Kamis, 17 Oktober 2013

Sang Pemangsa Predator


Presented by Kareen el-Qalamy


Sudah tidak disangsikan lagi bahwasannya Indonesia menjadi salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam. Khususnya terkait kekayaan flora dan fauna. Beribu bahkan berjuta spesies flora dan fauna yang hidup tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Kekayaan alam ini tentu sangat menguntungkan bagi Indonesia karena bisa dijadikan sebagai salah satu alat untuk menopang kehidupan atau sebagai salah satu sumber penghasilan. Sektor perikanan, pertanian, perkebunan dan peternakan sudah membuktikan hal tersebut. Sangat beragamnya jenis ikan dan hewan laut merupakan komoditas dari sektor perikanan dan kelautan. Beranekaragam jenis tumbuhan layak konsumsi juga mendukung pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian dan perkebunan. Bervariasinya hewan ternak yang dapat hidup di iklim Indonesia juga tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sektor perikanan dimana masyarakat yang hidup di daerah pesisir tentu sangat menggantungkan hidupnya dengan berprofesi sebagai nelayan. Banyak sedikitnya penghasilan dari hasil melaut sangat bergantung pada banyak sedikitnya jumlah tangkapan dan jenis tangkapannya. Salah satu komoditas tangkapan nelayan yang paling menjanjikan yaitu ikan jenis hiu.
Ikan hiu menjadi komoditas tangkapan yang paling diminati karena terbukti akan kelezatan siripnya ketika diolah menjadi santapan. Ditambah lagi sirip ikan hiu mengandung khasiat sebagai penambah stamina dan orang yang mengkonsumsi sirip ikan hiu akan awet muda. Namun, ternyata khasiat yang selama ini disebut-sebut ada dalam sirip hiu tersebut hanya mitos belaka. Beberapa ahli kesehatan sudah membuktikannya.
Sekarang ini penangkapan hiu semakin marak dilakukan. Berdasarkan data dari Data FAO. Hiu telah menjadi perhatian global. Setidaknya 8,000 ton sirip hiu kering diperdagangkan secara global setiap tahunnya. Data FAO (2010) juga menunjukkan, Indonesia berada pada urutan teratas dari 20 negara penangkap hiu terbesar di dunia. Negara tujuan ekspor sirip ikan hiu diantaranya Cina dan Singapura. Padahal jelas-jelas sudah ada peraturan bertaraf internasional yang mengatur akan larangan perburuan ikan hiu tersebut. Ikan hiu dikhawatirkan akan mengalami kepunahan karena perburuan besar-besaran yang dilakukan hanya karena ingin mendapatkan keuntungan yang besar.
Sumber dari Wikipedia menyebutkan ikan hiu adalah sekelompok (superordo Selachimorpha) ikan dengan kerangka tulang rawan yang lengkap  dan tubuh yang ramping. Mereka bernapas dengan menggunakan lima liang insang (kadang-kadang enam atau tujuh, tergantung pada spesiesnya) di samping, atau dimulai sedikit di belakang, kepalanya. Hiu mempunyai tubuh yang dilapisi kulit dermal denticles untuk melindungi kulit mereka dari kerusakan, dari parasit, dan untuk menambah dinamika air. Mereka mempunyai beberapa deret gigi yang dapat digantikan.
Hiu mencakup spesies yang berukuran sebesar telapak tangan. Hiu pigmi, Euprotomicrus bispinatus, sebuah spesies dari laut dalam yang panjangnya hanya 22 cm, hingga hiu paus, Rhincodon typus, ikan terbesar yang mampu tumbuh hingga sekitar 12 meter dan yang, seperti ikan paus, hanya memakan plankton melalui alat penyaring di mulutnya. Hiu banteng, Carcharhinus leucas, adalah yang paling terkenal dari beberapa spesies yang berenang di air laut maupun air tawar (jenis ini ditemukan di Danau Nikaragua, di Amerika Tengah) dan di delta-delta.
Hiu umumnya lambat mencapai kedewasaan seksualnya dan menghasilkan sedikit sekali keturunan dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya yang dipanen. Hiu membutuhkan rentang waktu 2-3 tahun untuk bereproduksi. Keturunan yang dihasilkannya pun sangatlah sedikit karena hanya berjumlah 1-10 ekor anakan. Hal tersebut membutuhkan upaya keras dari berbagai pihak untuk melestarikan jenis ikan hiu atau kalau perlu diadakan konservasi dengan cara penangkaran hiu dari proses perkawinan sampai kelahiran anak hiu lantas ketika sudah waktunya dilepaskan kembali ke habitat aslinya.
Bisa dibayangkan jika hiu yang notabene menempati posisi rantai makanan teratas alias sebagai predator menghilang dari peredaran atau punah. Hal ini akan mengakibatkan terputusnya rantai makanan dan menimbulkan ledakan populasi jenis ikan yang berada di bawahnya. Terputusnya rantai makanan dan timbulnya ledakan populasi karena mereka tidak ada yang memangsa sehingga akan saling serang dan memangsa satu sama lain untuk memperebutkan makanan. Kalau sampai hal itu terjadi betapa kacaunya kehidupan bawah laut.
Indonesia sebenarnya sudah ada undang-undang yang mengatur terkait pengelolaan sumber daya alam. Hal tersebut dapat dilihat dalam Bunyi pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut : ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, ayat (4), Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan ayat (5); Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Jadi sumber alam yang ada dikelola oleh negara secara adil agar dapat dimanfaatkan oleh rakyat dengan semaksimal mungkin.
UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan 6 ini tidak bisa berdiri sendiri. Harus dibuat lagi semacam peraturan perundang-undangan yang secara khusus untuk melarang penangkapan ikan hiu. Lebih bagus lagi seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah raja Ampat. Pemerintah daerah raja Ampat dengan tegas  mengeluarkan semacam peraturan daerah (perda) yang berisikan larangan penangkapan dan perdagangan ikan hiu. Akan lebih maksimal jika usaha dari pemerintah raja Ampat juga diikuti oleh daerah-daerah lain agar populasi ikan hiu dapat terselamatkan dan generasi mendatang masih menjumpai hewan predator ini.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar