Presented by Kareen el-Qalamy
Sudah tidak disangsikan lagi bahwasannya Indonesia
menjadi salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam. Khususnya terkait
kekayaan flora dan fauna. Beribu bahkan berjuta spesies flora dan fauna yang
hidup tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Kekayaan alam ini tentu sangat
menguntungkan bagi Indonesia karena bisa dijadikan sebagai salah satu alat
untuk menopang kehidupan atau sebagai salah satu sumber penghasilan. Sektor
perikanan, pertanian, perkebunan dan peternakan sudah membuktikan hal tersebut.
Sangat beragamnya jenis ikan dan hewan laut merupakan komoditas dari sektor
perikanan dan kelautan. Beranekaragam jenis tumbuhan layak konsumsi juga
mendukung pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian dan perkebunan.
Bervariasinya hewan ternak yang dapat hidup di iklim Indonesia juga tidak bisa
dipandang sebelah mata.
Sektor perikanan dimana masyarakat
yang hidup di daerah pesisir tentu sangat menggantungkan hidupnya dengan
berprofesi sebagai nelayan. Banyak sedikitnya penghasilan dari hasil melaut
sangat bergantung pada banyak sedikitnya jumlah tangkapan dan jenis
tangkapannya. Salah satu komoditas tangkapan nelayan yang paling menjanjikan
yaitu ikan jenis hiu.
Ikan hiu menjadi komoditas tangkapan
yang paling diminati karena terbukti akan kelezatan siripnya ketika diolah
menjadi santapan. Ditambah lagi sirip ikan hiu mengandung khasiat sebagai
penambah stamina dan orang yang mengkonsumsi sirip ikan hiu akan awet muda.
Namun, ternyata khasiat yang selama ini disebut-sebut ada dalam sirip hiu
tersebut hanya mitos belaka. Beberapa ahli kesehatan sudah membuktikannya.
Sekarang ini penangkapan hiu semakin
marak dilakukan. Berdasarkan data dari Data FAO. Hiu telah menjadi perhatian
global. Setidaknya 8,000 ton sirip hiu kering diperdagangkan secara global
setiap tahunnya. Data FAO (2010) juga menunjukkan, Indonesia berada pada
urutan teratas dari 20 negara penangkap hiu terbesar di dunia. Negara tujuan
ekspor sirip ikan hiu diantaranya Cina dan Singapura. Padahal jelas-jelas sudah
ada peraturan bertaraf internasional yang mengatur akan larangan perburuan ikan
hiu tersebut. Ikan hiu dikhawatirkan akan mengalami kepunahan karena perburuan
besar-besaran yang dilakukan hanya karena ingin mendapatkan keuntungan yang
besar.
Sumber
dari Wikipedia menyebutkan ikan hiu
adalah sekelompok (superordo Selachimorpha) ikan
dengan kerangka tulang rawan
yang lengkap dan tubuh yang ramping.
Mereka bernapas dengan menggunakan lima liang insang
(kadang-kadang enam atau tujuh, tergantung pada spesiesnya) di samping, atau
dimulai sedikit di belakang, kepalanya. Hiu mempunyai tubuh yang dilapisi kulit
dermal denticles untuk melindungi kulit mereka dari kerusakan, dari parasit,
dan untuk menambah dinamika air.
Mereka mempunyai beberapa deret gigi yang dapat digantikan.
Hiu
mencakup spesies yang berukuran sebesar telapak tangan. Hiu pigmi, Euprotomicrus
bispinatus, sebuah spesies dari laut dalam yang panjangnya hanya
22 cm, hingga hiu paus, Rhincodon typus,
ikan terbesar yang mampu tumbuh hingga sekitar 12 meter dan yang, seperti ikan
paus, hanya memakan plankton
melalui alat penyaring di mulutnya. Hiu
banteng, Carcharhinus leucas, adalah yang paling terkenal
dari beberapa spesies yang berenang di air laut maupun air tawar (jenis ini
ditemukan di Danau Nikaragua, di
Amerika Tengah)
dan di delta-delta.
Hiu umumnya lambat mencapai
kedewasaan seksualnya dan menghasilkan sedikit sekali keturunan dibandingkan
dengan ikan-ikan lainnya yang dipanen. Hiu membutuhkan rentang waktu 2-3 tahun
untuk bereproduksi. Keturunan yang dihasilkannya pun sangatlah sedikit karena
hanya berjumlah 1-10 ekor anakan. Hal tersebut membutuhkan upaya keras dari
berbagai pihak untuk melestarikan jenis ikan hiu atau kalau perlu diadakan
konservasi dengan cara penangkaran hiu dari proses perkawinan sampai kelahiran
anak hiu lantas ketika sudah waktunya dilepaskan kembali ke habitat aslinya.
Bisa dibayangkan jika hiu yang
notabene menempati posisi rantai makanan teratas alias sebagai predator
menghilang dari peredaran atau punah. Hal ini akan mengakibatkan terputusnya
rantai makanan dan menimbulkan ledakan populasi jenis ikan yang berada di
bawahnya. Terputusnya rantai makanan dan timbulnya ledakan populasi karena
mereka tidak ada yang memangsa sehingga akan saling serang dan memangsa satu
sama lain untuk memperebutkan makanan. Kalau sampai hal itu terjadi betapa
kacaunya kehidupan bawah laut.
Indonesia sebenarnya sudah ada
undang-undang yang mengatur terkait pengelolaan sumber daya alam. Hal tersebut
dapat dilihat dalam Bunyi pasal 33 UUD
1945 sebagai berikut : ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, ayat (4), Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan ayat (5);
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang. Jadi sumber alam yang ada dikelola oleh negara secara adil agar
dapat dimanfaatkan oleh rakyat dengan semaksimal mungkin.
UUD 1945 pasal 33
ayat 3 dan 6 ini tidak bisa berdiri sendiri. Harus dibuat lagi semacam
peraturan perundang-undangan yang secara khusus untuk melarang penangkapan ikan
hiu. Lebih bagus lagi seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah raja
Ampat. Pemerintah daerah raja Ampat dengan tegas mengeluarkan semacam peraturan daerah (perda)
yang berisikan larangan penangkapan dan perdagangan ikan hiu. Akan lebih
maksimal jika usaha dari pemerintah raja Ampat juga diikuti oleh daerah-daerah
lain agar populasi ikan hiu dapat terselamatkan dan generasi mendatang masih
menjumpai hewan predator ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar