Presented by Kareen el-Qalamy
Tahun
2013 menjadi salah satu tahun spesial buatku. Sebuah momen spesial di tahun
2013 alhamdulillah aku dapat
menyelesaikan studi S1 Pendidikan Matematika di salah satu perguruan tinggi
negeri ternama di Yogya. Tanggal 14 Desember 2013 menjadi kenangan indah saat
disematkan gelar S.Pd.Si pada namaku. Keluarga datang mengantarkanku ke acara
wisuda. Hampir semua orang, sahabat dan teman memberiku ucapan selamat atas
kesuksesanku.
“Rina....selamat
ya...,” ucapan dari bapak, ibu dan adik sambil bergantian memelukku.
“Terima
kasih ya Bapak, Ibu dan Adik yang selama ini menjadi motivatorku,” ujarku
sampai tidak kuat menahan tangis.
Bertolak dari kampus karena acara
wisuda telah selesai. Kami langsung pulang. Sepanjang perjalanan ucapan rasa
syukur tidak henti-hentinya mengalir, memenuhi rongga hatiku yang memang sedang
dilanda kebahagiaan. Beberapa ikat bunga kupandangi terus menerus semenjak
perjalanan hingga sesampainya di rumah. Bunga-bunga yang diberikan oleh
sahabat, teman dan keluarga sebagai tanda ucapan selamat. Tetapi sayang, bunga
spesial dari seorang laki-laki spesial di hatiku belum bisa aku terima. Toh
lelaki yang kumaksud juga belum tahu yang mana, siapa dan kapan dia akan datang,
ah sudahlah...batinku. Aku memang
berusaha untuk tidak terlalu memikirkan masalah jodoh, walaupun sekarang aku
sudah lulus kuliah.
Keesokan harinya....
“Assalamu’alaykum. Rina, kamu pengen
ngajar gak?,” sebuah SMS mendarat di Hpku.
“Wa’alaykumussalam. Pengen banget
Vita..., dimana ngajarnya?,”tanyaku bersemangat.
“Nggantiin
aku ngajar di SDIT Baitussalam Prambanan, soalnya aku resend. Kamu segera persiapkan persyaratannya ya, besok kita
ketemuan,” balas temanku.
“OK, Insha Allah,” seperti menerima rezeki
takterduga. Memang sudah menjadi keinginanku untuk langsung bekerja setelah
lulus dan Allah mengabulkannya, alhamdulillah.
Langsung saja aku mempersiapkan
segala persyaratan yang dibutuhkan. Mulai dari fotokopi ijazah, CV, fotokopi
transkrip nilai dan pas foto. Setelah kulihat pas foto yang dimaksud berukuran
3x4 berwarna. Padahal foto yang tersisa tinggal berukuran 2x3 berwarna. Berarti harus cetak foto dulu, batinku.
Sore harinya di saat semua anggota
keluarga berkumpul, aku beritahukan informasi berkenaan tawaran mengajar dari
teman. Alhamdulillah, semuanya
meenyerahkan segala keputusan kepadaku. Semoga ini menjadi ladang amalku
selanjutnya, aamiin. Rasanya
taksabaran untuk menunggu hari esok tiba. Segera kupejamkan mata untuk
menyambut esok hari dengan penuh keceriaan dan penuh semangat.
@ @ @
Kring.........!!! Nada alarm HPku
berbunyi. Lantas bergegas bangun dan mengambil air wudhu. Bertepatan dengan
alunan suara adzan Subuh yang begitu syahdu terdengar di saat sang fajar mulai
menyingsing. Kulakukan sholat Subuh dengan khidmat, taklupa disertai dengan
sholat sunnah Rawatib sebelum Subuh dengan harapan semua aktivitasku hari ini
berjalan lancar. Setelah itu sibuk mempersiapkan diri karena harus berangkat
pagi-pagi ke Prambanan.
“Nanti
ketemu di pertigaan lampu merah, kalau dari arah Yogya lampu merah pertama
setelah jembatan,” SMS Vita mengabarkan tempat pertemuanku dengannya.
“OK
Vita,”jawabku singkat. Karena selain mempersiapkan diri, aku juga harus
beres-beres rumah terlebih dahulu sebelum kutinggal. Maklum bapak, ibu dan adik
beraktivitas di luar rumah, jadi sebisa mungkin rumah dalam kondisi bersih
ketika kutinggal.
