Presented by Kareen el-Qalamy
Setiap
makhluk-Nya mempunyai batasan usia masing-masing. Salah satunya termasuk tempat
yang dihuni oleh manusia yaitu bumi. Bumi apabila diperhatikan dari masa ke
masa (dilihat dari kondisinya), semakin hari semakin memprihatinkan saja.
Terserah pembaca boleh sepakat boleh tidak dengan apa yang saya tuliskan di
sini. Toh ini sekadar penilaian subjektif saya saja.
Melihat kondisi bumi yang semakin
parah ini menggelitik saya untuk menuangkan uneg-uneg
yang ada di pikiran ke dalam tulisan ini. Dengan harapan semakin banyak orang
yang membaca, semakin banyak orang pula yang tersadar untuk berubah mengubah
pola hidupnya. Karena kebiasaan yang tidak baik di suatu masyarakat apabila
terus dibiarkan saja maka lama-lama akan membudaya, menjadi suatu hal yang lumrah
dilakukan, padahal awalnya berasal dari kebiasaan yang tidak baik.
Khususnya bagi masyarakat Klaten dan
sekitarnya (apabila ada yang merasa tersinggung saya minta maaf).
Fenomena-fenomena ini sering saya jumpai. Pada awalnya hanya beberapa ruas
jalan saja atau beberapa desa saja yang saya lihat. Akan tetapi nampaknya
fenomena ini semakin meluas.
Terkait dengan pengelolaan sampah.
Memang sampah menjadi permasalahan yang nampaknya tidak ada habisnya dialami
oleh suatu daerah atau wilayah. Apalagi daerah atau wilayah itu mengalami
kepadatan penduduk. Sepertinya sudah kehabisan akal untuk menanggulangi sampah
yang kian hari kian menumpuk.
TPA (Tempat Pembuangan Akhir)
istilah yang sering kita dengar kaitannya dengan sampah. Mau tidak mau sampah
entah itu sisa rumah tangga atau limbah industri memerlukan area untuk
dijadikan TPA. Di TPAlah sampah-sampah tersebut dibuang atau akan mendatangkan
manfaat apabila bisa didaur ulang.
Entah apa yang saya rasakan, sebel, gregetan, risih, jijik dan sebagainya.
Bagi pembaca yang tinggal di sekitar Karangdowo, Pedan, Ceper jangan
tersinggung karena apa yang saya gambarkan di sini adalah sebuah realita. Toh
tidak semua tempat di Karangdowo, Pedan dan Ceper (atau masih ada daerah lain)
yang mengalami kondisi yang sama seperti yang saya gambarkan. Atau bagi pembaca
yang sering melewati jalan Cawas-Pedan, jalan Trucuk-Ceper, jalan
Pedan-Karangdowo (maaf apabila saya salah menyebutkan nama jalannya,maklum
bukan penduduk di tiga kecamatan tersebut) pasti mencim bau tidak sedap
ditambah lagi pemandangan sampah yang berserakan di pinggir jalan. Seolah-olah
pinggir jalan sudah beralih fungsi menjadi TPA.
Terkadang saya merasa heran, apakah orang-orang yang berlalu lalang di
sekitar jalan tersebut tidak merasa risih dan jijik? Bahkan nampaknya cuek dan
acuh tak acuh seperti sudah menjadi pemandangan yang biasa dan lumrah. Jujur
dalam hati saya merasa dongkol, kenapa hal seperti itu dibiarkan saja? Aparatur
pemerintah desa atau kecamatan juga nampaknya menutup mata dengan pemandangan
sampah menggunung di pinggir jalan.
Seperti tidak ada solusi yang dilakukan untuk menanggulangi pembuangan
sampah sembarangan di pinggir jalan. Misal memberikan tindakan tegas bagi
masyarakat yang membuang sampah sembarangan di pinggir jalan, mempersiapkan TPA
yang layak dan jauh dari pemukiman atau aktivitas masyarakat dan memberikan
apresiasi bagi aktivis lingkungan yang memberikan perhatiannya terhadap
kelestarian lingkungan. Atau memberikan
sosialisasi kepada masyarakat tentang ketrampilan untuk bisa mendaur ulang
sampah, minimal mendaur ulang sampah rumah tangga.
Jadi pinggir jalan yang seharusnya bisa ditanami pepohonan dan berfungsi
untuk mengurangi polusi udara, malah semakin menambah pencemaran udara berupa
bau yang tidak sebab akibat sampah yang menggunung. Pencemaran yang diakibatkan
oleh sampah tidak sebatas pada pencemaran udara saja, tetapi juga pencemaran
tanah dan air yang ada di lingkungan sekitar. Semoga segera ada tindakan dari
aparatur pemerintah desa, kecamatan atau kabupaten. Selain itu juga diperlukan
kesadaran dari masyarakat untuk tetap melestarikan kebersihan lingkungan,
minimal dengan tidak membuang sampah sembarangan. Karena kondisi lingkungan
masyarakat itu mencerminkan kebiasaan hidup masyarakat juga. Kalau kondisi
lingkungan kumuh, kotor, jorok, bisa diambil kesimpulan bahwasannya masyarakat
yang mendiami lingkungan tersebut juga memiliki gaya hidup kumuh, kotor dan
jorok.