Akhir-akhir ini kosa kata
dinasti politik mencuat setelah tertangkapnya ketua MK terkait kasus korupsi
yaang menyeret nama Bupati Banten (Pasti dah tahu namanya). Sebenernya apa sih
yang dimaksud dengan dinasti politik? Kalau dalam istilah KKN ada istilah
Nepotisme, apakah sama antara nepotisme dan dinasti politik? Untuk lebih mudah
memahaminya sebaiknya mencari tahu terlebih dahulu pengertian dari
masing-masing kata tersebut.
Nepotisme
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai
contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara,
bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer
tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah
mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri,
sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata nepotisme berasal dari kata
Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”.
Itu
tadi baru sebatas pengertian nepotisme. Kalau ditarik kesimpulan nepotisme
suatu tindakan pengangkatan seseorang yang masih memiliki ikatan keluarga untuk
menempati kursi jabatan tertentu bukan berdasarkan kualifikasi. Sedangkan
pengertian dari dinasti politik sendiri akan dibahas dalam paragraf
selanjutnya.
Dinasti
Politik atau Politik Dinasti
Belakangan ini isu politik dinasti kembali menguat sejak
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Operasi tersebut terkait penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terkait
Pemilukada Kabupaten Lebak, Banten yang melibatkan kerabat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah .
Menariknya, Kabupaten Lebak tersebut diketahui dikuasai
oleh politik Dinasti Jayabaya yang merupakan Bupati Lebak selama dua periode
yang kemudian memajukan putrinya yang dikenal sebagai Iti Jayabaya. Dinasti
lain di Banten adalah keluarga Ismeth Iskandar di Kabupaten Tangerang, Wahidin
Halim di Kota Tangerang serta Dimyati Natakusumah di Pandeglang.
Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Bara Hasibuan
membandingkan dengan kasus yang sama di negara-negara demokrasi maju. Dia pun
menilai politik dinasti merupakan suatu hal yang wajar. "Di Amerika Serikat kita mengenal keluarga Kennedy,
keluarga Gandhi di India, dan keluarga Aquino di Filipina. Keluarga-keluarga
tersebut berasal dari negara-negara dengan tingkat gradasi demokrasi yang
berbeda. Ini menjadi suatu fakta bahwa aktivitas politik yang berbasis keluarga
tak menjadi masalah, selain juga bahwa hak individu untuk berpartisipasi dalam
berpolitik," kata Bara di Rumah Gagasan PAN, Jakarta Selatan, Selasa
(22/10).
Kendati demikian, menurut Bara seharusnya kekuasaan tak
boleh menumpuk pada suatu kelompok atau keluarga agar prinsip check and balance
dalam berdemokrasi bisa berjalan dengan baik agar semua pihak bisa
berpartisipasi setara dalam berpolitik.
"Oleh sebab itu, politik dinasti juga dianggap menjadi hambatan para pihak untuk berpartisipasi dan melakukan koreksi. Apalagi jika demokrasi itu sendiri baru sampai pada tahap pembudidayaan, demokrasi pada tahap awal perlu dijaga dan dirawat," ujarnya.
"Karenanya, politik dinasti pada tahap itu harus diatur dan tak dapat dibebaskan begitu saja. Atas dasar tersebut, hak-hal politik warga negara untuk mencalonkan dan dicalonkan menjadi wajar untuk diatur, termasuk dibatasi," papar Bara. Sementara itu menurut pengamat politik yang juga hadir dalam diskusi terbatas tersebut, Hamdi Muluk, mengatakan bahwa politik dinasti terjadi lantaran kebobrokan budaya Indonesia yang sejak dulu sudah kacau, dari kultur nepotisme hingga kolusi keluarga. Selain itu orang-orang kotor juga dinilai telah berkumpul di partai politik. Hal tersebut bisa semakin membuat politik dinasti semakin kuat.
"Kebobrokan kultur kita itu kacau, watak kita buluk, karena sistemnya nggak tertata dan hukum enggak jalan. Orang-orang yang disebut free rider itu sekarang banyak di partai politik, itu mereka jajah semua sistemnya," imbuh Hamdi.
"Oleh sebab itu, politik dinasti juga dianggap menjadi hambatan para pihak untuk berpartisipasi dan melakukan koreksi. Apalagi jika demokrasi itu sendiri baru sampai pada tahap pembudidayaan, demokrasi pada tahap awal perlu dijaga dan dirawat," ujarnya.
"Karenanya, politik dinasti pada tahap itu harus diatur dan tak dapat dibebaskan begitu saja. Atas dasar tersebut, hak-hal politik warga negara untuk mencalonkan dan dicalonkan menjadi wajar untuk diatur, termasuk dibatasi," papar Bara. Sementara itu menurut pengamat politik yang juga hadir dalam diskusi terbatas tersebut, Hamdi Muluk, mengatakan bahwa politik dinasti terjadi lantaran kebobrokan budaya Indonesia yang sejak dulu sudah kacau, dari kultur nepotisme hingga kolusi keluarga. Selain itu orang-orang kotor juga dinilai telah berkumpul di partai politik. Hal tersebut bisa semakin membuat politik dinasti semakin kuat.
"Kebobrokan kultur kita itu kacau, watak kita buluk, karena sistemnya nggak tertata dan hukum enggak jalan. Orang-orang yang disebut free rider itu sekarang banyak di partai politik, itu mereka jajah semua sistemnya," imbuh Hamdi.
Politik
dinasti dalam jabatan kepala dan wakil kepala daerah sesungguhnya terjadi
secara luas. Puluhan kepala daerah terpilih ataupun gagal dalam pilkada
terindikasi punya hubungan kekerabatan dengan pejabat lain. Hal itu dinilai
sebagai ”cacat bawaan demokrasi”.
Berdasarkan penelusuran Kompas, setidaknya ada 37
kepala daerah terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat negara
lain. Mereka tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, dan Maluku.
Sebagian
kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati Indramayu Anna Sophanah meneruskan
jabatan dari suaminya, Irianto MS Syafiuddin. Demikian pula dengan Bupati
Kendal Widya Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati Probolinggo
Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melanjutkan
posisi suami masing-masing. Adapun Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan
ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan.
Pola lainnya
adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda sehingga dinasti politik bisa
terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, sedangkan
anaknya menjadi Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry
Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur
Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.
Contoh lebih luas adalah dinasti
politik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil Bupati
Pandeglang, Wali Kota Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota
Serang. Data tersebut belum memasukkan kekerabatan yang duduk di lembaga
legislatif.
"Kementerian
Dalam Negeri sebenarnya sudah mensinyalir kekerabatan dalam jabatan
kepala/wakil kepala daerah sejak lama. Sedikitnya ada 57 kepala/wakil kepala
daerah yang berhubungan keluarga. Karena itu, kami mengusulkan pembatasan
kerabat yang mencalonkan diri dalam pilkada. Bahkan, kalau DPR mau, pengaturan
bisa dikembangkan untuk lebih dari satu posisi," tutur Menteri Dalam
Negeri Gamawan Fauzi, di Jakarta, Jumat (18/10/2013).
Namun, sampai
saat ini, DPR belum menyetujui usulan pemerintah. Justru DPR memilih ada
pengetatan syarat kompetensi, rekam jejak, dan integritas alih- alih membatasi
kerabat yang mencalonkan diri dalam pilkada.
Menurut
Gamawan, UUD 1945 tidak melarang kerabat untuk mencalonkan diri dalam pilkada
atau pemilu sebab setiap orang memiliki hak sama untuk memilih dan dipilih.
Namun, disebutkan pula, pembatasan untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain
berdasarkan keadilan dan norma-norma lain seperti tercantum dalam Pasal 28 J
(2).
Menurut
pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, dalam konteks
demokrasi langsung, kualitas kekuasaan terpilih adalah cermin kualitas sebagian
pemilihnya. Ketika masyarakat masih sangat paternalistik, kerabat tokoh
cenderung menjadi patron budaya, politik, dan ekonomi. Bahkan, tanpa manipulasi
atau mobilisasi dalam pilkada, "hegemoni paternalistik" yang di
banyak tempat masih kuat akan membawa kemenangan pada kerabat patron.
Itulah
penjelasan terkait dinasti politik dikaitkan dengan fenomena atau fakta-fakta
yang terjadi di Indonesia bahkan dunia. Dinasti politik sebenarnya hampir sama
dengan nepotisme, mengangkat seseorang dari keluarga sendiri untuk menduduki
sebuah jabatan di perintahan. Namun ada yang membedakan antara dinasti politik
dan nepotisme. Kalau nepotisme jelas melanggar aturan pengangkatan seseorang
hanya karena masih terjalin hubungan kekerabatan secara langsung tanpa
meengindahkan aturan yang berlaku. Sedangkan dinasti politik tidak secara
mutlak dilarang. Dinasti politik sah-sah saja terjadi asal tetap mengikuti
aturan main yang ditetapkan, misalnya dengan memenuhi kriteria atau persyaratan
yang diberlakukan dan secara kualitas dan kemampuan diri juga memenuhi. Hal ini
juga tidak membatasi hak asasi setiap orang untuk mencalonkan atau dicalonkan
lalu dipilih. Walaupun orang tersebut masih terbilang kerabat asalkan memenuhi
kriteria, berkompeten dan profesional di bidangnya dinasti politik sah-sah saja
terjadi. Bagaimana dengan Anda?
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar