Semilir
angin sepoi-sepoi menerpaku. Masuk melalui jendela sehingga membuatku semakin
nyaman saja bersantai di atas ranjang tempat tidur. Sambil menatap
langit-langit yang berwarnakan putih bersih. Berkelebat dengan cepat bayangan
akan wajah seseorang. Seorang perempuan tua renta yang telah melahirkan dan
merawatku. Kapan aku akan bertemu dengannya lagi? Tidak terasa hampir dua tahun
aku merantau ke Yogya, kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama.
Meninggalkan kampung halamanku, Aceh.
“Sel,
berangkat dulu ya,”ujar kakak kosku dari luar kamar.
“Iya
mbak,”
Kulirik jam dinding. Waktu sudah
menunjukkan pukul 06.00. Pandanganku beralih ke selembar kertas yang tertempel
di dinding kamar. Senin mata kuliah Kalkulus jam 07.00. Ahh...tapi kok rasanya malas banget beranjak dari tempat tidur dan
menuju kamar mandi. Tut..tut...suara
HP berdering. Belum keluar kamar tangan ini langsung saja meraih HP yang
tergeletak di atas meja. Sebuah SMS mendarat di HPku dengan sebuah nama tertera
di layarnya,”My Darling”.
Sebutan itu memang khusus aku
berikan kepada seseorang yang biasa disebut sebagai pacar. Iya pacar, aku telah
berpacaran sejak awal memasuki bangku kuliah di semester pertama. Ini merupakan
pengalaman pertamaku pacaran. Pacaran dengan teman kelasku sendiri.
“Kamu
sudah berangkat belum Say,”panggilan
sayang yang dia lontarkan kepadaku sering kali membuatku melayang.
“Belum,
ni baru mo siap-siap,”balasku tanpa panggilan sayang. Karena aku bukan tipe
cewek yang suka mengobral kata-kata sayang.
“Kita
gak usah masuk yuk, sekali-kali bolos gitu,”
“Bolos?
Emang mau kemana?”sepertinya aku tertarik dengan ajakannya.
“Jalan-jalan
kemana gitu, bosen juga sering-sering dengerin dosen,”
“Ayo,kamu
ke kosku dulu ya”akhirnya aku pun mengiyakan ajakannya.
Dengan semangat menuju kamar mandi
bersegera untuk membersihkan diri. Sekali-kali
tidak apa-apalah aku bolos, toh baru kali ini juga, batinku. Tidak lama
kemudian aku pun sudah berpenampilan rapi. memakai kemeja biru kotak-kotak,
jilbab paris warna hitam dan celana pensil. Beginilah caraku berpakaian. Aku
memang tipe cewek yang mengikuti mode. Hampir segala model pakaian aku punya. Kok belum datang-datang juga,menunggu
dengan tidak sabar. Akhirnya terdengar suara motor dari luar...
“Sely...!”
“Iya,
aku keluar,”
“Cantik
bener pagi ini sayang,”
“Ih...kamu,
bisa aja. Tiap kali bertemu pasti kata itu yang keluar pertama,”
“Habis
mo bilang apa lagi, emang kenyataannya gitu,”
“Hem...mulai
deh nggombalnya. Yuk segera capcus...,”aku menarik tangannya tidak sabar ingin
segera menaiki sepeda motornya. Bonceng melangkah, mesin di hidupkan lantas keluar
halaman kos.
Pagi-pagi memulai hari dengan
bertemu pacar dan bolos kuliah pergi entah kemana. Di sepanjang jalan suasana
pagi masih sangat sejuk.
“Kita
mo kemana nih jadinya?”tanyaku.
“Udah,
percaya padaku. Kamu akan kuajak ke tempat yang sangat romantis Sayang,”
“Benarkah?
Makasih. Kamu memang pacarku yang perhatian banget sama aku,”
Ucapannya baru saja membuatku
menjadi cewek paling bahagia pagi itu. Ungkapan bahagia kutandai dengan semakin
bertambah erat kedua tanganku memeluk tubuhnya. Perasaanku membuncah, serasa
semakin bertambah rasa cintaku padanya. Walaupun kami sudah jadian selama dua
tahun, belum pernah sekalipun kami bertengkar bahkan sampai putus.
“Kita
mampir makan dulu yuk, lapar nih belum sarapan,”ajakku
“Boleh,
di seberang jalan ini ada warung soto, mau Say?”
“OK
deh.”
Akhirnya kami berhenti di salah satu
warung soto. Masih sepi, sepertinya kami konsumen pertama. Dengan lahap
menyantap hidangan soto yang telah disiapkan, tiba-tiba..
“Say,
bawa uang gak?”
“Bawa
donk, emang kenapa?”tanyaku penasaran.
“Dompetku
ternyata ketinggalan.”
“Udah,
nanti aku yang bayar.”
“Makasih
ya Say.”
Perjalanan pun kami lanjutkan
kembali.
“Masih
jauh ya Vald?”panggilan akrabku padanya. Revald Reynaldi, itulah nama
panjangnya. Sama-sama satu jurusan di pendidikan matematika. Perhatian yang dia
berikan itulah yang membuatku simpatik kepadanya. Berawal dia terlebih dahulu
yang menyatakan rasa sukanya padaku. Tanpa berpikir panjang langsung saja aku
menerimanya sebagai pacarku saat semester satu.
“Tinggal
bentar lagi kok, sabar ya Say,”
Memasuki salah satu gang kecil di
sudut kota. Memasuki jalan setapak, semakin lama semakin sepi saja. namun
pemandangan yang ditampilkan juga semakin bagus. Bunga berwarna-warni mulai
bertebaran di sana-sini. Memarkirkan motor lantas mencari tempat duduk yang
nyaman karena terdapat banyak bangku di sana.
“Say,
kita kan sudah lama jadian, mau tidak kamu berjanji padaku?”dia mengawali
pembicaraan.
“Berjanji
apa?”
“Berjanji
bahwasannya kamu kelak akan menikah denganku.”
“Serius
kamu akan menikahiku?”tanyaku meninggi, seakan-akan tidak percaya dengan apa
yang dia katakan.
“Masak
aku bohong sih Say,”sambil menunjuk salah satu bunga.”Bunga itu akan menjadi
saksi kesungguhan cintaku padamu.” Dia menatapku dengan pandangan yang aneh.
Semakin lama ku menatap matanya, semakin kencang saja hati ini berdebar.
Takkuasa bibir ini berbicara. Serasa
kelu dan kaku. Namun di dalam hati sungguh sangat bahagia. Dengan sedikit
anggukan saja sepertinya sudah mewakili bahwa aku”mau”. Beberapa lama ngobrol
akhirnya kami memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di kos,
pintu kubuka secara perlahan. Mengamati suasana dalam rumah yang terlihat sepi
menandakan tidak ada penghuninya. “Ah...sendirian
lagi”sambil mencari-cari kunci kamar yang kusimpan di dalam tas. Tiba-tiba
terdengar suara pintu di buka.
”Assalamu’alaikum
dik Selvi,lho kok tumben dah pulang?”tanya seorang muslimah dengan jilbab
besarnya melambai-lambai mendekatiku.
“Wa’alaikumussalam,
eh..Mbak Naya. Iya Mbak, jam kosong dosennya tidak masuk,”jawabku dengan
memasang mimik terkejut dan diiringi dengan pernyataan bohong yang secara
spontan keluar dari mulutku. Aku memang tidak mau mbak Naya tahu bahwa aku hari
ini bolos kuliah walaupun baru sekali.
“O...begitu...nanti
siang nemenin mbak yuk.”
“Kemana
Mbak?”
“Ke
Bringharjo,”jawabnya.
Tanpa berpikir panjang aku langsung
mengiyakan ajakan mbak Naya. Mbak Naya pun langsung kembali ke kamarnya. Aku
pun juga masuk ke kamar dengan perasaan senangdan bahagia. Mengapa tidak? Orang
tuaku mulai khawatir dengan usiaku yang semakin bertambah dengan kuliah sudah
mendekati semester akhir. Akhirnya ada juga seorang laki-laki yang berjanji
kelak akan menikahiku. Dan laki-laki itu adalah orang yang selama ini kucintai.
Siapa lagi kalau bukan pacarku.
# # #
“Emang
Mbak mau beli apa sih?”tanyaku ketika memasuki gerbang pasar Bringharjo.
“Lihat
saja nanti kamu pasti tahu dik.”
Setelah beberapa kali singgah dari
satu kios ke kios lain yang sejenis aku mulai bisa menyimpulkan kira-kira apa
yang mau dibeli mbak Naya. Secara tidak sabar aku pun langsung melontarkan
pertanyaan kembali.
“Mau
beli kain, buat apa mbak?”
Sambil
mengacungkan jari telunjuk tepat di depan bibirku,”Sssttt..buat pesta
pernikahan Mbak dik.”
Setelah mendengar pernyataan mbak
Naya, kontan saja aku terkejut. Mbak Naya memang pintar menyimpan rahasia
hatinya. Karena selama ini tidak pernah mbak Naya digosipkan menjalin hubungan
spesial dengan seorang laki-laki. Seketika itu juga beribu pertanyaan memberondongi
mbak Naya.
Setelah lama memilih-milih kain
akhirnya menemukan motif kain batik yang dirasa cocok untuk mbak Naya. Misi
utama telah selesai.
“Mau
makan apa dik?Mbak traktir ya.”
“Dengan
senang hati Mbak,”sambil bergegas menuju warung makan yang berjejeran di arena
pasar Bringharjo. Namun belum sampai masuk di salah satu warung, mata ini
secara tiba-tiba mendapati sesosok laki-laki di seberang jalan berjalan dengan
seorang perempuan. Mereka berdua berjalan dengan sangat mesra. Salah satu
tangan laki-laki itu merangkul pundak perempuannya. Menunjukkan seperti
sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Tidak peduli bahwasannya mereka
melakukan itu di tengah keramaian.
Dan aku hampir saja dibuat pingsan
karena aku sangat mengenal laki-laki itu. Revald, iya Revald. Laki-laki yang
selama ini kuanggap sempurna di mataku. Perhatian yang selama ini dia curahkan,
nampaknya berhasil membuatku mabuk kepayang sehingga membutakan mata hatiku. Laki-laki
yang sempat membuatku jatuh cinta dan harapan untuk menikah dengannya ada di
depan mata, secara tiba-tiba hilang bersamaan dengan hatiku yang hancur remuk.
“Mbak,
langsung pulang saja yuk,”pintaku secara tiba-tiba kepada mbak Naya.
“Lho,emang
kenapa Dik?” Tanyanya terheran-heran.
“Selvi
capek banget nih, pengen segera istirahat,”alasan yang kulontarkan, yang
sebenarnya ingin segera meluapkan rasa sakit hatiku.
“OK
deh kalau begitu.”
Sesampainya di kos, tanpa sepatah
kata aku langsung masuk kamar dan kukunci dari dalam. Tidak memperdulikan mbak
Naya yang menatapku masih dengan wajah terheran-heran.
“Sungguh, sangat teganya dirimu Revald.
Teganya dirimu mengkhianatiku, menjalin hubungan dengan wahita lain selain aku.
Baru tadi pagi kamu berjanji ingin menikahiku dan hati ini terasa bahagia
dibuatnya. Sekarang kau menyakitiku.”suara tangisanku walaupun pelan
bersamaan dengan luapan air mata yang membanjir. Karena aku tidak mau mbak Naya
tahu bahwa aku sedang menangis di dalam kamar.
Kulirik HP yang berada di sampingku.
Berusaha untuk meraih dan mengetik sms,”Sekarang
hubungan kita putus.”Kukirim kepada laki-laki paling jahat yang hadir di
kehidupanku. Rasa sakit hati benar-benar menyelimutiku. Disusul oleh rasa
penyesalan, mengapa aku dengan mudahnya termakan oleh bujuk rayunya.
Teringat peristiwa tadi pagi saat kami memadu kasih,
sempat terpikir menyerahkan segalanya yang aku miliki termasuk kehormatanku
agar rasa cinta yang dia berikan bisa aku miliki selamanya. Untung saja aku
masih bisa berpikir jernih, belum sampai melakukan hal itu. Entah bagaimana
jadinya jika aku sampai melakukannya. Karena aku percaya kepadanya apalagi
setelah dia benar-benar berjanji akan menikahiku. Melakukan hubungan terlarang
dengan mengatasnamakan cinta. Dan sekarang apa yang terjadi sungguh di luar
dugaan. Secara spontan ungkapan rasa syukur kuucapkan. Itu tandanya Allah masih
menyayangiku.
Kucoba membuka pintu menuju kamar mandi dan
mengambil air wudhu. Bersamaan dengan adzan Asar berkumandang. Kuingin
mencurahkan semuanya kepada Allah. Memohon ampun atas dosa-dosa yang selama ini
kulakukan. Setelah itu berusaha untuk memperbaiki diri dengan menjadi sesosok
pribadi yang lebih baik.
# # #
Suatu sore yang sangat cerah. Aku
sedang asyik membaca buku di teras depan kos. Memang sengaja aku lakukan untuk
terapi menghilangkan rasa sakit hatiku yang hampir selama satu minggu
kurasakan. Walaupun di kelas selalu bertemu, namun sudah tidak ada hubungan
apa-apa lagi dengan Revald. Kami saling acuh dan cuek sehingga boleh dibilang
komunikasi pun sudah tidak ada.
“E..Dik
Selvi, lagi baca apa?”sapa mbak Naya keluar dari pintu kos.
“Mbak
Naya mau tahu aja sih. O ya gimana dengan persiapan pernikahannya Mbak? Wah,
tidak lama lagi ya.”
“Alhamdulillah
Dik, sudah hampir delapan puluh persen.”
“Itu
gimana caranya Mbak bisa kenal dengan calon suami Mbak? Padahal Mbak tidak
pacaran kan?”
Akhirnya mbak Naya menceritakan
semua dari awal proses sampai beliau mengiyakan lamaran calon suaminya. ”Subhanallah...so sweet,”gumamku. Memang
mbak Naya sesosok muslimah yang sempurna. Baik, sholehah, pintar dan cantik.
Tidak mengherankan jika laki-laki yang akan mendampinginya juga seorang
laki-laki sholeh.
Timbul rasa kagum kepada mbak Naya.
Penampilannya pun membuatku merasa nyaman dan teduh ketika memandangnya. Mbak
Naya memang seorang muslimah yang sangat hati-hati menjaga auratnya agar tidak
terlihat oleh orang lain yang bukan muhrimnya. Oleh sebab itu dari pakaian yang
beliau pilih selalu longgar dan tebal, tidak sampai membentuk lekuk tubuh.
Jilbab yang beliau pakai pun juga lebar dan selalu menutupi sampai bawah dada.
Ingin rasanya aku seperti mbak Naya.
# # #
Hari yang membahagiakan itu pun
tiba. Aku dan teman-teman kos bersiap-siap menghadiri resepsi pernikahan mbak
Naya yang bertempat di Sukoharjo, rumah dari mempelai wanitanya. Kami bersembilan
sepakat naik sepeda motor dikarenakan jaraknya yang masih bisa dijangkau.
Menggunakan lima sepeda motor saling berboncengan berangkat pagi-pagi sekali
sekitar pukul 07.00
Aku termasuk salah satu yang
memegang kemudi diantara ke-lima motor. Berjalan menggunakan kecepatan
rata-rata agar bisa selamat sampai tujuan dan berharap bisa menjadi saksi saat
akad nikahnya. Satu jam kemudian kami sudah memasuki kota Klaten. Namun
tiba-tiba ban motor salah satu dari kami bocor. Mau tidak mau kami mencari
tempat penambalan ban agar bisa melanjutkan perjalanan kembali.
Tidak jauh kira-kira dua meter dari
tempat ban kami yang bocor ada sebuah bengkel. Kami langsung menuju ke sana
lantas menunggu beberapa saat. Kulihat bapak separuh baya sangat cekatan
menambal ban. Sungguh pekerjaan yang sangat mulia. Mengapa tidak? Tanpa jasa
mereka tentu pengendara sepeda motor akan merasa kesulitan jika ban motor
mereka bocor. Masak mau menambal sendiri? Tentu itu akan merepotkan juga. Maka
pekerjaan semacam ini janganlah dipandang sebelah mata.
Hanya menghabiskan waktu sekitar
lima belas menit kami dapat melanjutkan perjalanan. Kali ini kami sedikit
menanbah kecepatan sepeda motor karena waktu semakin siang dan jalan semakin
padat dipenuhi baik itu kendaraan beroda dua maupun kendaraan beroda empat.
Bahkan di lampu merah pun sudah mulai macet.
Akhirnya kami pun memasuki kawasan
kota Sukoharjo. Tinggal sedikit lagi sampai, kami lantas mencari alamat rumah
mbak Naya dengan berpedoman peta yang tercantum pada undangan. Melewati beberapa
gang sempit dan jalan setapak, sepertinya sudah nampak dari kejauhan tanda-tanda
adanya resepsi pernikahan di salah satu rumah. “Alhamdulillah akhirnya sampai juga”batinku.
Setelah memarkirkan sepeda motor
kami bergegas memasuki halaman resepsi. Beruntung kami masih bisa mengikuti
akad nikah yang memang akan dimulai.
“Mbak
Selvi, kapan nih nyusul mbak Naya?”celoteh seorang teman kos.
“Do’ain
saja segera menyusul Mbak Naya,”jawabku sambil tersenyum.
Tidak terasa resepsipun berakhir.
Kami berencana berpamitan pulang. Namun sebelum pulang secara bergantian aku
dan teman-teman bersalaman dengan sang pengantin.
“Barakallah
ya Mbak, semoga menjadi keluarga SAMARA,”bisikku kepada mbak Naya sambil
bersalaman dan cipika-cipiki.
“Iya
dik Selvi, syukron. Ngomong-ngomong kamu kelihatan cantik dengan model jilbab
seperti ini,”sanjung mbak Naya.
Memang aku sengaja mengenakan jilbab
yang berbeda dari biasanya. Biasanya aku memakai jilbab yang pendek, tetapi aku
mencoba memakai jilbab agak lebar. Lama-lama aku merasa nyaman memakai jilbab
besar ini.
Sejak saat itu timbul niatan untuk merubah sedikit
demi sedikit penampilanku. Jilbab-jilbab tipis dan kecil yang dulu suka
kukenakan, mulai sekarang secara perlahan aku singkirkan. Lantas berusaha
mendapatkan jilbab yang sesuai kriteria syariat. Dukungan dari banyak pihak
kuperoleh, teman-teman kos, teman kuliah, terutama mbak Naya. Beliau bahkan
sampai merelakan beberapa jilbabnya untuk diberikan kepadaku.
Pengalaman masa laluku menjadi pelajaran yang sangat
berharga. Mulai sekarang aku berusaha memperbaiki diri agar menjadi pribadi
sholehah. Cantik di mata Allah. Dan merubah cara berpakaian dan pergaulanku
menjadi pribadi yang baru sehingga meraih kenyamanan hati.