Perjalanan dengan sahabat setiaku,
si kuda merah berlangsung. Menyusuri jalan yang setiap dua kali dalam seminggu
kulalui. Setiap berangkat ke Yogya di awal pekan untuk memulai aktivitas
perkuliahan dan di akhir pekan ketika mudik. Itu dulu, sekarang sudah berbeda
kondisinya. Pasca kelulusanku, aku memutuskan untuk tinggal di Klaten sehingga
sekarang sudah jarang sekali ke Yogya. Namun bagaimanapun rute dari rumah-Yogya
menyimpan berjuta kenangan yang tidah mudah dilupakan begitu saja. Dengan
segala pemandangannya, rutinitasnya, kepadatannya, hiruk pikuknya dan masih
banyak yang lain, menjadikanku kangen untuk bisa melewatinya kembali.
Nampaknya belum banyak yang berubah.
Salah satu yang kusayangkan adalah kondisi jalannya yang banyak lubang. Sangat
berbahaya bagi pengendara sepeda motor. Oleh sebab itu saya harus berhati-hati
ketika melewatinya. Ditambah lagi kepadatan yang terjadi, tidak hanya sebatas
persaingan antar kendaraan bermotor atau mobil. Selain itu juga banyak sekali
truk-truk pasir dan bus pariwisata yang berlalu lalang di jalan ini. Maka
sebagai pengendara harus ekstra sabar dan berhati-hati.
Tidak terasa sudah sampai Prambanan.
Laju motorkuSegera pandanganku menyebar di segala sudut jalan mencari-cari
keberadaan Vita.
“Assalamu’alaykum Rin...., langsung ya?” tiba-tiba ada seorang
wanita mengendarai sepeda motor menghampiriku dari arah belakang.
“Wa’alaykumussalam. OK Vita,” bergegas
aku membuntutinya dari belakang.
Tidak sampai sepuluh menit dari
tempat perjumpaanku dengan Vita, sampailah kami di SDIT Baitussalam Prambanan.
Langsung saja Vita mengajakku untuk bertemu dengan salah satu ustadzah yang
menjadi penanggungjawab penerimaan pengajar baru. Lantas tidak lama kemudian
saya dipersilakan untuk memperkenalkan diri. Sembari memperkenalkan diri, Vita
meninggalkanku berdua dengan ustadzah itu. Ternyata ustadzah itu bernama
ustadzah Ummi.
“Mbak
Karina, sekarang langsung mengikuti tesnya ya. Nanti tesnya ada tiga tahap, tes
tertulis, tes wawancara dan tes BAQ sekaligus tahfidz,” ujar ustadzah Ummi.
“Inggih
Bu,” hatiku serta merta bergedup kencang ketika mengetahui ada tes tahfidz
juga. Padahal hafalanku baru sedikit. Jadi merasa minder.
“Ini
saya beri soalnya untuk tes tertulis. Silakan mengerjakan selama 30 menit.
Kalau sudah serahkan ke saya, saya ke dalam dulu,” beliau lantas pergi masuk ke
ruang guru.
Seketika itu juga aku langsung
mengerjakan soal-soal yang diberikan. Soal-soalnya terdiri dari soal
pengetahuan umum dan keislaman. Juga tidak ketinggalan soal pengetahuan
mengenai SDIT. Sebisaku menjawab semua pertanyaan yang ada. Tidak sampai 30
menit aku sudah melalui tes tahap pertama. Lalu aku menyerahkan lembar jawaban
beserta soalnya ke ustadzah Ummi.
“Sebentar
mbak, susuk lagi saja, nunggu tes tahap kedua ya,” sambil berlalu ke ruangan
sebelah.
“Inggih
Bu.” Tes tahap kedua, yaitu tes wawancara. Jadi deg-degan, kira-kira siapa yang
akan mewawancaraiku nantinya. Tiba-tiba seorang bapak-bapak mendekatiku.
“Mbak
Karina ya, sudah siap untuk tes wawancaranya?,” tanya beliau dengan pandangan
menunduk. Sepertinya bapak ini sangat
menjaga sekali, batinku.
“Inggih
Pak, insha Allah saya siap,” jawabku meyakinkan diri.
Tes tahap kedua pun dimulai. Seperti diberondong peluru saja,
bapak itu menjejaliku dengan bermacam-macam pertanyaan. Akupun menjawab
sebisanya, sampai-sampai tidak yakin apakah aku bisa diterima untuk mengajar di
sekolah ini. Tidak terasa tes wawancara pun selesai. Beliau langsung
meninggalkanku sendirian di kursi tamu. Tidak lama kemudian ustadzah Ummi
kembali mendatangiku.
“Gimana
mbak? Sudah selesai wawancaranya?,”tanya beliau.
“Sudah
Us,” jawabku sambil senyam-senyum karena merasa kurang yakin dengan jawabanku.
“Sekarang
tes tahap ketiga yaitu tes BAQ sekaligus tahfidz, bawa mushaf?.”
“Bawa
Bu, “ sambil mengeluarkan dari dalam tas.
“Silakan
dibuka Q.S Maryam, coba dibaca dari ayat
pertama,” perintah beliau.
Aku pun langsung membaca ayat pertama
dan ayat selanjutnya. Sembari aku membaca, beliau menyimak bacaanku. Beliau
lantas menghentikan bacaanku di ayat sepuluh.
“Cukup
mbak, sekarang gantian tahfidz. Coba sekarang lafadzkan Q.S An-Naba, qur’annya
ditutup ya,” beliau langsung menatapku.
“Inggih
Bu,” langsung saja kumulai. Alhamdulillah
masih bisa kutangani, batinku.
Tidak membutuhkan waktu lama, Q.S An-Naba selesai
kulafadzkan. Selanjutnya beliau memintaku untuk melanjutkan ayat yang beliau
baca. Secara acak beliau membacakan potongan ayat dalam juz 30 dan 29 lantas
memintaku untuk melanjutkan. Alhamdulillah
bisa terlewati juga.
Tidak lama kemudian aku langsung diberitahukan hasilnya.
Tidak kusangka, bahwa aku bisa diterima mengajar di SDIT Baitussalam Prambanan.
Minggu depan aku sudah diperbolehkan untuk mengajar. Ternyata aku mendapat
jatah mengajar mata pelajaran matematika
dan tahsin metode Ummi. Lantas aku pun pulang dengan rasa bahagia memenuhi
rongga hatiku.
@ @ @
Sepulangnya aku dari mengajar, tiba-tiba sebuah pesan takterduga
masuk.
“Assalamu’alaykum. Gimana kabarnya
Rina?,” isi pesan tersebut. Setelah kulihat, SMS itu dari salah seorang kakak
angkatan semasa kuliahku dulu. Aku biasa memanggil beliau Mas Irvan. Beliau
beda jurusan denganku dan selisih satu tahun di atasku. Aku kenal beliau saat
satu forum studi fakultas. Di forum studi fakultas, kami sama-sama satu divisi.
Itulah mengapa saya sangat mengenal Mas Irvan. Beliau lulus lebih awal dua
tahun yang lalu.
“Wa’alaykumussalam. Eh, Mas Irvan, alhamdulillah baik. Njenengan gimana?,” balasku.
“Baik
juga, sekarang sibuk apa Rin? Lama tidak ketemu.,” tanyanya lagi.
“Sekarang
saya ngajar di SDIT Baitussalam. Kalau njenengan?.
“Saya di SDIT Salman Al-Farisi deket
UGM. “
Saling berbalas SMS pun berlangsung.
Maklum, sudah lama tidak bertemu. Dulu, sewaktu sedivisi di forum studi
fakultas, beliau orangnya enak diajak kerjasama. Pernah menjadi ketua panitia
kajian sains juga. Hampir semua teman-teman merasa segan dengannya. Mungkin
karena sikapnya yang supel dan mudah bergaul. Jadi mempunyai banyak teman.
Hari sudah larut sore, tiba-tiba
teringat akan tugas koreksian ulangan harian anak-anak. Aku diberi jatah
mengajar di kelas dua A&B. Alhamdulillah,
masih bisa menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat. Walaupun terkadang
merasa capek dan lelah ketika menjalaninya. Tapi rasa capek yang dirasa
terbayarkan dengan melihat senyum anak-anak ketika di sekolah. Bertemu
anak-anak yang masih lugu dan polos. Wajah mereka menyiratkan belum adanya
masalah yang mereka hadapi. Yang ada hanyalah kegembiraan dan kesenangan karena
dunia anak-anak adalah dunia bermain. Serasa ingin kembali ke dunia anak-anak
lagi.
@ @ @
Hari-hari kujalani dengan
menyibukkan diri di dunia anak-anak. Maklum, mendapat jatah mengajar kelas dua.
Jadi seperti menjadi anak-anak kembali. Sungguh tidak ada rasa capeknya melihat
tingkah polah mereka. Dari pagi jam tujuh sudah harus sampai sekolah sampai
pukul tiga sore baru boleh pulang.
Sesampainya di rumah tidak jarang
rasa capek langsung menghinggapi. Ditambah jarak rumah ke sekolah lumayan jauh.
Hampir memakan waktu 45 menit. Baru saja membuka pintu kamar, tiba-tiba ada
pesan mendarat di Hpku.
“Assalamu’alaykum. Dah sampai rumah
belum?,”ternyata pesan dari Mas Irvan.
Tanpa
menunggu lama langsung kubalas,”wa’alaykumussalam.
Alhamdulillah sudah,”jawabku singkat.
Saling berbalas SMSpun terjadi.
Sampai pada topik pembicaraan yang lebih serius.
“Dik,
saya ingin melamar kamu, boleh gak?,”pertanyaan yang membuatku sontak
termenung. Membuatku lama untuk membalasnya kembali.
“Maaf,
saya tidak bisa memutuskan sekarang. Saya minta waktu dulu dan diskusi dengan
orang tua,”pesan terakhir yang kukirim sebelum akhirnya aku tertidur karena
capek.
Keesokkan harinya, kebetulan hari
Ahad. Agenda di hari Ahad seperti biasa, kerja bakti bersih-bersih rumah.
Setelahh selesai bersih-bersih rumah, aku dan ibu pergi ke pasar. Sambil
merencanakan akan masak apa, agar tidak bingung untuk membeli apa di pasar.
Setelah cukup dengan barang belanjaan, kami pulang.
“Mau
masak apa Bu?,”tanya adik setelah sampai di rumah.
“Masak
sayur bening dan bakwan jagung,”jawab ibu.
Sebelum membantu ibu memasak, menunaikan sholat Dhuha terlebih dahulu. Setelah selesai,
taklupa kumemanjatkan doa.
“Ya
Allah...jikalau memang Mas Irvan itu jodoh hamba, maka dekatkanlah...namun,
jikalau bukan maka jauhkanlah.....,”pintaku segenap hati. Karena aku tahu Allah
yang lebih mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Maka tidak
sepantasnya aku memaksakan kehendak untuk dijodohkan dengan seseorang. Toh,
selama ini alhamdulillah perasaanku
dalam kondisi netral, tidak ada rasa kepada salah seorang laki-laki pun. Namun,
aku juga harus meminta pendapat dari orang tua terlebih dahulu sebelum
memberikan jawaban. Oleh sebab itu aku harus sesegera mungkin mendiskusikan
dengan orang tua. Setelah dirasa cukup berdoa, bergegas aku menuju dapur untuk
membantu ibu.
“Bu,
ada laki-laki yang ingin melamar Rina,”aku pun memberanikan diri untuk memulai
pembicaraan.
“Laki-laki
itu siapa? Orang mana?,”tanya ibu lebih lanjut. Semua pandangan tertuju padaku
karena bapak dan adik juga ada di dapur.
“Cie....cie...,”adikku
mulai menggoda.
“Kakak
angkatan Rina saat kuliah dulu, orang Yogya. Sekarang mengajar di SDIT di Yogya
juga.
“Kamu
dah yakin? Tapi nunggu kamu selesai kuliah dulu ya,”pinta Bapak menyela
pembicaraan.
“Kalau
perlu Masnya diminta ke rumah dulu, kenalan sama Bapak dan Ibu,”tambah ibu.
“Inggih
Pak, Bu,”balasku singkat.
Tidak lama kemudian, masakan telah
matang. Lantas kami makan siang bersama. Sungguh suasana yang penuh keakraban
di dalam sebuah keluarga. Setelah makan, biasanya kami istirahat siang. Maklum,
di keluargaku hari Ahad digunakan untuk rehat karena di hari lain kami full bekerja di luar rumah.
Gimana dik? Apa jawabanmu?,salah satu
isi pesan dari Mas Irvan yang baru saja kubuka. Sejak dua jam yang lalu dia
mengirimkan pesan itu.
Njenengan diminta bapak dan ibu untuk datang
ke rumah. Beliau ingin kenalan dengan njenengan dulu, jawabku. Memang
setiap kali aku berkomunikasi dengan lawan jenis, bahasa yang kugunakan selalu
lugas, tegas dan to the point.
“OK. Kalau begitu minggu depan insha Allah
saya akan ke rumahmu, bisa kan? balasnya lagi.
Insha Allah bisa, jawabku.
Malampun bertandang. Banyak sekali
tugas sekolah yang harus kuselesaikan. Terutama koreksian ulangan dari
anak-anak. Sebentar lagi juga UTS. Masih ada beberapa materi yang harus
kusampaikan. Kupejamkan mata, berharap di sepertiga malam bisa bangun untuk
menunaikan sholat malam dilanjutkan dengan sholat Istikhoroh. Tak lupa untuk
terus memohon petunjuk Allah agar diberikan pilihan terbaik.
@ @ @
Hari-hari kulalui begitu cepat,
tidak terasa memang. Tiba-tiba satu minggu kulalui dengan penuh warna. Rasa
susah, senang bercampur menjadi satu. Ada-ada saja yang kualami ketika harus
mendampingi anak-anak. Hari Ahad pun tiba kembali.
“Nanti
jadi datang jam berapa Rin Masnya?,”tanya ibu sambil bersih-bersih rumah.
“Sore
katanya Bu,”jawabku dengan membantu beliau.
Walaupun akan ada laki-laki yang
datang ke rumahku, perasaanku biasa saja. Padahal ini adalah pengalaman pertama
seorang laki-laki berniat ingin memperkenalkan dirinya kepada orang tuaku.
Karena ini kedatangannya yang pertama kali, Mas Irvan tidak serta merta langsung
menyampaikan niatannya itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00.
seperti janji Mas Irvan sebelumnya. Suara motor diparkirkan di depan rumah.
Kulihat dari dalam, ternyata Mas Irvan sudah datang.
“Assalamu’alaykum,”sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaykumussalam,
mari masuk Mas,”bapak langsung mempersilakan Mas Irvan masuk.
Aku hanya mendengarkan pembicaraan
mereka dari dalam sambil membuatkan minum. Tidak lama kemudian aku pun keluar
dengan membawa senampan minuman dan camilan. Di ruang tamu sudah ada Mas Irvan,
ibu, bapak dan adik. Setelah itu aku ikut duduk bersama mereka.
Sebagai awalan, obrolan ringan pun
terjadi. Antara Mas Irvan, bapak dan ibu saling bertukar informasi untuk lebih
saling mengenal. Mas Irvan menceritakan secara detail terkait kondisi pribadi
dan sekaligus kondisi keluarganya. Begitu juga dengan bapak dan ibu. Aku dan
adik diam saja mendengarkan pembicaraan mereka. Setelah dirasa cukup, Mas Irvan
pun berpamitan pulang. Keburu sore karena beliau langsung pulang ke Yogya.
Sepulangnya Mas Irvan, terjadi
obrolan lebih lanjut dengan kedua orang tua.
“Gimana
Rin? Apakah kamu sudah yakin?,” tanya ibu dan bapak.
“Kalau
bapak menilai, orangnya baik, agamanya pun juga bagus, sekarang terserah
Rina,”bapak memberikan penegasan.
“Rina insha Allah bersedia Pak,”jawabku
tenang.
“Tapi
ingat, pesan bapak dan ibu, Rina nikahnya tetep setelah lulus kuliah,”pinta
Ibu.
Memang, selain ngajar baru dua bulan
ini aku menjalani perkuliahan semester pertama di Program Pascasarjana UNY.
Tidak mengherankan jika orang tuaku menginginkanku untuk menyelesaikan studinya
terlebih dahulu. Karena beliau paham, ketika menikah nanti akan bertambah
amanah dan tanggung jawabku sebagai seorang istri. Ditambah lagi kalau Allah
menganugerahiku seorang anak pertama, semakin bertambah tanggung jawabku.
Selain sebagai seorang istri juga sekaligus sebagai seorang ibu.
Jika aku menikah sebelum studi
selesai, orang tua khawatir akan mengganggu konsentrasi kuliahku.karena banyak
sekali pengalaman yang sudah terjadi, bahwasannya seorang wanita yang menikah
di sela-sela studinya, tidak sedit mereka yang penyelesaian studinya semakin
molor. Orang tuaku tidak mau hal itu terjadi padaku. Walaupun aku sendiri tidak
masalah dan siap dengan apapun kondisinya. Namun, aku berusaha untuk memahami
perasaan orang tuaku. Orang tua yang lebih berpengalaman dan lebih banyak makan
garam. Di mana-mana orang tua menginginkan yang terbaik bagi putra-putrinya.
@ @ @
Tiga pekan sejak kedatangan Mas
Irvan, doa-doa selalu kupanjatkan. Tiba-tiba terdengar pesan singkat di Hpku.
Gimana dik tanggapan orang tua? SMS dari
Mas Irvan menanyakan perkembangan dari kedatangannya.
Orang tua memberikan respon positif, balasku.
Kamu sendiri bagaimana? Menerimaku tidak? Tanyanya
lagi
Insha Allah saya terima, balasku.
lanjut.
Silakan, jawabku.
Kembali aku semakin disibukkan
dengan tugas-tugas. Selain tugas sekolah, masih ditambah dengan tugas kuliah.
Program Pascasarjana memang menuntut mahasiswanya untuk mandiri. Lebih banyak
pemberian tugas daripada penyampaian materi dari dosen. Aku mengambil kuliah week end Sabtu-Ahad. Jadi sama saja selama satu minggu full aku PP Klaten-Yogya.
Suatu hari....
“Rin,
kamu kenapa? Sakit?,”tanya ibu khawatir.
“Rina
pusing Bu,”jawabku sambil terbaring di tempat tidur, padahal waktu sudah
menunjukkan pukul enam pagi.
“Apa
kamu izin saja ya ngajarnya?,”ibu memberiku saran.
“Iya
Bu,”lantas akupun mengetik pesan singkat yang kukirmkan kepada Wakil Kepala
bagian kurikulum.
Selama dua hari aku mengharuskan untuk istirahat terlebih
dahulu. Sepertinya memang kecapekkan, karena ini juga masih masa adaptasi
antara mengajar dan kuliah. Selesai
makan, lalu minum obat yang diberikan oleh bu dokter. Seketika itu juga aku teringat bahwa minggu
ini Mas Irvan akan datang untuk melamarku. Bapak dan ibu sudah kuberitahu Ah....aku serahkan semuanya pada-Mu ya
Allah....,batinku sambil menarik selimut untuk bergegas tidur dengan
harapan besok sudah kembali pulih. Kasihan anak-anak kalau kutinggal terlalu
lama.
Hari lamaran pun tiba.. tidak menyangka kalau Mas Irvan
langsung mengajak keluarganya ke rumahku. Kami menyambut kedatangan mereka. Alhamdulillah kesehatanku telah membaik.
Tanpa menunggu lama prosesi lamaran pun dimulai. Suasana yang khidmat. Dalam
hati ada getaran yang menyusup. Entah getaran apa ini. Apakah dikarenakan ini
adalah lamaranku yang pertama.
Di tengah-tengah perbincangan kami, ternyata pihak keluarga
Mas Irvan menginginkan untuk akadnya dipercepat, paling lama sebelum Ramadhan.
Tak lupa juga menjelaskan alasannya. Sedangkan orang tuaku tidak bisa
memaksakan kehendak bahwasannya Mas Irvan harus menungguku sampai selesai
kuliah. Karena masih terlalu lamanya jangka waktu jika harus menungguku selesai
kuliah.
Akhirnya dibuat kesepakatan mengenai hari-H yang insha Allah akan diadakan bulan Maret.
Terhitung tiga bulan lagi dari sekarang, bulan Desember. Selama jangka waktu
tiga bulan itu kami sebisa mungkin harus bisa menjaga perasaan kami satu sama
lain. Tidak lama kemudian prosesi pun
selesai. Alhamdulillah....akhirnya dapat
berjalan lancar,dalam hatiku.
@ @ @
Waktu terus berjalan. UAS selama dua
minggu telah kulalui. Sekarang sudah menginjak bulan Februari, tinggal satu
bulan lagi aku akan menyempurnakan separuh dien. Terkadang merasa diri ini
belum siap untuk menghadapi hari suci itu. Semoga
ini yang tterbaik, buatku dan buat keluargaku, batinku.
Malam hari ketika aku
berbincang-bincang dengan ibu.
“Rin...sepertinya
kamu harus tahu,”ibu sepertinya ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting.
“Setelah
kamu dilamar sama Mas Irvan, Bapak dan Ibu tidak bisa tidur nyenyak,”lanjut
ibu.
“Seperti
tiidak percaya saja, benar gak sih kamu akan menikah. Bapak dan ibu semakin
gelisah apalagi ini kurang satu bulan lagi. Yang membuat Ibu dan Bapak gelisah
itu gara-gara kamu nikahnya pas kamu belum selesai kuliahnya. Bapak dan Ibu
benar-benar belum mengikhlaskan,”ibu memaparkan apa yang selama ini beliau dan
bapak rasakan.
Seperti disambar petir di siang
bolong. Ya Allah...maafkan aku...ternyata
aku egois, aku tidak memperhatikan perasaan orang tuaku,tangisku dalam
hati. Aku tidak mau ibu melihat kesedihanku. Untung saja selesai bicara ibu
segera keluar. Seketika itu juga aku segera tidur dan ingin meredam gejolak di
hatiku.
Di sepertiga malam, aku menagis
sejadi-jadinya. Di atas sajadahku, tidak peduli mukenaku basah karena linangan
air mataku.
Ya Allah....maafkan aku....maafkan jika aku
belum bisa membahagiakan orang tuaku. Justru aku hampir saja mengecewakan
beliau hanya karena aku tidak menuruti apa nasihat orang tuaku. Hamba tidak mau
menikah dalam kondisi orang tua belum sepenuhnya ikhlas melepasku. Apakah ini
pertanda dari-Mu bahwa Mas Irvan bukan jodohku? Karena selama ini yang aku
inginkan adalah menikah atas dasar restu-Mu dan restu orang tuaku. Jika orang
tuaku belum sepenuhnya ikhlas memberiku restu, lebih baik aku batalkan saja
lamaran ini. Aku rela sakit hati daripada orang tuaku yang menanggung rasa
sakit hatinya karena anak perempuannya tidak bisa menurut nasihatnya. Jadikan
ini sebagai tanda baktiku kepada orang tuaku ya Rabb...walaupun selama ini aku
belum bisa membahagiakan beliau, minimal hamba tidak menyakiti dan membuatnya
kecewa. Aku berjanji setelah ini
sebagai bentuk baktiku kepada kedua orang tuaku, aku belum menerima pinangan
laki-laki jika orang tuaku belum sepenuhnya memberiku restu, saat khusyuk
aku memanjatkan doa. Semoga ini jalan terbaik, walaupun sangat sakit kurasa.
Tapi demi orang tuaku, aku rela berbuat apa saja asal bisa membuat orang tuaku
tersenyum bahagia ketika melihat anak-anaknya berumah tangga.
Keesokkan harinya, aku langsung
mengirim pesan pendek kepada Mas Irvan.
“Maaf
Mas, saya terpaksa memutus ikatan lamaran ini karena orang tua saya belum
sepenuhnya ridho dengan rencana pernikahan kita bulan depan.”
“Tidak
kusangka dik, rencana kita tidak sesuai denggan harapan. Ya sudah, tidak
apa-apa, mungkin kita belum berjodoh. Saya ikhlas dengan keputusanmu. Tolong
sampaikan permintaan maaf saya dan keluarga kepada bapak dan ibu.
“Iya
Mas.
Semenjak saat itu, sudah tidak ada
komunikasi sama sekali dengan Mas Irvan. Maafkan
saya Mas, saya telah menyakiti hati njenengan, membuat njenengan kecewa atas
keputusan saya, dalam hatiku. Setelah aku memutus lamaran Mas Irvan, orang
tuaku sudah bisa berpikir tenang kembali. Rasa was-was yang selama ini beliau
rasakan hilang seketika. Alhamdulillah.....
Teruntuk sebuah nama dalam setiap doaku yang
aku belum mengetahui siapa gerangan engkau....
Izinkan aku untuk memantaskan diri sebelum
dipersandingkan denganmu...
Izinkan aku untuk memperbaiki diri sebelum
mendampingimu....
Izinkan aku untuk mempersiapkan diri sebelum
menjadi makmummu....