Kamis, 11 November 2010

Jilbab Biru Cika




Created by Kareen el-Qalamy

                Seorang  gadis  kecil, Cika namanya. Imut, lucu dan menggemaskan bagi siapa saja yang melihatnya.  Namun sayang dia sudah yatim waktu berada  dalam kandungan  berusia  empat bulan. Jadi ia tidak bisa merasakan hangatnya figure seorang ayah. Tinggal bersama ibunya di sebuah rumah yang sangat sederhana terletak di pinggiran sungai. Maklum  keadaan perekonomian keluarganya pas-pasan. Ibunya hanya bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah sekitarnya. Sejak dulu sang ibu bekerja membanting tulang untuk menyambung hidup.
            Seperti halnya anak-anak yang lain seharusnya Cika sekarang duduk di bangku Sekolah Dasar ( SD ) kelas lima. Namun apa mau dikata ia putus sekolah sejak kelas tiga. Selanjutnya menghabiskan waktu untuk membantu ibunya entah itu ambil cucian dari rumah-rumah lalu mengantarkannya kembali, membantu beres-beres dan membersihkan rumah. Walaupun putus sekolah semangat belajar Cika tidak akan pernah surut. Ia rajin mengikuti kegiatan TPA di desanya yang diadakan setiap tiga kali dalam seminggu.
”Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumussalam...Siapa ya…?”tanya ibu.
“Ni Sarah Bu, temannya Cika”
“O…Sarah, silakan masuk, tuh Cikanya dah siap. Mau ke TPA kan?” tanya ibu lagi sambil asyik mengucek-ucek pakaian.
“E…Sarah, yuk berangkat yuk nanti keburu terlambat lho…Bu…pamit”sahut Cika.
“Ayuk…!!Permisi ya Bu…”teriak Sarah.
“Iya nak…hati-hati”pesan seorang ibu kepada anaknya.
            Keduanya lantas berjalan beriringan melintasi jalan setapak menuju Masjid An-Nur yang letaknya hanya 500 m dari sebelah timur rumah Cika. Mereka berdua memang telah lama bersahabat. Di Masjid mereka tidak hanya bertemu dengan teman-teman yang lain, juga bertemu dengan Ustadz Fadil dan Ustadzah Astri. Ustadz dan ustadzah yang sangat dekat dengan Cika, seolah-olah sudah dianggap Cika sebagai kakak sendiri.
“Ayo adik-adik yang manis, siapa yang ingin ndengerin cerita…. Kira-kira tahu gak dongeng apa yang pengen kakak ceritain?”tanya Ustadz Fadil membuat penasaran.
“Belum Kak…!!!”teriak anak-anak serempak. Mereka memang paling asyik kalau mendengarkan cerita.
“OK…, cerita pada sore kali ini berjudul Tokoh Idolaku, namun sebelum dimulai kakak mau bertanya dulu nih….Cika, siapa tokoh idolamu?”sambil menunjuk kearah Cika.
“Nabi Muhammad SAW,Kak…”jawab Cika dengan lantang.
“Kenapa Cika memilih Nabi Muhammad?”,tanya ustadz mendetail.
“Karena Nabi Muhammad itu baik, suka menolong dan tidak sombong”,jawab Cika dengan percaya diri.
“Iya, bagus adikku yang manis.Cika benar. Nabi Muhammad sebagai manusia pilihan mempunyai sifat yang sangat baik. Sebaiknya kita mencontoh Nabi Muhammad”ustadz Fadil sambil menjelaskan.
            Sebenarnya Cika seorang anak yang cerdas, namun sayang hanya karena keterbatasan ekonomi ia tidak bisa melanjutkan pendidikan. Di samping itu di usianya yang ke sebelas tahun ini dia sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan fasih dan lancar. Ditambah lagi dia memiliki suara yang merdu dan enak didengar. Jarang ada anak seperti Cika.
“Hey Cika, kamu kok pakai jilbabnya yang itu-itu melulu sih…?Gak ada yang lain apa?”,bentak Reni.
“Lha emangnya kenapa?Apa gak boleh?”jawab Cika tidak mau kalah.
“Gak ada apa-apa kok, cuma bosen aja ngeliatnya”,balas Reni.
“Udah-udah, ayo pulang yuk Cika, celotehan si Reni gak usah kamu dengerin, dibiyarin aja…”,lerai Sarah.
            Reni, seorang teman Cika yang mempunyai sifat kasar, dan selalu menunjukkan sikap tidak suka terhadap Cika. Dia anak orang kaya di desanya. Apa-apa yang diminta selalu dituruti.
“Aku sebel banget deh…!!!”tutur Sarah di tengah perjalanan menuju rumah.
“Sebel kenapa Sarah?”tanya Cika.
“Itu-tu si Reni, sikapnya nyebelin. Aku gak rela kamu digituin sama dia!”,jawab Sarah sewot.
“Udah deh Rah, biarin aja, nanti bosen sendiri”jawab Cika dengan tenang.
“Kamu tuh emang baik banget ya, digituin kok gak marah, aku senang punya teman sepertimu. Tapi aku heran dengan perkataan Reni tadi”,sambil mengernyitkan dahi.
“O…soal jilbabku ini. Jilbabku satu-satunya yang paling bagus. Aku pengen banget beli jilbab baru tapi aku gak mau ngrepotin ibu”,tutur Cika.
            Akhirnya sampailah keduanya di rumah Cika dan Sarah berpamitan untuk langsung pulang. Cika menemui ibunya yang sedang berada di belakang rumah masih sibuk dengan orderan cucian pakaian tetangga. Lantas kembali masuk ke kamarnya yang kecil dan mungil.
            Di malam yang sunyi senyap, disertai hembusan udara malam. Nyanyian suara jangkrik terdengar merdu, menenangkan hati yang gundah gelisah. Langit yang cerah di malam hari. Bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip seakan menatap dengan malu-malu. Ada sesuatu yang tersirat di sana. Sesuatu yang sekiranya menggambarkan keindahan alam semesta yang diciptakan secara seimbang menurut kadarnya masing-masing.
            Sudah menjadi kebiasaan bagi Cika duduk di dipan depan teras rumahnya. Asyik menikmati indahnya langit hasil karya Sang maha Pencipta. Merenung dan meresapi betapa kecilnya manusia itu di hadapan Sang Khalik. Namun bagaimanapun keadaannya harus disyukuri karena bagaimanapun itu semua merupakan pemberian sekaligus titipan dari Allah. Sewaktu-waktu bisa diambil kapanpun bahkan manusia sendiri juga akan kembali, kembali kepada pemilik manusia.
            Tidak sengaja terbersit perkataan yang dilontarkan oleh Reni. Kalau boleh berandai-andai Cika ingin sekali memiliki jilbab baru. Jilbab biru yang cantik, apakah ia bisa memakainya lalu menunjukkan kepada ibu.
“Ibu, Cika pantas tidak?”,batinnya.
            Tetapi apakah impian itu bisa terwujud apabila memperhatikan keadaan ekonomi keluarganya yang seperti ini. Yang bisa Cika lakukan hanyalah berdo’a, berusaha dan menyerahkan semuanya kepada Allah.“Ya Allah…berikan ibuku uang,”,lantunan do’a yang selalu Cika panjatkan setiap kali seusai shalat.
            Allahu akbar….Suara adzan Subuh telah terdengar. Suatu panggilan kasih sayang dari Illahi Rabbi bagi para hamba-Nya untuk menunaikan kewajibannya. Ibu dan Cika bangun segera menuju pancuran kemudian membasuh kedua telapak tangan tidak lupa berdo’a terlebih dahulu.Itu semua mereka lakukan dengan tertib dan khidmat. Setelah itu bersiap-siap pergi ke masjid, walaupun jaraknya lumayan jauh namun tidak menyurutkan langkah mereka untuk bisa turut serta melaksanakan shalat Subuh secara berjama’ah.     
            Setelah itu seperti biasa melanjutkan aktivitas masing-masing dengan berbeda tujuan tentunya. Di rumah mungil nan sangat sederhana itu, beralaskan tanah dan berdinding bambu terlihat mulai ada kesibukan yang berarti. Ibu menyuruh Cika untuk mengambil cucian di rumah para tetangganya. Dan Cika sebagai anak yang berbakti, taat dan patuh terhadap perintah ibunya langsung melaksanakan tanpa banyak alasan. Inilah merupakan suatu bentuk refleksi begitu bahagianya, begitu beruntungnya orang tua yang memiliki anak yang berbakti, anak yang bisa membanggakan orangtuanya.
            Dari rumah ke rumah mulai Cika sambangi. Kebanyakan dari mereka bersikap baik terhadap keluarga Cika bahkan ada yang menaruh simpati dengan memberikan upah berlebih. Namun ada juga mereka yang tidak menghargai jerih payah ibu Cika. Adakalanya mereka merasa tidak puas dengan  layanan yang telah diberikan dengan menyuruh ibu Cika untuk mencuci kembali pakaian-pakaian dengan alasan kurang bersih. Namun semuanya itu dihadapi ibu dan Cika dengan hati lapang dan sabar menerima segala cobaan dan ujian hidup. Yakin bahwa dibalik itu semua akan ada kebahagiaan yang tidak pernah terduga sebelumnya.
            Siang menjelang tiba, teriknya sinar sang mentari semakin menyengat saja. Di belakang rumah, Cika lagi asyik menjemur pakaian-pakaian yang telah dicuci oleh ibu. Sedangkan ibu sendiri lagi sibuk untuk menyiapkan makan siang, seadanya. Bahkan mereka sering makan hanya dua kali sehari, pagi digabung dengan siang dan malamnya. Itu saja dengan rezeki yang pas-pasan. Kalau tidak ada lauk atau sayur, nasi+sambal pun jadi.
            Ketika lagi asyiknya dengan pekerjaan masing-masing tiba-tiba di balik pintu terdengar suara…
“Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumussalam…”,jawab ibu dan Cika kompak.
Setelah di buka…..
“E….neng Astri, mari masuk-masuk, jangan lama-lama di luar nanti kepanasan lho…”, ajak ibu.
“Iya Bu, terima kasih. Cikanya ada Bu?”,tanya Ustadzah Astri.
“Ada kok, tunggu sebentar ya Ibu panggilkan dulu”,sambil berdiri pergi menuju belakang rumah.
            Ustadzah Astri memang sudah dianggap sebagai kakak Cika, karena dialah satu-satunya orang yang paling dekat dengan Cika. Ustadzah Astri yang selalu mengerti dan memberi perhatiannya selama ini. Di kala sedih, senang maupun susah pasti dia yang selalu berada di dekatnya dan bersedia sebagai tempat curahan hati Cika.
“Mbak Astri…..!!!”,sambil berlari seperti kakak adik yang sudah lama tidak lama bertemu.
“Cika….sini-sini duduk di samping Mbak, lagi ngapain ? ”,tanya Ustadzah Astri.
“Mbak kangen nich…bantuin Ibu jemur baju, dah selesai kok. Kalau buat Mbak gak bakalan ganggu deh….”,canda Cika.
“Ah kamu ini Dik, bisa aja….”,sambil tertawa.
“Tumben Mbak, siang-siang ke sini? Ad ap?”, tanya Cika.
“Cika mau ikut lomba? Kebetulan dua minggu lagi ada lomba tilawatil Qur’an. Gimana, mau kan?”,lanjut Ustadzah Astri.
“Apa iya Mbak? Tapi Cika takut…..”,jawab Cika ragu-ragu.
“Gak usah takut Dik, dicoba dulu. Kesempatan gak datang dua kali lho…Kalaupun gak menang gak masalah toh bisa nambah pengalaman?Lagian gak usah dipikirin dulu soal menang atau tidaknya kita serahkan semuanya pada Allah asal kamu rajin berlatih terlebih dahulu alias ikhtiar dan berdo’a,OK..!!”,tutur Ustadzah Astri meyakinkan.
“Gimana ya... Iya Mb’Cika ikut, asyik..!!!Teman Cika siapa?,tanya Cika lebih lanjut.
“Nanti untuk lomba tilawahnya dua orang, kamu dan Reni. Latihannya satu minggu tiga kali setiap sore, berangkat terus lho…”,jawab Ustadzah Astri.
            Cika senang sekali bisa mengikuti lomba yang belum tentu anak lain bisa mengikutinya. Dia mengikuti latihan dengan tekun. Berbeda dengan Reni. Dia sudah merasa pandai dan siap mengikuti lomba sehingga dia jarang berangkat latihan.
            Waktu berjalan begitu cepat. Detik demi detik, jam demi jam, hari demi hari telah mereka lalui sehingga tidak terasa kalau detik-detik menegangkan itu pun tiba. Setelah segala persiapan telah mereka lakukan, saatnya kompetisi yang begitu seru tentunya. Cika didampingi sang ibu menghadapi momen itu dengan rasa was-was disertai harap-harap cemas. Suasana tegang dimulai.
            Akhirnya giliran Cika untuk tampil di atas panggung. Semua mata tertuju padanya. Dengan penuh ketenangan hati secara pelan-pelan lantunan surat cinta dari Allah keluar dari bibirnya yang mungil itu. Huruf demi huruf, ayat demi ayat yang Cika lantunkan sungguh begitu mempesona. Semua hadirin terhenyak karenanya. Suaranya yang sangat merdu merayu menyentuh kalbu. Sungguh langsung merasuk ke dalam jiwa. Seperti ada tetesan embun pagi yang sangat sejuk menyegarkan jatuh dari langit sebagai rahmat bagi seluruh hamba-hamba-Nya.
            Semuanya terbuai dengan alunan ayat-ayat suci yang dibawakan Cika sampai-sampai tidak terasa telah usai. Namun kecemasan timbul di dalam hati Reni, yang sejak awal perlombaan sudah merasa cemas, jangan-jangan ia kalah dari Cika. Kalau itu sampai terjadi rasa malu tiada tara akan ia rasakan karena ia selalu menganggap remeh kemampuan orang lain khususnya terhadap Cika.
            Saat yang dinanti akhirnya datang juga. Tibalah dewan juri memberikan hasil perlombaan. Seluruh peserta diliputi rasa cemas yang begitu hebat. Lain halnya Cika, dia lebih bersikap tenang untuk menerima keputusan dewan juri. “Ya Allah…Cika harus siap, jangan takut…!!!Semangat!!!”,pinta Cika dalam hati.
            Juara harapan 1,2,3, juara tiga, juara dua telah dibacakan siapa yang berhak menerima hadiah. Kini tibalah saatnya membacakan hasil juara pertama.
“Untuk juara pertama diraih oleh…………saudari….Cika….!!!!”,seru dewan juri.
            Seakan disambar petir di siang bolong, Cika kaget mendengarnya. Semua teman-teman Cika langsung mendekap erat tubuhnya yang mungil itu meluapkan kegembiraannya. Sang ibu sampai meneteskan air mata melihat bakat yang dimiliki anaknya. Cika langsung diminta maju ke atas panggung menyusul pemenang lomba yang lain untuk menerima penghargaan berupa medali, sertifikat dan bingkisan menarik.
            Tidak terasa acara pun selesai. Sebagian besar hadirin telah meninggalkan tempat. Tiba-tiba dari belakang Cika ada sesosok yang menghampirinya. Tiada terduga dia adalah Reni, teman Cika yang selama ini bersikap kurang baik terhadapnya.
“Cika, selamat ya dan maafkan aku….!!!,”tutur Reni sambil meneteskan air mata.
“Trima kasih ya Ren….Sudahlah, jangan dipikirin”,balas Cika.
“Cika….aku seharusnya senang punyai sahabat seperti kamu…”,sambil berpelukan.
“Yuk pulang, hari sudah sore”,ajak Cika.
            Sesampainya di rumah, Cika sangat senang sekali. Dimana hari tersebut merupakan hari yang sangat istimewa baginya. Tidak sabar Cika segera membuka bingkisan yang diperolehnya. Ternyata isinya sebuah jilbab biru nan cantik dan anggun yang selama ini Cika idam-idamkan.
“Alhamdulillah…Ibu….ke sini dulu dech…!!”,teriak Cika memanggil ibunya.
“Iya Cika, ada apa ta Nduk, sepertinya seneng kalau Ibumu ini kaget…”,gumam ibu.
“Ini lho Ibu, coba lihat…”.
“Jilbab biru, bagus sekali coba dipakai, pantes gitu kok”,celoteh ibu sambil memperhatikan Cika yang mencoba jilbab barunya itu.
“Cika senang sekali Ibu….Lihat dech…cantik kan,”sambil tersenyum lebar menatap sang ibu.
            Begitulah ungkapan perasaan senang yang sangat jarang dirasakan oleh anak seperti Cika dimana apabila dilihat dari keadaan ekonominya sangat memperihatinkan. Namun Cika tidak pernah sedih menyikapi realitas yang ada. Bahkan hari-harinya selalu dilalui dengan hati senang tanpa adanya beban sedikitpun. Allah tidak pernah pilih kasih terhadap hamba-hamba-Nya. Ia selalu adil memberikan nikmat dan rezeki-Nya bagi mereka-mereka yang mau berusaha meraihnya.
Ya Allah….izinkan diri ini untuk selalu mensyukuri nikmat-Mu
Jadikan hamba termasuk orang-orang yang pandai mensyukuri segala pemberian-Mu
Karena tanpa itu semua tiada apa-apanya diri ini dihadapan-Mu
Diri ini sangatlah kerdil di bawah kuasa-Mu.
Yang nantinya akan kembali kehadirat-Mu.

Di siang hari yang penuh rahmat
Yang lemah tiada kuasa
Karin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar