Siang begitu terik. Seakan sang mentari mengamuk dengan memancarkan sinarnya yang begitu sangat menyengat. Dedaunan berguguran, ranting-ranting pohon di pinggir jalan sudah kering kerontang seperti mengharap belas kasihan akan turunnya hujan. Tanah-tanah terlihat pecah seperti ingin membelah bumi. Begitulah pemandangan sehari-hari memasuki pertengahan musim kemarau.
Manusia dibuat malas untuk melaksanakan aktivitas. Lebih enak, nyaman dan teduh untuk berada di dalam rumah. Entah itu asyik bercengkrama dengan keluarga atau beristirahat melepas segala kepenatan yang ada, tidur di atas kasur misalnya sungguh merefresh diri sekaligus memanjakan diri. Namun itu tidak berlaku bagi sesosok laki-lak. Laki-lakii yang dilihat dari postur tubuhnya saja menandakan sudah berumur sekitar tiga puluhan ke atas. Mengayuh sepeda usangnya menjajakan es krim demi mengais rezeki untuk menghidupi kebutuhan keluarga.
Memang sangat pas jika hawa yang begitu panasnya menikmati secangkir es krim. Tapi tidak tahu mengapa barang dagangannya masih banyak. Biasanya sekitar jam dua belas ke atas sudah habis. Walaupun langkahnya agak gontai namun itu tidak mengurangi semangat bapak Sabari.
“Pak….Es Pak….!!!”,teriak salah seorang gadis kecil sepertinya sangat menginginkan kesegaran dengan membeli es krim.
“Iya Neng….”,sahut bapak Sabari dengan menghentikan laju sepedanya.
“Mau beli berapa?”
“Seribu Pak…”
“Kenapa gak diborong semuanya saja Neng, tinggal sedikit saja kok…”,pinta pak Sabari.
“Gak ah Pak…Kebanyakan,nanti tidak ada yang makan lagi….”.
“Terima kasih ya Neng….”,sambil menaiki kembali sepedanya. Perjalanan dilanjutkan kembali menyusuri jalan setapak di setiap gang-gang daerah perkotaan yang sangat sempit. Maklum lahan perkotaan sudah padat dengan diddirikannya banyak bangunan. Seperti rumah, pusat perbelanjaan dll.
Sore menjelang, sang surya sudah saatnya beristirahat diperaduannya. Sungguh fenomena yang luar biasa apabila mau menikmati keindahan alam hasil karya dari sang Pencipta. Bapak Sabari telah sampai di gubuknya yang terlihat sangat begitu tua dan rapuh. Di sinilah beliau tinggal beserta dua orang anaknya, Lastri dan adiknya Supri. Ibu mereka telah lama meninggal ketika harus mempertaruhkan nyawa saat melahirkan anak keduanya Supri. Oleh sebab itu mereka sudah terbiasa hidup mandiri tanpa adanya kasih sayang dari seorang ibu. Lastri di usianya yang sudah remaja bisa menggantikan peran sebagai seorang ibu bagi adiknya yang masih kekanak-kanakkan. Sering kali Supri meminta sesuatu dimana orang tuanya tidak bisa menuruti keinginannya.
Namun pak Sabari seorang bapak yang sabar. Apabila menghadapi kenakalan anak keduanya itu. Dengan memberi pengertian dan nasihat sedikit demi sedikit.
“Asyik……Bapak pulang….!!!”,teriak Supri. Anak berusia lima tahun itu langssung berlari menghampiri bapaknya yang sedang menyandarkan sepedanya.
“Wah..wah…wah…anak Bapak yang paling cakep….Ada apa ini sepertinya kok ceria sekali?”.
“Ya jelas senang donk Pak, anak mana yang tidak senang melihat Bapaknya pulang dari kerja seharian,”jawab Lastri sepertinya tidak mau kalah dengan adiknya yang merasakan kegembiraan.
“Kalian dah pada makan belum?, nih Bapak belikan makanan kesukaan kalian, nasi goring…,”sambil menunjukkan bungkusan plastik hitam yang di dalamnya terdapat satu bungkus nasi goreng.
“Hore…..,”sorak mereka serempak. “Bapak kok tumben beliin kita nasi goreng?,”tanya Lastri.
“Iya, alhamdulillah Bapak tadi ada sedikit rezeki tambahan dari hasil penjualan es,”penjelasan dari Pak Sabari sambil membelai-belai rambut Supri yang tengah asyik melahap nasi goreng.
