Presented by Kareen el- Qalamy
Menjadi seorang pendidik di sebuah lembaga pendidikan tidak
pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Pendidik – bagi seorang perempuan –
memang sudah menjadi kewajibannya. Kewajiban setiap perempuan kelak ketika
Allah menitipkan jiwa yang fitrah. Kemudian dididik hingga mencapai dewasa.
Tetapi kalau mendidik anak orang lain, tidak ada ikatan darah sama sekali merupakan
tantangan luar biasa. Bukan suatu hal yang mudah untuk dijalani.
Mengapa
tidak? Pendidik harus bisa memahami dan masuk ke dunia mereka, dunia anak-anak.
Dunia anak-anak yang nampak sangat mengasyikkan, menyenangkan tanpa adanya
setitik noda kesedihan. Yang ada hanyalah kegembiraan dan kesenangan tiada
henti. Memang dunia anak identik dengan dunia bermain. Jadi jangan heran jika
anak-anak tidak mengenal kata lelah untuk terus bermain.
Nampaknya
inilah yang sedang aku nikmati sekarang. Profesi sebagai seorang pendidik.
Apalagi anak didikku anak-anak Sekolah Dasar (SD). Minggu-minggu awal memang
kuakui melelahkan bahkan menjengkelkan ketika harus berhadapan dengan anak-anak.
Akan tetapi seakan-akan semuanya itu sirna ketika aku mulai memahami psikologi
anak-anak. Yang awalnya aku sangat sulit
mengkondisikan mereka untuk tenang saat belajar di kelas, sulit mengatur mereka
agar mau tenang saat sholat, sedikit demi sedikit dapat kuatasi. Ditambah lagi
kalau ada anak yang nangis dikarenakan bertengkar dengan temannya, terkadang
dibuat bingung kira-kira bagaimana mengatasinya.
Maklum masih amatiran, begitulah
usahaku untuk menghibur diri. Kuanggap sebagai sarana pembelajaran sebelum aku
benar-benar menjadi seorang ibu bagi anak-anakku kelak. Dan sekarang, alhamdulillah menangani anak-anak sudah
menjadi hal biasa bagiku. Setiap hari ada-ada saja yang mereka lakukan, entah
itu BAB di celana, ngompol, sakit dan berulah macam-macam tidak menjadi masalah
bagiku. Dunia anak-anak seakan-akan menjadi hal yang unik bagiku.
Ada sebuah peristiwa yang membuatku
terkesan berkaitan dengan dunia anak-anak. Di saat aku mengajar matematika di
kelas 2, ada seorang anak putra yang memang terlihat cerdas di mataku. Dia
cepat sekali paham dengan apa yang aku jelaskan. Padahal dia tipe anak yang
tidak bertahan lama untuk duduk diam di kursinya. Pasti setelah beberapa menit
dia mulai jalan-jalan di dalam kelas, terkadang menggoda temannya yang lain sehingga
menimbulkan kegaduhan di kelas. Tiba – tiba datang pak satpam menengok dari
luar pintu. Lantas aku pun menghampiri beliau, nampaknya ada sesuatu yang ingin
disampaikan kepadaku.
Setelah kuhampiri, ternyata ada
seorang bapak-bapak, dan aku pun secara spontan berpikiran bahwa bapk-bapak
tersebut adalah ayah dari salah seorang siswa di kelas. Setelah kutanya maksud
kedatangan beliau, beliau ingin meminta izin untuk menjemput anaknya. Dan anak
yang dimaksud adalah anak laki-laki cerdas yang bernama Irsyad. Lantas aku
langsung menghampiri Irsyad, memberitahukan bahwa ayahnya datang menjemput.
Ada hal aneh yang kutangkap dari
peristiwa itu. Biasanya seorang anak yang dijemput orang tuanya pasti
memancarkan raut wajah senang dan ceria. Namun sangat berbeda dengan Irsyad.
Dia malah menangis, seakan-akan tidak mau dijemput ayahnya. Sungguh kejadian
yang aneh buatku. Walaupun dia tidak mau dijemput, tetap saja ayahnya memaksa
membawa Irsyad keluar kelas untuk dijemput pulang. Kejadian itu terus membuatku
penasaran, apa yang sebenarnya terjadi.
Rasa penasaranku aku lampiaskan
dengan bertanya kepada wali kelas 2 yang kuajar. Tiba-tiba sontak dibuat kaget
atas penuturan wali kelas bahwasannya Irsyad dalam posisi keluarga broken home. Orang tuanya dalam tahap
perceraian. Ya Allah....Irsyad....seorang
anak yang selalu terlihat ceria, ternyata menyimpan permasalahan yang sangat
pelik menyangkut kondisi keluarganya.
Semoga tidak terjadi apa-apa
dengannya. Mendadak rasa bersalah pun muncul di dalam hatiku. Takut kalau dia
dibawa lari ayahnya karena menjadi rebutan antara ayah dan ibunya. Sedangkan selama
ini Irsyad tinggal bersama ibunya. Sangat masuk di akal juga kalau ayahnya rela
menjemput ke sekolah dan membawanya ke Purworejo karena kangen. Anak-anak, anak-anak,
di balik keceriaan mereka terkadang punya arti tersendiri di kehidupan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar