil
dari tadi lho,”gerutunya.
“Iya-iya,
maaf, habis gak dengar sih,”jawabku sambil tersenyum melihatnya. “Kukira kamu
sudah berangkat Nen.”
Akhirnya kami berjalan bersama
menuju kampus. Setelah kulihat jadwal, ruang ujian berasa di lantai satu.
Setidaknya bisa lebih menghemat energi. Sesampainya di kampus, sayup-sayup
terdengar adzan Dhuhur dari masjid kampus. Aku langsung menuju mushola
fakultas, karena sudah wudhu dari kos.
Selesai sholat, ternyata beberapa
teman sudah datang duluan. Mereka sedang asyik duduk-duduk di luar ruangan.
Kami belum bisa masuk ruangan karena masih tertutup rapat. Beberapa menit
kemudian ujian pun dimulai.
@ @ @
Beberapa hari setelah pengumpulan
lomba cerpen anak yang diadakan oleh KAMMI, akhirnya saat-saat yang ditunggu
tiba, pengumuman pemenang lomba. Pengumuman diadakan di Balai RK dekat dengan
kos Fathiyyah. Tidak kusangka bahwa aku mendapat juara pertama. Alhamdulillah....dengan judul cerpen
pertamaku yaitu,”Jilbab Biru Cika.” Bersamaan dengan deadline pengumpulan
persyaratan anggota baru FLP, setelah itu aku bergegas menuju Balairung UGM. Di
sana bertemu dengan teman-teman baru dari kampus lain.
Seleksi tahap pertama berupa seleksi
administrasi sudah kulalui. Akupun lantas mengikuti seleksi tahap kedua yaitu
seleksi wawancara. Saat itu aku menghadap dua orang, mbak dan mas. Secara
bergantian mereka memberiku beberapa pertanyaan yang harus kujawab. Alhamdulillah semuanya kujawab tapi
entah bagaimana hasilnya. Salah satu pertanyaan yang menohok pikiranku adalah
terkait komitmenku misal diterima di FLP. Karena pada saat itu aku memegang
banyak amanah organisasi kampus. Aku berusaha meyakinkan bahwasannya aku bisa
memegang amanah dengan baik.
Pengumuman penerimaan anggota FLP
akhirnya datang juga. Tidak kusangka aku lolos seleksi dan diterima. Sungguh
pengalaman berharga bagiku bisa bergabubg dengan organisasi sehebat FLP. Bisa
mengenal penulis-penulis fenomenal negeri ini. Spirit inilah yang kucari-cari,
sehingga aku ingin terus istiqomah di dunia kepenulisan.
“Selamat
ya Mita, cie...jadi anggota FLP Yogya nih...,”bergantian mbak Ju, mbak Akrim
dan Santi memberiku ucapan selamat.
“Terima
kasih ya semuanya.....,”balasku sampai terharu.
Aku merasa sangat bersyukur karena
bisa menjadi bagian dari anggota keluarga FLP. Sejak saat itu kemampuan
menulisku terus kuasah. Mulai dari menulis fiksi dan nonfiksi. Setiap kali ada event lomba kepenulisan aku tidak mau
ketinggalan. Kesempatan menulis di koran juga pernah kucoba. Alhamdulillah beberapa tulisanku tembus
di koran. Hal tersebut menjadikanku semakin bersemangat untuk terus berjuang,
berkarya dan berdakwah lewat tulisan.
Ketika semangat menulis menurun, ada
FLP yang selalu memotivasiku untuk bersemangat menulis kembali. Bagiku apa
gunanya bergabung di FLP kalau tidak terus menulis. Menulis, menulis dan
menulis. Melalui FLPlah aku bisa menikmati sisi lain dari duniaku. Menjadikan
duniaku lebih berwarna. So, tidak
mengherankan jika FLP adalah salah satu anugerah dalam hidupku. Teruslah berkarya, jadikan FLP sebagai wasilah
untuk menggapai tujuan suci yaitu menjadikan Islam kembali berjaya melalui
tulisan. Semoga diistiqomahkan di dakwah kepenulisan.