Malam datang menghampiri. Hawa dingin yang merasuk sampai sumsum tulang. Menggigil, itulah yang dirasakan oleh seluruh penghuni rumah bapak Sabari. Rumah yang hanya berdinding bambu dan beralas tanah tidak bisa melindungi penghuni rumah dari terpaan angin malam yang sangat dingin. Untung saja Pak Sabari dan Lastri mempunyai daya tahan tubuh yang baik jadi tidak mudah terserang penyakit. Namun berbeda dengan Supri, dimana ia seorang anak yang kondisi kesehatannya sangat rapuh. Dia menderita penyakit asma dimana penyakit tersebut bisa kambuh sewaktu-waktu apalagi kalau hawa dingin menyerang. Maka dari itu pak Sabari sangat memperhatikan perkembangan kesehatan anak bungsunya itu.
Keesokan harinya pak Sabari kembali ke rutinitas sehari-hari berdagang es krim buatannya. Sebelum fajar menyingsing, beliau sudah sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk membuat es krim. Sedangkan Lastri seperti biasa beres-beres rumah dan menyiapkan makanan untuk sarapan. Supri setelah bangun menunaikan sholat Subuh di masjid depan rumah langsung saja dia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Padahal ssudah beberapa kali pak Sabari mengingatkan untuk tidak tidur lagi setelah sholat Subuh tetapi Supri masih tetap saja ngeyel.
“Bapak pergi dulu ya Lastri, jaga rumah baik-baik dan adikmu,Assalamu’alaikum..,”pesan seorang ayah kepada anaknya yang akan ditinggal pergi untuk mencari rezeki.
“Baik Pak,”jawab sang anak sambil mencium tangan sang bapak. Sedangkan si bungsu masih terlelap menikmati tidurnya yang nyenyak.
Kembali menyusuri rute jalan yang tiap hari pak Sabari lalui. Pelan tapi pasti, sambil mengayuh sepedanya dan membunyikan lonceng pertanda bahwa penjual es lewat, mengabarkan kepada warga sekitar siapa bersedia mencicipi kelezatan dan kesegaran es krim rasa vanilla atau cokelat. Tiba-tiba di pinggir jalan dekat pertigaan jalan pak Sabari bertemu dengan seorang anak kecil yang sedang menangis.
“Kenapa Dik, kok menangis?,”tanya Pak Sabari sambil menghentikan laju sepedanya.
“Aku gak bisa pulang Pak….karena main jauh-jauh dan belum pamitan dengan orang tua,”cerita anak itu sambik terisak-isak.
“Tapi adik masih hafal alamat rumahnya kan?,”tanya pak Sabari lebih lanjut.
“Iya Pak masih, tapi pulangnya gimana?Aku gak punya uang lagi….,”jawab anak itu disertai tangisan yang semakin keras.
“Pasti orang tuamu bingung mencari kemana-mana, ini bapak ada sedikit uang cukuplah untuk ongkos perjalanan pulang,” Tapi kalau uaang ini aku berikan, anak-anaku nanti makan apa?Tak apalah…demi menolong sesama, aku yakin Allah pasti akan memberikan jalan rezeki yang lain yang tidak bisa disangka-sangka oleh hamba-Nya,batinku sambil menyodorkan uang.
“Terima kasih banyak Pak….Bapak namanya siapa?,”wajah anak itu mulai tersenyum cerah.
“Sabari, orang-orang disekitar sini lebih sering memanggil saya dengan panggilan pak Sabar,”
“Rumah bapak di mana?,”tanya anak itu selidik lebih lanjut.
“Cuma di sekitar daerah sini kok Dik….,”
Langsung saja anak itu menghampiri bus yang baru saja lewat di depannya setelah memberikan ucapan terima kasih kepada pak Sabari. Lantas Pak Sabari pun juga melanjutkan perjalanan menjajakan es krim walaupun di bawah teriknya sinar sang mentari. Sesekali pak Sabari berhenti untuk berteduh beristirahat di saat lapar dan dahaga melanda. Tidak tanggung-tanggung pak Sabari membawa bekal makanan dari rumah yang memang telah dipersiapkan oleh Lastri. Jadi tidak perlu jajan untuk menghemat pengeluaran. Beristirahat dirasa telah mencukupi untuk mengobati rasa lapar dan dahaga, tiba-tiba ban sepeda Pak Sabari kempes. Padahal dia berhenti pas di jalan dimana pemandangan sekitar hanya ada hamparan sawah terbentang. Mau tidak mau Pak Sabari harus menuntun sepeda entah sampai mana, sampai beliau menemukan tempat bengkel sepeda untuk memompakan sepedanya.
