Created by Kareen el-Qalamy
Kisah ini terinspirasi dari perjalanan hidup seorang ikhwah. Ikhwah yang mempunyai semangat juang yang tinggi baik itu untuk kepentingan dunia maupun akhirat. Tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya. Selalu bersemangat menjalani lika-liku kehidupan yang semakin banyak tantangan menghadang. Dan itu membutuhkan orang-orang tangguh agar tidak tersisih di zaman globalisasi ini.
Ahmad, nama panggilan yang akrab digunakan oleh orang-orang terdekatnya. Tinggal di sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian kota Klaten. Rumah yang ditempati bersama keluarganya juga sangat sederhana. Sebagian besar bangunannya masih terdiri dari kayu. Selain ibu, bapak dari Ahmad, masih ada lima orang adiknya, tiga perempuan dan dua laki-laki. Jadi bapak dan ibunya Ahmad mempunyai anak sejumlah enam orang. Sungguh keluarga yang bisa dikatakan besar.
“Sudah sarapan belum Nak?”, sapa ibu.
“Sudah Bu”,sambil memakai sepatu, bergegas berangkat ke sekolah.
“Berangkat dulu Bu, assalamu’alaikum….”,seusai mencium tangan ibu.
“Hati-hati Nak, dah pamitan dengan bapak belum? Nanti bapakmu akan berangkat ke Jakarta lho…”, seloroh ibu.
“Sudah Bu”, dengan cepat kuraih sepeda ontelku yang sudah usang.
Beginilah hari-hari yang kujalani. Maklum seorang pelajar di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Klaten, sudah menjadi rutinitas di pagi hari mengayuh sepeda menyusuri jalanan kota. Jarak tempuh kurang lebih 30 km ini membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai. Jadi pukul enan pagi aku harus bergegas berangkat ke sekolah.
Teknik mesin merupakan jurusan favoritku ketika masih SMP. Kalau ditanya kenapa tidak memilih sekolah di SMA saja, karena aku mempunyai cita-cita untuk segera mencari nafkah selepas lulus sekolah nanti. Agar bisa membantu dan meringankan beban orang tua dalam mencari nafkah, khususnya bapak. Bapak seorang penjual es, yang harus pergi merantau ke luar kota demi kelangsungan hidup keluarga. Pulang ke rumah hanya satu kali dalam setahun. Itu hanya pada waktu hari raya Idul Fitri.
Tet…tet…tet….Bel tanda masuk telah berbunyi. Tepat pada waktunya. Setelah memarkirkan sepeda, langsung masuk kelas. Di dalam teman-teman sudah duduk manis siap menerima pelajaran yang akan disampaikan oleh guru. Menempati tempat duduk di barisan paling depan memang kesukaanku. Agar konsentrasi selalu terpusat dan optimal tentunya.
“Assalamu’alaikum pren….,”sapaku kepada teman satu bangku. Heri namanya.
“Wa’alaikumussalam boss…wah…wah…semangat banget nich…”,sambutannya hangat.
“Ya harus donk…Hidup itu harus penuh semangat, jangan loyo, OK…!!!,”timpalku.
“OK dech…kalau begitu…,”ujarnya sampil mengacungkan kedua jempol tangannya ke arahku.
Aku senang sekali mempunyai teman satu kelas yang baik-baik. Mereka sangat perhatian, apalagi teman satu organisasi rohis di sekolah. Mereka mempunyai semangat dakwah yang tinggi. Walaupun anak-anak rohis berkecimpung di dakwah sekolah tapi dalam bidang akademisnya tidak mau ketinggalan dengan siswa yang nota bene hanya mementingkaan belajar saja alias study oriented. Banyak diantara teman-teman rohis itu menjadi bintang kelas. Menjadi sebuah keistimewaan bagi mereka dibandingkan dengan siswa-siswa pada umumnya.
Kadang, yang menjadi tantangan bagi anak rohis itu tentang manajemen waktu. Dimana mereka harus pandai membagi waktu. Waktu antara belajar dan berorganisasi. Keduanya harus seimbang, jangan sampai berat sebelah. Memang tanpa disadari banyak keuntungan yang bisa didapat melalui organisasi. Karena ilmu yang dibutuhkan tidak hanya didapat di dalam kelas saja. Ada nilai plus yang bisa diraih di organisasi. Kita bisa menyalurkan bakat dan kreatifitas yang dimiliki. Melatih keberanian mental untuk mengemukakan pendapat di muka umum.
Salah seorang guru masuk kelas. Pak Hanung, guru matematika sekaligus guru favoritku. Beliau dibandingkan dengan guru yang lain mempunyai karakter tersendiri saat mendidik peserta didiknya.
“Anak-anak pagi ini kita akan belajar bab selanjutnya, ada yang telah belajar mungkin tadi malam, kira-kira bab apa yang akan kita pelajari pagi ini?”,tanya Pak Hanung mengetes kira-kira dari sekian peserta didiknya ada yang sudah belajar belum.
Aku pun mengacungkan jari,”Saya Pak, bab yang kan kita pelajari berkenaan dengan statistika Pak”.
“Tepat sekali jawabanmu Ahmad,mari segera kita mulai pelajaran kita. Namun terlebih dahulu Bapak akan berbagi pengalaman hidup buat kalian. Dan Bapak yakin apa yang Bapak ceritakan akan sangat berarti buat kalian. Untuk bekal menjalani hidup ini. Kalian juga tahu Bapak sudah berusia lanjut, tentunya sudah banyak makan garam lautan,”ujar Pak Hanung.
Dengan penuh antusias teman-teman memperhatikan apa yang disampaikan oleh pak Hanung. Inilah salah satu ciri khas pak Hanung, guru matematika sekaligus guruku paling favorit. Pak Hanung dengan rela menyisihkan waktunya demi anak didiknya agar bisa menyongsong masa depan lebih baik. Dengan berbagi pengalaman hidup, beliau tidak mau kalau anak didiknya mengalami hal yang sama dengan beliau. Dimana beliau harus berjuang mati-matian untuk meraih kebahagiaan hidup.
Itulah yang selama ini menjadi salah satu motivasi hidupku. Walaupun keadaan perekonomian keluargaku sangatlah pas-pasan, hanya mengandalkan laba hasil penjualan es yang dikirim tiap bulan oleh ayah. Aku tidak boleh takut untuk bermimpi. Aku bercita-cita setelah lulus SMK nanti, aku ingin pergi merantau ke Jakarta. Bekerja di perusahaan Astra Motor, sesuai dengan jurusan yang kuambil sekarang.
Padahal sekarang ini aku sudah kelas XII. Kurang dari satu tahun UAN harus kuhadapi. Segala persiapan sedikit demi sedikit harus segera kulakukan. Entah itu dari segi materi pelajaran yang akan diujikan, segi kesehatan dan satu lagi segi biaya juga tidak ketinggalan. Kalau dari segi materi dan kesehatan insya Allah sudah kupersiapkan dari jauh-jauh hari. Yang membutuhkan persiapan ekstra adalah segi biaya. Selama ini aku berusaha untuk menyisihkan uang saku yang secara rutin tiap bulan dikirimkan oleh ayah. Aku berusaha berhemat pengeluaran. Sebisa mungkin uang yang ada hanya aku gunakan untuk keperluan yang sekiranya bersifat mendesak dan sangat perlu. Jadi harus sangat hati-hati di dalam penggunaan uang.
Jam belajar di sekolahpun usai sudah. Namun masih ada tambahan jam pelajaran untuk persiapan UAN yang sebentar lagi menghadang di depan mata. Mungkin Maghrib baru sampai rumah. Namun ternyata hanya satu jam saja dari jadwal yang biasanya karena guru mata pelajaran yang bersangkutan terburu-buru meninggalkan kelas ada suatu hal yang harus dikerjakan.
“Suasana sore hari yang begitu bersahabat, menyusuri jalan desa. Keasrian masih nampak,”batinku.
Pulang menuju rumah ditemani sepeda buntutku. Sendirian. Tidak seperti hari biasanya, dimana ada dua orang teman yang selalu membersamaiku ketika pulang. Sesampainya di rumah pas waktu adzan Maghrib berkumandang. Segera kuambil air wudhu, lantas bergegas ke masjid. Selain shalat berjamaah ada kegiatan TPA juga.
Walaupun kegiatanku padat namun tetap aku sempatkaan untuk mengajar TPA di desa. Kondisi TPA di desaku sangatlah memprihatinkan. Dan yang biasanya mengajar itu hanya tiga orang, yakni mereka para remaja masjid itu sendiri. Sedangkan anak-anak atau santrinya menyambut baik, bahkan sangat antusias dengan diadakannya TPA. Hal itu bisa dilihat dari jumlah anak yang hadir. Sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan jumlah ketersediaan tenaga pengajar baik itu ustadz maupun ustadzah. Oleh sebab itu diri ini rasanya berat sekali ketika meninggalkan TPA barang cuma satu hari saja.
Walaupun UAN semakin dekat, namun kegiatanku tetap padat saja. Tidak ada yang berkurang hanya alasan mau persiapan menghadapi UAN. Setelah pulang dari sekolah habis jam tambahan pelajaran sesampainya di rumah aku masih mengajar TPA. Padahal teman-teman desa yang satu angkatan denganku kebanyakan izin tidak mengajar TPA terlebih dahulu selama ujian berlangsung. Bagiku tidaklah mengapa tetap mengajar TPA asalkan sudah ada persiapan untuk menghadapi ujian. Mau tidak mau harus siap.
Ayam berkokok menyapa, pertanda hari sudah menginjak fajar. Bergegas bangun turun dari tempat tidur segera kuambil air wudhu. Tidak lupa kubangunkan adik-adikku agar mereka terbiasa bangun pagi.
“Dik…dik…!!Ayo bangun….!!!Dah adzan lho…..,”suaraku agak memaksa
“OK Kak….,”jawab adikku yang nomor empat.
“Kakak ni….mengganggu saja, lha wong lagi enak-enaknya tidur….,”gerutu adikku nomor tiga. Memang adikku nomor tiga ini agak ngeyel dibandingkan dengan adikku yang lain. Apa mungkin karena dia anak laki-laki. Biasanya anak laki-laki bersikap suka membantah. Mungkin membutuhkan proses untuk menghilangkan sikapnya itu.
Setelah itu mandi, persiapan ke sekolah dengan agenda menghadapi UAN. Taklupa meminta do’a restu dari orang tua. Namun sayang bapak tidak di rumah, namun masih bisa minta restu lewat HP. Hari pertama jadwalnya adalah matematika.”Tenang Ahmad, insya Allah kamu dah siap menghadapinya,”batinku dalam hati memberikan motivassi agar tidak grogi. Kuusahakan untuk berangkat lebih awal dari hari biasanya.
Sesampainya di sekolah, pemandangan yang tidak seperti biasanya. Sepi. Hanya anak kelas tiga saja yang berlalu lalang. Maklum untuk ujian maka yang kelas satu dan kelas dua disuruh untuk belajar di rumah. Teman-teman pada sibuk memegang buku catatan masing-masing sambil serius membaca-baca tulisan yang ada di dalamnya.”Tet…tet…tet….,”suara bel berbunyi pertanda ujian segera dimulai. Beberapa pengawas sudah nampak menujju ke tiap-tiap ruang kelas.
Masuk ruangan serasa seperti masuk di medan pertempuran. Benar juga, medan pertempuran menghadapi soal-soal yang memerlukan jawaban. Soal dan lembar jawaban sudah dibagikan. Pertama-tama kutulis identitasku terlebih dahulu di lembar jawaban. Do’a, itulah yang selalu aku panjatkan dalam hati, dengan harapan agar UAN dapat kulalui dengan lancar. Kulihat tiap-tiap butir soal, ternyata kebanyakan ssoalnya seperti ini, alhamdulillah tidak terlalu jauh melenceng dari materi-materi yang sudah kupelajari.
Tiga hari ujian telah berlalu. Tinggal menunggu hasilnya keluar.
“Gimana Mad, ujiannya kemarin?,”sapa salah seorang teman yang secara tiba-tiba menepuk pundakku saat kududuk termenung di dalam masjid sekolah.
“Eh…kamu ta Syamsul….,mengagetkanku saja kamu ini…Tentang hasil UAN kita sekarang hanya bisa menyerahkan segala urusan kepada Allah, yang penting sudah berusaha,”jawabku.
Terdengar suara rombongan langkah kaki menuju masjid. Sesampainya suara itu di depan pintu ternyata itu rombongan ikhwan anak rohis.
“Assalamu’alaikum…,”sapa mereka.
“Wa’alaikumussalam…,”jawabku dan Syamsul serempak.
“Ada gerangan apa nih kalian rame-rame, bagus…baguss…Sii..p. Nah seperti inilah seharusnya jundi-jundi Allah yang tidak mengenal kata untuk menyerah, harus senantiasa bersemangat…,”sambil mengaacungkan jempol. Senang rasanyaa haati ini melihat adik-adik rohis yang selalu bersemangat, membuat diri ini ikut-ikutan bersemangat juga.”Alhamdulillah masih ada penerus perjuangan dakwah di sekolah ini, jangan sampai putus regenerasi,”batinku.
“Kak, kita siang ini mau mengadakan rapat untuk membahass perpisahan dengan Kakak-kakak kita ini…,”jawab Ikhsan. Dia adalah ketua rohis yang menjabat tahun ini.
“O…gitu ya…Subhanaallah…kalian ini…baiklah kalau begitu tak tunggu hasil rapatnya ya…Kalau boleh Kakak usul acara perpisahannya nanti dibuat yang semeriah mungkin. He..he…,”candaku.
“Sii..plah Kak kalau itu…,”tanggapan mereka yang meyakinkan. Memang sudah menjadi agenda tahunan anak rohis mengadakan acara perpisahan dengan kakak-kakak kelasnya yang sudah selesai menyelesaikan studinya. Tentu ini akan menjadi kenangan tersendiri. Nuansa yang tidak pernah dijumpai di tempat lain. Nuansa kekuatan ukhuwah yang begitu amat sangat kuat dibalut dengan semangat dakwah yang tidak kenal lelah. Itu semua tidak akan bisa di dapat dimana lagi kalau bukan bergabung dengan rohis SMA. Aku bersyukur sekali bisa mengenal dunia dakwak lewat rohis.
Tidak terasa sudah satu bulan pasca UAN. Detik-detik pengumuman menjelang, hari ini. Disaat kelas satu dan kelas dua sedang menikmati liburan semesteran. Kukayuh sepeda menuju sekolah demi meenerima undangan hasil ujian. Kali ini tidak sendiri. Ada ibu di belakangku. Berboncengan berdua melintasi jalan di pegungungan yang tidak rata, kadang menanjak tidak sedikit pula yang menurun.
“Gimana Nak…?Kira-kira hasilnya. Semoga yang dierikan hasil yang terbaik ya…,”tanya ibu saat masih dalam perjalanan.
“Amin semoga saja Bu,”jawabku disertai dengan suasana hati yang was-was. Ditambah lagi jantung berdegup semakin kencang saja, serasa seperti mau copot.”Ya Allah tenangkan hati ini,”batinku dalam hati.
Ruangan kelas dihadiri oleh orang tua dan wali murid dari tiap-tiap siswa. Pak Sutopo yang selama ini menjadi wali kelasku sudah siap membagikkan sejumlah amplop di tangannya. Tentu itu berisi hasil Ujian yang sedang dinanti. Aku tidak ikut masuk ke dalam ruangan kelas. Hanya bisa mengintip dari balik jendela. Sepertinya lama. Sambil menunggu lantas kulangkahkan kaaki ke masjid sekolah sekaligus menenangkan hati yang sedang bergejolak hebat ini. Segera kuambil wudhu, shalat Dhuha kutunaikan.
Dalam do’a yang kupaanjatkan salah satunya,”Ya Allah…berikanlah hamba hasil yang terbaik. Hamba tidak ingin mengecewakan orang tua yang selama ini bekerja keras membanting tulang demi membiayai anak-anaknya untuk terus sekolah”.
“Ahmad,…,”tiba-tiba ada suaara perempuan yang tidak asing bagiku menyapa dari belakang.
Setelah kutengok,”Ibu….Bagaimana Ibu bisa tahu kalau aku di sini?”.
“Tadi Ibu tanya ke salah seorang temanmu, katanya kamu di masjid,”jawab ibu.
“Bagaimana hasilnya Bu?”, tanyaku penuh selidik.
“Dibuka sendiri ya…,”sambil menyodorkan amplop putih. Kuterima amplop itu dengan tangan bergetar disertai sekujur tubuhku. Setelah kubuka hanya ada satu kataa yang tertera yaitu,”LULUS”. Dengan serta merta wajah ini menyentuh bumi, sujud syukur alhamdulillah terima kasih ya Allah…
Setelah lulus ingin rasanya segera menggapai cita-citaku selanjutnya yaitu keinginan untuk bekerja di PT Astra Motor di Jakarta. Serasa Allah selalu memberiku kemudahan. Suatu ketika ada panggilan dari pihak sekolah bahwa aku diterima di PT. Astra Motor. Selain meluluskan para siswanya SMK juga sekaligus menyalurkan siswanya agar bisa langsung bekerja. Langsung saja tawaran itu aku terima. Minggu depannya berangkat ke Jakarta. Ibu, bapak, dan adik-adikku….Aku selalu merindukan untuk berjumpa dengan kalian…
Itulah sekelumit kisah perjalanan hidup seorang ikhwan yang ternyata aplikasi dari inti sebuah buku yang berjudul,”Let’s Go! Muslim Muda Berani Beda karyanya Fadlan Al-Ikhwani dimana penggambaran seorang muslim muda yang mempunyai spirit yang luar biasa mewujudkan cita-cita ditengah-tengah kenyataan hidup yang sangat bertolak belakang.
Yogya, 25 November 2010
Cha-My
Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html