Presented by Kareen el-Qalamy
Terkadang
aku bingung. Bingung dengan kondisi dan lingkungan yang kuhadapi sekarang. Karena
memang sangatlah berbeda. Dunia yang kuhadapi dahulu dengan sekarang. Dulu duniaku
penuh akan idealisme yang menggebu-gebu, berkobarnya semangat akademis untuk
menggapai cita-cita yang tinggi. Dibandingkan dengan sekarang, seakan-akan
semuanya berubah. Sekarang, idealisme yang pernah kujaga tidak sedikit
terbentur dengan realitas kehidupan. Sepertinya menuntut ketrampilan tersendiri
untuk mensinergikan idealisme yang ada dengan realitas yang terjadi di
lapangan.
Dulu, dunia dimana aku dituntut
untuk fokus pada akademis dan berkontribusi penuh untuk dunia dakwah kampus.
SDMnya pun secara otomatis teman-teman seusiaku kebanyakan. Kalaupun ada yang
lebih tua atau lebih muda, paling – paling empat tahun di atasku atau di
bawahku.
Sekarang, aku lebih dituntut untuk fokus memikirkan masa
depanku. Jadi, apa – apa yang kulakukan sekarang mau tidak mau juga sebagai
tahapan untuk meraih masa depan yang kuinginkan. Dilihat dari SDMnya, aku
sekarang berinteraksi dengan mereka – mereka yang rentang usianya jauh di
atasku atau bahkan jauh di bawahku. Jauh
di atasku karena aku berinteraksi dengan para ummahat – ummahat yang notabene
sudah mempunyai anak. Sedangkan jauh di bawahku yaitu dengan adik – adik seusia
SMP-SMA. Kalau sudah dibenturkan dengan kondisi seperti ini memang dituntut
lebih bisa menempatkan posisi untuk mengembangkan kapasitas bersosialisasi
dengan luwes.
Di sisi lain aku bersyukur karena menjumpai masa-masa seperti
ini. Masa – masa di mana aku bisa belajar pengalaman dari para ummahat,
terutama dalam bidang mengurus keluarga, karir dan dakwah. Karena ummahat –
ummahat yang kujumpai bukanlah sekadar ummahat sembarangan. Bukanlah sekadar
ummahat yang mengurusi kehidupan rumah tangganya saja. Di samping mengurusi
kehidupan rumah tangga, mereka juga dituntut untuk membantu suami dalam hal
menopang perekonomian keluarga dan hal yang lebih spesial lagi, mereka juga
masih meluangkan waktunya untuk memikirkan kondisi umat. Jadi, kegiatan yang
dilakukan oleh para ummahat tidak sekadar kegiatan yang berbau keduniawian
semata, tetapi juga kegiatan yang bernafaskan dakwah.
Melihat fenomena seperti ini nampaknya semakin menambah rasa
optimisku. Optimis bahwasannya kelak aku juga harus bisa seperti mereka. Tawazun
antara keluarga, karir dan dakwah. Namun, itu semua juga tidak terlepas dari
laki-laki yang akan kudampingi nanti. Apakah memberikan izin bagiku untuk
berkarir dan berdakwah selain mengurusi keluarga. Oleh sebab itu pemilihan
calon suami hendaknya dilakukan secara selektif. Dilihat dulu apakah nantinya
sang suami akan bisa mendukung masa depan yang sudah kurancang. Masa depan yang
menggabungkan tiga dunia, keluarga, karir dan dakwah. Maka dari itu berikhtiar
untuk mendapatkan suami yang sevisi dan semisi harus terus dilakukan agar masa
depan yang kuimpikan bisa kuraih bersama dengan suami. Aamiin...