Hari pun kian larut, bengkel juga tidak kunjung beliau temui. Untung saja ada sebuah rumah dan beliau langssung saja mengetuk rumah itu bertujuan untuk meminjam pompa. Beruntung rumah yang beliau sambangi mempunyai pompa. Dengan segera pak Sabari memompa bannya dan ingin pulang dikarenakan hari telah malam .
“Terima kasih Pak atas pompanya,”ucapan terima kasih pak Sabari lontarkan sambil bergegas mengayuh sepedanyaa kembali. Sesampainya di rumah…..
“Assalamu’alaikum….,”sambil mengetuk pintu. Ucapan salam untuk yang ketiga kalinya, belum juga ada sahutan dari dalam. Pada kemana nich anak-anak…?,”pikirku.
Lantas salah seorang tetangga menghampiri pak Sabari.
“Pak, anak-anak Bapak sekarang sedang berada di rumah sakit,”penjelasan dari tetangga itu
“Ya Allah apa yang terjadi dengan anakku?,”banyak sekali pertanyaan yang menggelayuti pikiran Pak Sabari. Bahkan prasangka buruk juga tidak ketinggalan untuk hinggap sehingga membuat diri Paak Sabari khawatir, takut kalau terjadi apa-apa dengan anaknya.
Bergegas ia menuju rumah sakit tempat dimana anaknya dirawat. Berlari dengan wajah penuh kecemasan ia memasuki salah satu lorong dan di situ didapat Lastri sedang menangis sambil memanjatkan do’a.
”Lastri….apa yang terjadi dengan adikmu?,”tanya sang ayah sambil memeluk anaknya yang sedang dirundung kesedihan.“Supri Pak……Asmanya kambuh lagi dan obat yang biasanya dari dokter sudah tidak mempan. Nafasnya semakin laama semakin sesak saja. Atas bantuan dari warga sekitar Supri langsung dilarikan ke rumah sakit ini,”jawab Lastri.
“Sudahlah….Lastri…sabar ya….Allaah tidak akan memberikan ujian kepada hamba-Nya melebihi kemampuannya menyelesaikan ujian tersebut,”Pak Sabari berusaha menenangkan hati putrinya itu. Di dalam benaknya pak Sabari harus memutar otak kemana kiranya dia harus mencari tambahan biaya untuk anaknya itu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit bagi keluarga Pak Sabari.
Pintu kamar dibuka. Lalu keluarlah seorang mengenakan baju putih yang tak lain dan tak bukan adalah dokter yang menangani Supri mengabarkan bahwa keadaan Supri baik-baik saja. Tidak sabar pak Sabari dan Lastri masuk ke kamar inap dimana disana Supri dirawat dengan bantuan alat pernapasan.
“Lastri, biar Bapak saja yang menunggu adikmu. Kamu sebaiknya pulang saja, kasihan kamu kecapekan,”tutur pak Sabari.
Sinar mentari pagi menyapa seluruh penghuni bumi. Supri yang semalam dirawat di ruang ICU sudah bisa dipindahkan di ruang inap biasa. Pak Sabari tidak bisa berjualan demi menemani anaknya itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu. Setelah dibuka seorang lelaki dan anaknya ditemani Lastri. Ternyata anak itu adalah anak kecil yang dulu pernah ditolong oleh pak Sabari di pinggir jalan. Mereka bermaksud menyampaikan rasa terima kasih, namun setelah mengetahui anak pak Sabari sakit mereka sekaligus menjenguk. “Terima kasih atas kesediaan Bapak untuk menjenguk anak saya,”ucap pak Sabari.
Setelah dirawat selama kurang lebih satu minggu, akhirnya Supri sudah diperbolehkan untuk pulang. Namun pak Sabari belum bisa membayar seluruh biaya rumah sakit. Ketika beliau ingin menanyakan apakah biaya rumah sakitnya bisa dicicil tiba-tiba seorang perawat mengatakan,“ Pak, biaya rumah sakit anak Bapak sudah lunas.”Secara spontan pak Sabari kagetnya bukan main. Lantas siapakah kiranya yang bersedia melunasi biaya rumah sakit itu?Tidak ada yang tahu karena sang dermawan tidak mencantumkan namanya....”Semoga Allah membalas semua kebaikan orang itu, alhamdulillah…..ya Rabb…,”
Segala kenikmatan telah Engkau curahkan
Semua karunia selalu Engkau berikan
Izinkan hamba-Mu untuk selalu mensyukurinya
Terima kasih ya Allah…
Sore hari di temani tetesan air hujan yang membasahi bumi….
Klaten, 10 Juli 2010
KareenTaarie…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar