Minggu, 15 Maret 2015

TPA di Pinggir Jalan




Presented by Kareen el-Qalamy




                Setiap makhluk-Nya mempunyai batasan usia masing-masing. Salah satunya termasuk tempat yang dihuni oleh manusia yaitu bumi. Bumi apabila diperhatikan dari masa ke masa (dilihat dari kondisinya), semakin hari semakin memprihatinkan saja. Terserah pembaca boleh sepakat boleh tidak dengan apa yang saya tuliskan di sini. Toh ini sekadar penilaian subjektif saya saja.
            Melihat kondisi bumi yang semakin parah ini menggelitik saya untuk menuangkan uneg-uneg yang ada di pikiran ke dalam tulisan ini. Dengan harapan semakin banyak orang yang membaca, semakin banyak orang pula yang tersadar untuk berubah mengubah pola hidupnya. Karena kebiasaan yang tidak baik di suatu masyarakat apabila terus dibiarkan saja maka lama-lama akan membudaya, menjadi suatu hal yang lumrah dilakukan, padahal awalnya berasal dari kebiasaan yang tidak baik.
            Khususnya bagi masyarakat Klaten dan sekitarnya (apabila ada yang merasa tersinggung saya minta maaf). Fenomena-fenomena ini sering saya jumpai. Pada awalnya hanya beberapa ruas jalan saja atau beberapa desa saja yang saya lihat. Akan tetapi nampaknya fenomena ini semakin meluas.
            Terkait dengan pengelolaan sampah. Memang sampah menjadi permasalahan yang nampaknya tidak ada habisnya dialami oleh suatu daerah atau wilayah. Apalagi daerah atau wilayah itu mengalami kepadatan penduduk. Sepertinya sudah kehabisan akal untuk menanggulangi sampah yang kian hari kian menumpuk.
            TPA (Tempat Pembuangan Akhir) istilah yang sering kita dengar kaitannya dengan sampah. Mau tidak mau sampah entah itu sisa rumah tangga atau limbah industri memerlukan area untuk dijadikan TPA. Di TPAlah sampah-sampah tersebut dibuang atau akan mendatangkan manfaat apabila bisa didaur ulang.
            Entah apa yang saya rasakan, sebel, gregetan, risih, jijik dan sebagainya. Bagi pembaca yang tinggal di sekitar Karangdowo, Pedan, Ceper jangan tersinggung karena apa yang saya gambarkan di sini adalah sebuah realita. Toh tidak semua tempat di Karangdowo, Pedan dan Ceper (atau masih ada daerah lain) yang mengalami kondisi yang sama seperti yang saya gambarkan. Atau bagi pembaca yang sering melewati jalan Cawas-Pedan, jalan Trucuk-Ceper, jalan Pedan-Karangdowo (maaf apabila saya salah menyebutkan nama jalannya,maklum bukan penduduk di tiga kecamatan tersebut) pasti mencim bau tidak sedap ditambah lagi pemandangan sampah yang berserakan di pinggir jalan. Seolah-olah pinggir jalan sudah beralih fungsi menjadi TPA.
Terkadang saya merasa heran, apakah orang-orang yang berlalu lalang di sekitar jalan tersebut tidak merasa risih dan jijik? Bahkan nampaknya cuek dan acuh tak acuh seperti sudah menjadi pemandangan yang biasa dan lumrah. Jujur dalam hati saya merasa dongkol, kenapa hal seperti itu dibiarkan saja? Aparatur pemerintah desa atau kecamatan juga nampaknya menutup mata dengan pemandangan sampah menggunung di pinggir jalan.
Seperti tidak ada solusi yang dilakukan untuk menanggulangi pembuangan sampah sembarangan di pinggir jalan. Misal memberikan tindakan tegas bagi masyarakat yang membuang sampah sembarangan di pinggir jalan, mempersiapkan TPA yang layak dan jauh dari pemukiman atau aktivitas masyarakat dan memberikan apresiasi bagi aktivis lingkungan yang memberikan perhatiannya terhadap kelestarian lingkungan.  Atau memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang ketrampilan untuk bisa mendaur ulang sampah, minimal mendaur ulang sampah rumah tangga.
Jadi pinggir jalan yang seharusnya bisa ditanami pepohonan dan berfungsi untuk mengurangi polusi udara, malah semakin menambah pencemaran udara berupa bau yang tidak sebab akibat sampah yang menggunung. Pencemaran yang diakibatkan oleh sampah tidak sebatas pada pencemaran udara saja, tetapi juga pencemaran tanah dan air yang ada di lingkungan sekitar. Semoga segera ada tindakan dari aparatur pemerintah desa, kecamatan atau kabupaten. Selain itu juga diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk tetap melestarikan kebersihan lingkungan, minimal dengan tidak membuang sampah sembarangan. Karena kondisi lingkungan masyarakat itu mencerminkan kebiasaan hidup masyarakat juga. Kalau kondisi lingkungan kumuh, kotor, jorok, bisa diambil kesimpulan bahwasannya masyarakat yang mendiami lingkungan tersebut juga memiliki gaya hidup kumuh, kotor dan jorok.

1 komentar:

  1. ayo dik mita, lakukan sesutu,,,

    http://konnoyuki.blogspot.com/2015/02/lets-do-ide-kamu.html

    Ganbatte :)

    BalasHapus