Minggu, 02 Oktober 2011

Harga Sebuah Jati Diri

By: Kareen el-Qalamy

Kulihat sosok itu. Sepertinya tak asing bagiku. Di dalam bis yang penuh sesak dengan penumpang. Duduk di kursi pojok paling belakang. Kuamati lebih lanjut, dari ujung rambut sampai ujung kaki di sepanjang jalan. Mengingatkanku akan seseorang. Iya, sesosok itu. Tubuh tua renta yang telah dimakan usia. Namun tetap memegang teguh sebuah prinsip. Prinsip akan sebuah idealismenya.
“Dah siap Nak?” sapa kakek dengan suara yang terdengar semakin lirih saja. Maklum kakekku sudah berusia tujuh puluh tahun. Jadi terkadang perlu perhatian dan pengawasan khusus.
“Sudah Kek. Kakek kenapa memakai pakaian seperti itu? Apa gak ada yang lain! Ganti sajalah” nadaku terdengar tidak mengenakkan di telinga. Entah kakek sakit hati atau tidak ketika mendengarnya karena beliau hanya diam saja. “Pakaian kuno kayak gitu kok masih dipakai. Malu-maluin saja,”batinku dalam hati.
“Udah-udah, ayo berangkat. Keburu siang!” celetuk ayah. “Biarin kakek berpakaian kayak gitu. Model seperti itu memang kesukaan kakekmu dari dulu.”
Kupandangi saja sejak awal berangkat dari rumah, di dalam mobil. Batik, emang apa sih bagusnya. Model dan coraknya saja norak kayak gitu. Jadi sebel ngeliatnya. Apa lagi kakek yang pake, entah seperti apa rupanya. Memang diri ini sangat menyukai barang-barang merek luar negeri yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Semenjak kepulanganku dari Jerman, sampai sekarang aku belum mau kalau disuruh memakai batik.
Pernah suatu hari aku diajak jalan-jalan oleh kakek keliling desa. Sungguh sangat indah pemandangan di desa. Sawah terhampar luas, udaranya pun masih terasa segar. Aku mengiyakan ajakan kakek. Pada malam hari, kubuntuti kakek dari belakang. Penasaran, emang kakek mau mengajakku kemana? Tiap kali kutanya ke beliau. Beliau tidak memberikan jawaban secara to the point seperti yang kuinginkan. Jadilah aku pergi bersama kakek dengan tampang cemberut.
Sekian lama kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak, tibalah kami di sebuah tanah lapang yang amat luas. Pemandangan seperti ini jarang kutemui di perkotaan yang sudah penuh dengan gedung bertingkat. Di situ kudapati banyak orang berkerumun dalam keramaian suasana pedesaan yang masih asri dengan keramahtamahannya. Memang ada pertunjukkan apa sehingga orang-orang begitu antusias. Terdengar suara gamelan, musik khas Jawa diiringi dengan merdunya sinden membawakan tembang-tembang macapat.
Aku bisa mengetahuinya sedikit demi sedikit karena berkat kakek. Kakeklah yang selama ini memperkenalkanku akan kekayaan khasanah budaya bangsaku, bangsa Indonesia. Baru sebatas provinsi Jawa Tengah saja sudah memiliki budaya yang beragam. Apalagi kalau melihat budaya dari 33 provinsi yang tersebar di Indonesia.
Kekagumanku semakin membuncah ketika mengetahui batik yang selama ini sangat aku benci. sekadar melihatnya saja sudah muak dibuatnya apalagi memakainya. Ternyata dapat menembus arus pasar global. Bersaing dengan barang produk negara-negara maju lainnya. Dan yang lebih surprise lagi batik diakui sebagai salah satu budaya internasional.
“Nak, kamu harus mencintai budaya di negerimu sendiri. Kamu juga yang harus melestarikannya. Kalau bukan kamu siapa lagi. Sekarang jamannya sudah berubah Ngger. Banyak orang yang bangga ketika bisa menggunakan produk luar negeri dan minder apabila memakai produk kita sendiri. Jati diri bangsa kita salah satunya tercermin dari keanekaragaman budaya itu. Kalau budaya itu hilang tergerus oleh arus globalisasi, itu tandanya bangsa ini akan kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu, banggalah dengan budaya dan produk sendiri. Cintai produk dan budaya bangsa kita. Jangan sampai kejadian masa lalu dimana budaya asli Indonesia diklaim milik bangsa lain terulang lagi. Kita tidak rela! Aku titipkan nasib budaya kita pada para pemuda generasi penerus sepertimu Nak,” kakek memberiku pesan yang sangat berharga. Aku hanya bisa mengangguk mendengarnya.
Aku bangga punya kakek seperti beliau. Beliau terus berusaha menjaga kelestarian budaya asli Indonesia. Salah satunya adalah dengan menjadi seorang dalang. Iya, kakekku ternyata di masa mudanya adalah seorang dalang ternama di desaku. Ketika aku masih kecil teringat diri ini sering sekali merengek-rengek untuk diceritakan sebuah dongeng pewayangan.
Namun itu semua tinggal kenangan. Kenangan yang akan terus abadi terpatri dalam angan-anganku. Sepeti sekarang yang kulihat ini sesosok seperti beliau. Tubuh tuanya memakai batik mengingatkanku pada kakek. Aku beruntung sekali mempunyai kakek seperti beliau. Kakek, aku akan berusaha mewujudkan pesan dan nasihat yang telah engkau berikan. Semoga ini menjadi salah satu jalan dengan membuka usaha butik batik di ibukota. Untuk memperkenalkan keelokan salah satu budaya yang dimiliki oleh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar