Presented by Kareen el-Qalamy
Pagi
ini, seolah-olah hanya sebatas rutinitasku semata. Bangun pagi. Itu saja dengan
rasa malas. Setelah itu mandi, tentu dengan langkah berat menuju kamar mandi
yang hanya berada di samping kamarku. Sepuluh menit kemudian, ada suara yang
tiba-tiba memanggilku.
“Dit....buruan
sarapan, nanti telat lho...,”teriak ibu memanggilku.
“Iya
Bu,”jawabku sambil melangkahkan kaki menuju dapur.
“Ada
yang ketinggalan tidak buku-bukunya? Prnya sudah dibawa?,”tanya ibu penuh
ketelitian. Beliau tidak mau anak bungsunya itu mendapat teguran dari guru
hanya karena sering lupa membawa buku pelajaran.
Aku hanya mengambil nasi sedikit
beserta sayur, dan lauk pauknya. Entah mengapa selera makanku tiba-tiba hilang.
“Kok
cuma sedikit makannya?,”tanya ibu sambil melihatku makan
“Keburu
terlambat nanti Bu,”jawabku dengan suapan terakhir yang masuk ke mulutku.
Setelah sarapan aku berangkat ke
sekolah. Walaupun waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, namun
dengan santainya kukayuh sepeda menuju sekolah. Seperti tidak ada semangat di
hari ini.
Aku bernama Aditya. Anak bungsu dari
dua bersaudara. Kakakku perempuan sudah menikah dan sekarang tinggal bersama
suaminya di luar Jawa, tepatnya di Kalimantan. Sedangkan aku duduk di bangku
SMA kelas XII. Aku tinggal berdua dengan ibu di sebuah desa terpencil di Jawa
Tengah. Ayah meninggalkan kami karena orang tua kami bercerai. Sudah sekitar
enam tahun aku hidup tanpa didampingi sosok seorang ayah.
Semenjak ayah dan ibu bercerai, aku
menjadi pribadi yang pendiam, tertutup dan suka menyendiri. Aku hampir tidak
mempunyai teman akrab. Teman-temanku seperti menjauhiku.
“Aditya
Bagus,”panggil guru matematika. Pelajaran untuk jam pertama hari ini adalah
matematika.
“Saya
Pak,”jawabku sambil mengacungkan tangan.
“PRnya
sudah dikerjakan? Coba kamu mengerjakan ke depan PR nomor satu,”pinta Pak
Karto. Beliau sudah berumur. Rambutnya saja sudah memutih. Termasuk guru senior
di sekolahku.
“Maaf
Pak,belum saya kerjakan,”jawabku dipenuhi rasa malu.
“Ya
sudah kalau begitu, tapi bapak minta tolong kamu mencoba mengerjakan ke
depan,”lanjut Pak Karto.
“Iya
Pak, akan saya coba,”sambil melangkah ke depan kelas.
Walaupun aku orangnya tertutup, akan
tetapi aku berusaha untuk mencoba segala hal karena aku suka tantangan. Berusaha
untuk tampil percaya diri di muka umum. Memang, aku terkenal malas mengerjakan
PR. Semua guru-guru di sekolahku sampai kuwalahan. Namun dibalik rasa malasku,
ada sisi positif dimana para guru juga memberikan apresiasi, yaitu mudah
menangkap pelajaran yang baru saja diberikan. Terkadang peringkat lima besar
dapat kuraih, namun belum pernah aku menduduki peringkat pertama. Hanya
beberapa menit saja aku selesai mengerjakan soal di papan tulis.
“Sudah
Pak,”aku memberitahukan kepada Pak Karto bahwasannya aku sudah selesai.
“Coba
kamu jelaskan jawabanmu kepada teman-temanmu,”pinta Pak Karto sambil melihat ke
arahku
Tidak lama kemudian aku selesai
memberikan penjelasan kepada teman-teman asal mula mendapatkan jawaban dari
soal tersebut. Setelah itu aku langsung kembali ke tempat duduk. Pak Karto
lantas memberikan konfirmasi atas jawabanku.
“Ada
yang perlu ditanyakan dengan cara pengerjaan dan jawaban dari Aditya?,”tanya
Pak Karto kepada siswa yang lain. Ditunggu beberapa detik tidak ada yang
mengacungkan tangan, itu tandanya teman-teman juga sudah paham.
“Ya
sudah kalau tidak ada pertanyaan atau tanggapan. Jawaban Aditya sudah benar,
namun cara pengerjaannya berbeda sedikit dengan apa yang sudah Bapak berikan.
Menurut Bapak itu sangat bagus,”sambil melihat ke arahku.
“Terkadang
soal matematika itu dapat dikerjakan dengan banyak cara. Justru itu bisa
melatih kreativitas kita dalam pemecahan soal. Ini akan sangat bermanfaat jika
dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika menjumpai suatu masalah,
kita bisa terlatih untuk mencari banyak solusi. Itulah salah satu manfaat atau
aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari,”Pak Karto menjelaskan secara
panjang lebar.
Begitulah Pak Karto, salah satu guru
yang aku segani. Walaupun beliau guru matematika, dimana matematika biasanya
menjadi momok bagi kebanyakan siswa. Namun seramnya matematika dapat tertutupi
dengan metode belajar beliau yang menyenangkan dan variatif. Sehingga para
siswa tidak merasa bosan atau kesulitan menerima ilmu matematika yang beliau
berikan.
Tet...tet...tet....tidak terasa dua
jam pelajaran matematika telah usai. Setelah itu jam istirahat selama tiga
puluh menit. Ketika aku ingin melangkahkan kaki keluar kelas, tiba-tiba ada
suara yang memanggilku dari dalam kelas.
“Aditya,...jangan
keluar dulu...,”suara tersebut ternyata suara Pak Karto dimana beliau masih di
dalam kelas.
“Oh...iya
Pak...,”dengan segera akupun berbalik arah menuju meja Pak Karto.
“Ada
apa ya Pak?,”tanyaku.
“Bapak
ingin bicara sebentar dengan kamu sekarang. Kamu ada waktu luang?,”jelas Pak
Karto.
“Oh...bisa
Pak. Mau dimana Pak?,”tanyaku lebih lanjut.
“Di
ruang perpustakaan saja.,”beliau sambil berdiri melangkahkan kaki keluar kelas
menuju perpustakaan. Akupun langsung mengikuti dari belakang.
Kira-kira ada
apa ya?, tanyaku dalam hati. Disertai dengan jantung
berdetak mulai terasa kencang. Baru kali ini Pak Karto memanggilku dan ingin
berbicara denganku. Sepertinya ada urusan penting yang ingin beliau sampaikan,
sampai-sampai meluangkan waktu istirahat beliau hanya untuk mengobrol denganku.
Sesampainya di perpustakaan, kami langsung menempati
kursi kosong. Seperti biasa, perpustakaan selalu saja menjadi tempat kedua yang
selalu ramai dikunjungi siswa setelah masjid. Aku juga mempunyai hobi membaca.
Mungkin sebagai pengisi waktu luang daripada hanya diam dan melamun. Secara
rutin seminggu sekali aku meminjam buku ke perpustakaan untuk aku bawa pulang.
Kami
memilih tempat duduk yang di pojok. “Jadi begini....,”Pak Karto mencoba
mengawali pembicaraan.
“Iya
Pak,”balasku.
“Maksud
Bapak meminta waktumu sebntar ada yang perlu Bapak bicarakan,”jelas Pak Karto.
“Tentang
apa ya Pak?,”tanyaku penasaran.
“Begini,
terkait kebiasaanmu tidak pernah mengerjakan PR, itu sebenarnya ada
apa?,”sambil menatapku dengan tajam penuh selidik.
Ternyata...soal kebiasaan burukku,batinku.
Aku termenung sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan Pak Karto.
“Kok
malah diam, cerita saja, tidak apa-apa, anggap saja Bapak ini Bapakmu di
sekolah. kalau ada masalah ceritakan saja, siapa tahu Bapak bisa membantu,”ujar
Pak Karto lebih lanjut.
“Bagaimana
ya Pak saya menjelaskannya? Terlalu panjang dan lebar Pak,”aku berusaha untuk
membuat prolog atas jawabanku selanjutnya.
“Begini
Pak, entah mengapa sesampainya di rumah saya dilanda rasa malas yang hebat. Nuansa
rumah saya sudah tidak nyaman lagi bagi saya Pak. Itu terjadi sudah enam tahun
lamanya semenjak bapak bercerai dengan ibu,”aku berusaha merangkai kata,
walaupun sulit. “Dan saya merasa sangat kasihan terhadap ibu yang setiap hari
kerja keras membanting tulang untuk membiayai kehidupan kami. Ibu saya hanya
seorang buruh cuci Pak. Saya ingin sekali membantu ibu bekerja, namun tetap
tidak bisa karena sore menjelang malam saya baru pulang setelah mengikuti les
untuk persiapan UN. Di satu sisi saya juga ingin membanggakan ibu dengan
mempersembahkan hasil terbaik dan berharap bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi
Negeri (PTN),”ceritaku panjang lebar, sedangkan Pak Karto diam memperhatikanku
dengan seksama disertai dengan tatapan matanya yang teduh.
“Sabar
ya Dit, ini ujian hidup buatmu. Kamu harus bisa melalui semuanya ini denganhati
yang lapang dan berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkan impianmu,”Pak Karto
mulai menanggapi apa yang telah aku ceritakan.
“Seperti
apa yang kamu bilang tadi, bahwa kamu ingin mempersembahkan hasil terbaik untuk
ibumu. Maka kamu harus belajar lebih giat lagi. Mumpung masih ada waktu dua
minggu lagi menjelang UN. Bapak minta selama waktu dua minggu ke depan kamu
selalu mengerjakan PR yang Bapak berikan karena nilai tugas juga menentukan
kelulusan, tidak hanya sekadar nilai UN saja,”ujar Pak Karto seolah-olah sedang
menasihati anaknya sendiri. aku seperti mendapatkan perhatian dan motivasi dari
bapak yang telah lama meninggalkanku.
“iya
Pak, mulai sekarang saya akan berusaha melakukan itu,”dengan mata berbinar
seperti mendapat semangat baru. Semangat untuk menyongsong masa depan.
“Terima
kasih Pak,”sambil mencium tangan Pak Karto
“Alhamdulillah, Bapak ikut senang
mendengarnya,”balas Pak Karto.
Tet...tet....tet....bel tanda masuk
pun berbunyi. Kami lantas berpisah, Pak Karto menuju ruang tamu, sedangkan aku
menuju ruang kelas untuk melanjutkan pelajaran berikutnya. Lama-lama aku
semakin menaruh simpatik dan bersyukur memiliki guru yang sangat perhatian
kepada siswa-siswanya seperti Pak Karto. Sampai-sampai muncul niatan dalam
hatiku, aku ingin menjadi seorang pendidik seperti halnya Pak Karto.
Sesampainya di rumah. Fajar mulai bersembunyi di
balik peraduannya. Kulihat ibu duduk termenung di halaman depan.
“Assalamu’alaykum,”sambil mencium tangan
ibu.
“Wa’alaykumussalam, gimana tadi
sekolahnya Le?,”tanya ibu.
”Alhamdulillah lancar Bu, tadi saya dapat
nasihat dari Pak Karto, guru matematika, diminta belajar tekun,”jelasku.
“Ya
sudah kalau gitu, segera mandi sana, habis itu makan. Kita hari ini makan
seadanya gak apa-apa ya,”seloroh ibu.
“Siap
Bu, apapun makanannya kalau yang masak ibu, pasti enak,”sambil tersenyum
menatap ibu lantas berdiri menuju ke dalam rumah.
Setelah selesai mandi dan makan malam,
tidak lama kemudian adzan Isya’berkumandang. Bergegas aku menuju masjid
menunaikan sholat Isya’berjamaah. Rumahku dekat dengan masjid. Hanya berjarak
beberapa meter saja. Sejak kecil ibu selalu menyuruhku untuk menunaikan sholat
lima waktu berjamaah di masjid.
Tidak terasa waktu menunjukkan pukul
20.00. teringat pesan nasihat dari Pak Karto untuk selalu rajin belajar dan
mengerjakan PR,. Buku pelajaran hari ini mulai kubuka satu persatu, mengecek
apakah ada PR atau tidak. Ternyata tidak ada PR untuk hari ini. Walaupun begitu
lantas aku melanjutkan untuk belajar. Biasanya aku jam 20.00 langsung tidur
tanpa belajar dan mengerjakan PR sama sekali. Namun karena aku sudah berjanji
pada diriku sendiri maka aku mulai membiasakan belajar rata-rata 1-2 jam perhari.
Dua minggu telah berlalu, Tidak
menyangka UN sudah di depan mata. Hari ini jadwal hari pertama UN. Setelah
berpamitan dengan ibu dan meminta doa restu agar diberi kemudahan dan
kelancaran saat mengerjakan UN aku bergegas berangkat lebih awal agar tidak
tergesa-gesa. Sesampainya di sekolah, masih dalam keadaan sepi, baru beberapa
siswa yang datang.
“Gimana
Dit? Dah siap?,”tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku.
Ketika
kutoleh ke belakang,”O...Kamu Wan, bikin kaget saja.”Ternyata yang menepuk pundakku
dari belakang adalah Wawan, teman sebangkuku. Akhir-akhir ini aku mulai membuka
diri dengan teman-teman.
“Mau
gak mau harus siap Wan,”jawabku.
“Aahhh....kalau
kamu mah pasti dah siap, kamu kan pinter soal matematika,”seloroh Wawan
menggodaku. Hari pertama UN jadwal mata pelajaran yang diujikan adalah
matematika
“Kamu
bisa aja, aamiin... kamu juga kulihat dh siap Wan. Kita selama ini kan belajar
bareng,”balasku.
“Semoga
kita sama-sama diberi kemudahan dan kelancaran ya Wan,aamiin...,”harap Wawan
“Aamiin....,”serentak
aku dan Wawan mengamini.
Tet...tet....bel tanda masuk berbunyi. Pertanda
waktu UN akan segera dimulai. Di dalam ruangan diawasi oleh dua orang pengawas
yang berasal dari sekolah lain. Keadaan sangat hening. Nampaknya seluruh siswa
sangat berkonsentrasi mengerjakan soal yang telah diberikan. Bismillah...dalam hati sebelum
mengerjakan soal. Mulai dari soal yang kuanggap paling mudah satu persatu dapat
kuselesaikan.
Waktu terus berjalandiberikan durasi 120 menit untuk
menyelesaikan 40 butir soal. Kulihat jam dinding tinggal 30 menit lagi.
Kutengok teman sekeliling masih tertunduk dengan tangan memegangi pensil. Semoga semuanya dimudahkan, pintaku
dalam hati.
Tidak lama kemudian bel pertanda berakhirnya waktu
mengerjakan pun berbunyi. Setelah soal disertai jawabannya telah dikumpulkan ke
pengawas, kulihat berbagai ekspresi teman-teman menghiasi wajah mereka. Ada
yang diam terpaku, ada yang lega, ada yang senang dll. Aku pun langsung
menghampiri Wawan yang tempat duduknya di pojok belakang.
“
Gimana tadi Wan? Bisa ngerjain kan?,”tanyaku.
“Aku
pasrah Dit..,”sambil menaruh kepala di atas meja.
“Ya
sudah, gak usah dipikirin. Yang berlalu biarlah berlalu,”aku berusaha menghibur
Wawan. Sambil menatap keluar kelas, tidak sengaja aku melihat Pak Karto lewat
did epan kelas. Langsung saja aku keluar kelas untuk mengejar beliau.
“Pak
Karta....!,”panggilku dari belakang, agar beliau berhenti sejenak. Setelah
beliau berhenti.
“Terima
kasih banyak ya Pak, berkat dorongan motivasi dari Bapak akhirnya saya bisa
bangkit dan mempersiapkan UN dengan baik,”aku ingin memberikan ucapan terima
kasih kepada Pak Karto sambil mencium tangan beliau.
“Iya
Dit, sama-sama. Bapak ikutan senang jika siswa-siswa Bapak berhasil dalam
prestasi,”balas beliau dengan tatapan teduh, menenangkan hati.
Hari pertama UN telah aku lalui.
Saatnya untuk mempersiapkan tiga hari yang akan datang karena masih ada
beberap[a mata pelajaran yang belum diujikan. Selama UN hampir aku menghabiskan
waktu di rumah untuk belajar. Aku ingin mewujudkan cita-citaku, semoga bisa.
Beberapa minggu kemudian pengumuman
kelulusan UN pun datang. Hasil pengumuman UN diambil oleh orang tua
masing-masing siswa. Aku ikut serta mengantarkan ibu untuk mengambil hasil
UNku. Ketika aku sampai di sekolah dan ibu masuk ke dalam ruang kelas, aku
berpapasan dengan Bu Yani. Beliau salah satu staf TU di sekolahku. Lantas
beliau memintaku untuk ikut ke ruang TU. Ada hal yang ingin beliau sampaikan.
Hal apakah itu yang membuatku bertanya-tanya sepanjang perjalanan menuju ruang
TU.
Sesampainya di ruang TU...
“Aditya
Bagus...,”panggil Bu Yani.
“Iya,
benar Bu...,”sahutku.
“Selamat
ya, kamu diterima di salah satu PTN favorit di Yogya di Fakultas Keguruan
dengan jurusan Pendidikan Matematika melalui jalur beasiswa berprestasi,”beliau
mengutarakan secara langsung.
Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang beliau
sampaikan, aku masih diam terpaku belum bisa berkata apa-apa. Bu Yani jadi
heran dengan sikapku. Lantas beliau berusaha meyakinkanku bahwa info itu benar
adanya.
“Adit,
kok malah diam? Mau gak diterima di PTN favorit lho di Yogya,”tanya Bu Yani
membuyarkan pikiranku yang baru saja dipenuhi rasa tidak percaya.
“Benaran
Bu? Alhamdulillah...terima kasih ya
Allah.....,”balasku penuh ekspresi rasa syukur. Aku mengucapkan terima kasih
kepada Bu Yani. Setelah itu berlari keluar menuju ke ruang kelas pembagian
hasil rapot. Tidak sabar ingin memberitahukan kabar gembira ini kepada ibu.
Ternyata ibu sudah menungguku di
luar kelas.
“Ibu....,”langsung
kupeluk ibu disusul mata yang berkaca-kaca. Apalagi ibu memberitahukanku bahwa
aku lulus dengan hasil memuaskan..
Empat tahun kemudian aku bisa
menyelesaikan perkuliahanku dengan meraih gelar sarjana. Tidak membutuhkan
waktu lama aku langsung mengajar di salah satu sekolah di kampung halaman,
sekaligus menemani ibu yang semakin tua. Selalu kuingat jasa Pak Karto, guru
teladan di hatiku. Tatapan matanya yang teduh, menyiratkan akan kesabaran yang
beliau miliki selama menjadi seorang guru. Suatu ketika mendapat kabar
bahwasannya beliau telah tiada. Saat itu juga air mataku meleleh. Melalui
beliau aku bisa meneruskan perjuangan beliau. Selamat tinggal Pak Karto. Engkau
telah mengabdi tiada henti. Amalanmu terus mengalir sampai kapanpun..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar